Jelang Jamuan
FAY menghela napasnya yang terasa sangat berat, kemudian duduk di tepi tempat tidur. Ia menutupi wajah dengan dua tangan seraya menumpukan sikunya ke lutut.
Ini sama sekali bukan hari baiknya. Mungkin hari ini pantas masuk ke daftar sepuluh besar hari tersial seumur hidupnya.
Nasib buruknya dimulai tadi pagi, ketika bertemu salah satu pamannya, Philippe Klaan, sewaktu sarapan. Ia memberi sapaan selamat pagi standar, tapi alih-alih membalas sapaan Fay, Philippe malah mengeluarkan komentar ketus yang membuat Fay ingin melempar roti-roti bulat yang bertumpuk di meja makan ke hidung Philippe yang mencuat mancung.
”Tidak sepantasnya wanita McGallaghan tampil berantakan seperti ini. Bila besok saya masih melihatmu dengan rambut kusut tak terurus seperti sekarang, saya sendiri yang akan mengambil gunting dan memotong rambutmu!”
Benar-benar tak punya perasaan!
Fay cukup yakin rambutnya yang dikucir kuda baik-baik saja, walaupun masih agak lepek karena habis keramas dan tak sempat dikeringkan dengan tuntas. Dasar kakek sihir!
Tak lama setelah sarapan, Ms. Connie menelepon, dan Fay tentunya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk curhat tentang komentar menyakitkan Philippe atas rambutnya.
Ia masih ingat intonasi Ms. Connie yang langsung meninggi ke tika menanggapi ceritanya, seperti ikut tersinggung dengan celaan Philippe itu. Menurut Ms. Connie, mungkin saja rambut Fay kurang rapi, tapi itu bukan alasan untuk mengabaikan sapaan selamat pagi dan mengucapkan kata-kata yang bisa melukai perasaan. Ha! Tau rasa!
Setelah itu Ms. Connie mengajaknya—well, menyeretnya mungkin lebih tepat—ke penata rambut terkenal di Paris. Di hadapan si penata rambut Ms. Connie nyerocos tanpa minta pendapat Fay lagi—jangankan minta pendapat, meliriknya pun tidak. Tiga jam kemudian, setelah mengoles, menempel, menarik, menyisir, menggunting, menangkup rambutnya, dan entah apa lagi, si penata rambut dengan bangga memproklamirkan bahwa pekerjaannya sudah selesai.
Saat itu Fay hanya bisa melongo memandangi cermin, melihat bayangan seorang gadis remaja dengan model rambut bob bertingkat hingga agak naik di bagian belakang. Di bagian samping, dekat telinga kiri dan kanan, sedikit bagian rambut sengaja dibuat lebih panjang, tidak sama antara kiri dan kanan. Tapi, bukan model ram but yang membuatnya melongo, melainkan warnanya. Entah warna apa yang disebut si penata rambut, tapi menurut Fay sendiri itu warna ungu kehitaman dengan highlight ungu kemerahan di beberapa tempat! Oh God, so NOT her! Dengan ketakutan ia menyaksikan Ms. Connie memekik kegirangan melihat mahakarya yang langka di atas kepalanya ini.
Dan, nasib buruknya belum berhenti di situ.
Setelah potong rambut, ia ditelepon oleh pengawas keduanya, Raymond Lang, yang memintanya memeriksa jadwal mingguan yang sudah diperbaharui. Fay membuka kalender tanpa prasangka dan langsung terbelalak melihat jadwal latihannya selama beberapa hari ke depan: selain latihan pagi (pukul 04.30!) dan latihan sore, ada juga latihan renang, bela diri, dan... pedang?
Dan, seakan latihan-latihan itu saja belum cukup untuk membuatnya sesak napas, ada lagi slot latihan satu setengah jam setiap hari berjudul ”dance lesson”. Yang terakhir ini benar-benar membuat jantung Fay mencelus. Dance lesson? Benarkah bila ia menerjemahkan judul itu sebagai latihan dansa? Dansa apa? Ya Tuhan!
Ia langsung menemui Andrew untuk minta penjelasan—mungkin saja kan, yang membuat jadwal salah ketik, atau salah orang? Ia bergegas masuk ke ruang kerja Andrew hingga lupa mengetuk pintu dan diberi tatapan tajam sambil sedikit diceramahi. Fay menelan teguran Andrew tanpa perlawanan dengan perasaan tak sabar, dan begitu pamannya bertanya kenapa ia tampak terburu-buru, ia langsung menyemburkan kekhawatirannya tentang kesalahan jadwal itu.
Andrew menjawab dengan intonasi tenang yang biasa, seolah itu adalah hal paling normal dan alami sedunia.
”Saya sudah pernah memberitahumu bahwa banyak yang akan dituntut darimu sebagai anggota keluarga, baik keterampilan fisik maupun sosial. Jadi, saya dan Raymond sepakat untuk mulai mengasah keterampilan sosialmu dengan pelajaran dansa, sekaligus sebagai persiapan jamuan. Sekarang yang terpenting adalah menguasai beberapa gerakan dasar dansa untuk jamuan nanti. Namun, saya rasa dalam jangka panjang mempelajari beberapa jenis tarian akan bagus untukmu, jadi mungkin jadwalmu di depan akan disesuaikan secara permanen.”
Selama beberapa saat setelahnya, Fay hanya mampu memandang Andrew dengan tatapan kosong. Apakah ia tak salah dengar, bahwa pengawas utamanya ini sedang membicarakan pelajaran dansa untuknya? Dansa apa! Kenapa tak ada yang mengatakan tentang ini sebelumnya? Dan apa maksud Andrew ”secara permanen”? Sebelumnya Fay hanya pernah menari satu kali seumur hidup, yaitu di taman kanak-kanak. Saat di panggung, ia berputar ke kiri ketika yang lain berputar ke kanan, bergerak maju ketika yang lain mundur, dan tersandung kain yang ia pakai ketika memberi salam kepada para orangtua yang menonton!
”Kenapa, Fay? Kamu seperti habis melihat hantu.”
”Saya belum pernah dansa,” jawab Fay dengan suara tercekik. ”Bukankah itu gunanya pelajaran dansa, untuk membuatmu bisa berdansa?” tanya pamannya heran. ”Pastikan kamu mengikuti langkah yang diajarkan instrukturmu dengan baik. Saya tidak mau sam pai terinjak nanti saat berdansa denganmu di jamuan, dan saya yakin paman yang lain juga begitu.”
Berpasangan dengan Andrew saat dansa? Dan paman yang lain?
Termasuk Philippe? Benar-benar mati!
Fay bangkit dari tempat tidur lalu mengembuskan napas, mencoba menghapus bayangan horor yang merasuki pikirannya. Sesi latihan dansa akan dimulai lima belas menit lagi di ballroom lantai satu. Akhirnya, dengan berat hati ia menyeret kakinya ke arah pintu. Di dekat pintu, ia melirik cermin setinggi badan yang ada di pojok ruangan, dan mengerang ketika melihat refleksi rambutnya. Tampak seperti jamur beracun! Aaarrggghhh!
Terdengar ketukan di pintu.
Fay tersentak sedikit. ”Wait, I’m coming!” teriaknya sambil setengah mengomel dalam hati. Kalau yang mengetuk pintu Reno, Sam, atau Elliot dan mereka menertawakan rambutnya, ia bersumpah akan melempar cat kuku di meja rias ke arah mereka!
Fay menarik pintu hingga terbentang dan sontak ratusan kupukupu seperti beterbangan dalam perutnya. Napasnya tercekat ketika sebagian dirinya tiba-tiba seolah tersedot ke kedalaman dan keteduhan sepasang mata biru yang kini menatapnya tanpa kedip.
”Hi, Fay,” sapa Kent Edgar McGallaghan dengan seulas senyum. Bibir kemerahannya yang tipis melengkung dan sepasang mata birunya yang berbinar membuat seluruh wajahnya seolah berpendar dengan pesona. Rambut pirangnya yang berkilauan tampak sedikit gondrong dan lebih ikal, dengan ujung-ujung rambut melingkar yang masih terlihat agak basah. Kaus polo dan celana panjang katun membuatnya tampil rapi dan terpelajar.
”Hai, Kent...,” balas Fay dengan napas pas-pasan dan kaki yang rasanya belum menapak ke bumi. Apakah ini perasaannya saja atau Kent memang tampak lebih tampan daripada seminggu yang lalu saat terakhir mereka bertemu?
Kent maju dan memeluk Fay hangat. ”Bagaimana keadaanmu?” ”I’m great!” jawab Fay sambil menyambut pelukan Kent sambil berkeluh kesah dalam hati. Andai saja ia bisa berlama-lama memeluk Kent... Ia tahu semua perasaan ini tak bisa berujung ke mana-mana, tapi mau bagaimana lagi kalau hatinya tetap saja mengembang di hadapan cowok pirang tampan ini?
Kent memperhatikan Fay, kemudian berkata, ”Rambutmu bagus.
Kapan dipotongnya? Kamu jadi tampak lebih dewasa.”
”Thanks. Baru dipotong tadi,” jawab Fay enggan. Ia agak terhibur karena, berani sumpah, mata Kent sedikit berbinar ketika mengucap kannya. Namun, berhubung masih depresi dan belum mau mem bahas rambutnya, Fay buru-buru bertanya, ”Kapan kamu datang?”
”Aku tiba dua hari yang lalu, tapi langsung ke kantor dan baru kembali ke sini larut malam. Kamu sekarang ada acara apa?”
Pertanyaan Kent mengingatkannya lagi ke urusan berdansa dan Fay merasa dadanya seperti melesak. ”Aku ada latihan dansa di ballroom,” keluhnya, lalu menghela napas.
Kent tersenyum. ”Dari ekspresimu, kelihatannya dansa bukan aktivitas favoritmu, ya?”
Fay melirik Kent dengan sewot. Sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, Kent tertawa kecil dan berkata dengan intonasi mengalun yang lembut, ”Ayo, aku temani jalan ke bawah.”
Fay mengikuti langkah Kent yang berjalan perlahan di koridor menuju tangga. Benaknya membawanya ke beberapa waktu silam. Ia masih ingat bagaimana di minggu pertamanya ia masuk ke pusaran kesedihan dan keputusasaan yang seperti tak berkesudahan. Di saat seperti itu, Kent memeluknya tanpa berkata-kata, membiarkan kehangatan dekapannya meredakan kesedihan yang Fay rasakan. Akhirakhir ini gelombang kesedihan sudah jarang menerpa, dan ia bersyukur atas hal itu. Tapi, di sisi lain, ia merindukan pelukan hangat Kent yang menenteramkan hati. Bahkan berjalan di sisi cowok ini saja sekarang membuatnya lebih tenang.
”Tenang saja... tidak sulit sama sekali. Awalnya kamu menghafalkan langkah yang diajarkan pelatihmu, tapi itu sebagai panduan umum saja... Setelah itu kamu belajar membaca arahan gerakan partner dansamu. That’s all!” Fay menghela napas. ”Kamu membuatnya terdengar mudah.” ”Memang mudah kok. Yang lebih sulit sebenarnya pria, karena
harus memimpin, sedangkan yang wanita tinggal mengikuti saja. Lagi pula, ini kan ini hanya dansa untuk acara jamuan, bukannya kamu ingin jadi penari profesional dan ikut lomba.”
Fay mengangguk dengan perasaan sedikit terhibur. Mudah-mudahan memang tak seburuk yang ia bayangkan.
”Latihan-latihanmu sudah mulai?” tanya Kent.
Fay langsung mengerang putus asa ketika ingat jadwalnya. ”Baru mulai hari ini... ada latihan pagi dan sore, renang, bela diri, pedang... aku bisa gila!”
Kent mengerutkan dahi sedikit. ”Pedang? Maksudmu, anggar?” Fay menggeleng. ”Tidak, pedang! Ngapain sih belajar pedang?
Siapa yang masih pakai pedang zaman sekarang?”
Kent seperti berpikir, kemudian berkata, ”Biasanya pedang hanya diajarkan kalau sudah belajar menggunakan foil, pedang di permainan anggar yang paling ringan.”
Fay mengangkat bahu. ”Nggak tahu... Aku tadinya mau tanya ke Andrew, tapi habis dengar penjelasan Andrew tentang pelajaran dansa malah jadi lupa.”
Kent menapaki tangga turun ke lantai satu, diikuti Fay. ”Ada kejadian apa saja selama aku tidak di sini?” tanyanya.
Pertanyaan Kent membuat kekhawatiran Fay tentang dansa menguap, dan seulas cengiran terbentuk di wajahnya. ”Banyak sekali... benar-benar meriah... Sam dan Elliot sudah seperti anjing dan ku cing. Awalnya, aku melihat Sam menimpuk Elliot dengan roti-roti di meja makan waktu sarapan, tapi menurutnya itu membalas Elliot yang terlebih dulu mengerjainya. Kemudian, aku lihat Elliot tahutahu menerjang Sam di dekat kolam renang, hingga Sam tercebur dengan pakaian lengkap—Sam langsung keluar dari kolam sambil marah-marah dan mengejar Elliot hingga koridor jadi becek. Terus, tahu-tahu Elliot mengamuk karena komputernya di kamar tiba-tiba hilang...,” Fay berhenti sebentar karena mendengar Kent tertawa kecil. Ia ikut tertawa, lalu melanjutkan, ”Nah, ini yang paling lucu, kejadiannya tadi pagi. Waktu sarapan, Sam mengambil jus sayurnya yang biasa itu, yang ada di kulkas, kemudian mendadak pontangpanting ke wastafel dan memuntahkannya. Elliot cekikikan dan kabur. Belakangan, aku baru tahu Elliot mengganti jus sayur itu dengan hasil blenderan dedaunan di taman.” Ia tertawa lagi ketika ingat ekspresi Sam.
Kent tergelak. ”Andaikan aku ada di sini untuk menyaksikan sendiri.”
”Kamu sampai kapan di Paris?” tanya Fay.
”Aku akan kuliah di jurusan Ilmu Politik di Universitas Sorbonne, dan kepindahanku ke sini sudah final. Jadi, seharusnya aku tidak kembali ke London kalau tidak ada instruksi khusus.”
Fay sontak menoleh ke Kent. ”Ke sini? Maksudmu, kamu seterusnya menempati kamar di...”
”Seberang kamarmu?” lanjut Kent. ”Begitulah. Aku diberi apartemen dekat kampus, tapi fungsinya lebih sebagai pelengkap latar belakang cerita saja. Sama seperti apartemenmu.”
Fay mengerang tanpa malu-malu. Jadi, setiap hari, wajah tampan bermata biru terang ini akan ada terus di seberang kamarnya, tapi hanya bisa ditatapi dan diratapi dari jauh? Fay menoleh, bersiap mengeluarkan unek-uneknya, tapi urung ketika matanya beradu pandang dengan Kent. Fay langsung mengalihkan pandangan dengan dada sedikit berdebar.
Kent berkata ringan, ”Aku kira kamu akan senang karena kita jadi bisa lebih sering bersama-sama. Setidaknya, kalau kamu tidak suka, jangan terlalu terlihat kecewa begitu.”
Fay melirik Kent dan melihat cowok itu tersenyum simpul. Ia mendesah sambil menenangkan diri. ”Aku sebenarnya senang-senang saja, tapi pasal-pasal di The Code mau diapakan... dicoret pakai spidol hitam supaya tidak terlihat?” tanyanya balik. Satu bagian The Code mengatur secara spesifik tentang jenis-jenis interaksi antaranggota keluarga, baik yang diperbolehkan maupun dilarang.
”Iya... aku tahu. Ironis sekali bukan, kita sekarang benar-benar dekat, tapi status kita tidak lebih dari sekadar sepupu,” ucap Kent. Fay mendengar helaan napas Kent, sebelum pemuda itu bertanya,
”Jadi, kamu sudah mulai baca The Code?” Fay mengangguk. ”Aku lagi baca bagian pelanggaran dan langsung stres...”
”Kalau membaca bagian pelanggaran saja sudah bikin kamu stres, aku harus memperingatkan bahwa kamu mungkin akan depresi berat sewaktu membaca bab-bab terakhir,” ucap Kent sambil nyengir.
Mereka sudah tiba di depan ballroom. ”Mau aku temani latihan?” tanya Kent.
Fay menggeleng panik. ”Tidak, tidak... tidak usah... Kamu pergi saja...” Selama ini ia tidak pernah keberatan Kent menemaninya melakukan apa pun, tapi tidak yang satu ini. Sangat memalukan!
Kent tersenyum geli. ”Oke. Selamat latihan. I’ll talk to you later.” Ia membukakan pintu untuk Fay.
Fay masuk ballroom dan selama beberapa saat kekhawatirannya digantikan kekaguman—ia cukup sering melewati koridor di depan ruang ini dan sudah lama tahu bahwa pintu ini mengarah ke ballroom, tapi ini adalah pertama kalinya ia benar-benar masuk. Lampu-lampu kristal menggantung dari langit-langit yang tinggi. Dindingnya dipenuhi ukiran dan lukisan-lukisan yang tak hanya digoreskan di bidang kanvas, tapi juga langsung pada dinding. Bisa ia bayangkan betapa megah ruangan ini bila lampu-lampu kristal dinyalakan. Konon ruangan ini dulu digunakan oleh generasi McGallaghan di masa lampau untuk jamuan rutin para bangsawan Eropa. Namun, tradisi itu dihentikan sejak awal Perang Dunia I karena dianggap berpotensi membahayakan kedudukan keluarga, terutama dengan banyaknya rahasia yang tersimpan rapat di kastil ini.
Decak kagum Fay menghilang ketika tatapannya jatuh ke bebe rapa cermin beroda yang dijajarkan di salah satu sisi ruangan. Detik itu juga ia mengeluh dalam hati sambil memegangi perutnya yang langsung terasa melilit. Refleks ia mengangkat tangannya ke belakang kepala untuk membetulkan kucir rambut dan sempat tersentak sebentar sebelum mesem-mesem. Rambutnya kan sudah pendek, dasar nenek pikun!
Seorang pria tiba-tiba saja muncul dari lekukan dinding di dekat cermin. Memakai busana yang pas di badan berupa kaus tanpa lengan dan celana hitam, pria itu menjulurkan tangan. ”Allô, je m’appelle Gerard. Kamu pasti Fay.”
Fay mengangguk. Anggapan yang sempat hinggap di kepalanya— bahwa seorang instruktur dansa pria pasti bersifat kemayu—langsung luntur. Pria di depannya memiliki dada bidang, lengan berotot, dan berdiri dengan tegap. Satu-satunya ciri yang membuat siapa pun yang melihat pria ini yakin bahwa dia bukan tentara adalah rambutnya yang, walaupun cepak, dicat biru terang.
”Bajumu sudah disiapkan Ms. Connie di ruang ganti,” ucap Gerard sambil menunjuk lekukan dinding dari tempatnya muncul yang ternyata adalah akses ke ruang ganti.
Fay masuk ke ruang ganti dengan perasaan tertekan. Di gantung an baju ia melihat selembar kaus pas badan dan rok dari bahan sifon berlapis yang mungkin panjangnya hanya setengah paha.
Fay ternganga. Apakah ia diharapkan memakai rok ini?
Fay mencoba rok sambil berkeluh kesah dan akhirnya bersumpah serapah ketika melihat rok itu benar-benar hanya setengah paha, dan malah lebih naik lagi sedikit bila ia berputar dan rok sedikit mengembang. Seumur hidup ia tak pernah pakai rok sependek ini! Ya ampun!
Terdengar suara Gerard memanggil namanya. ”Sudah selesai?” ”I... iya, sebentar lagi,” jawab Fay buru-buru. Ia akhirnya me-
mutuskan mengabaikan fakta ada rok terlalu pendek menggantung di pahanya, dan langsung memakai sepatu dansa.
Musik klasik sudah terputar ketika ia keluar ruang ganti—suaranya memenuhi ruangan lewat pengeras suara yang terpasang di setiap sudut. Fay berjalan dengan hati-hati menghampiri Gerard. Ia belum terbiasa memakai sepatu dansa—haknya hanya lima senti, tapi sudah cukup lama kaki dan betisnya tak disiksa seperti ini. Fay menyapukan telapak tangannya yang berkeringat ke rok yang ia pakai, sekalian menarik-nariknya ke arah bawah sehingga agak turun sedikit. Kenapa ia harus sepanik ini menghadapi pelajaran dansa? Insiden terakhir yang menimpanya sehubungan dengan tari-menari terjadi belasan tahun lalu, dan sekarang tak ada alasan untuk setakut ini. Iya, kan? Pertanyaan retoris untuk menenangkan diri sendiri, tapi tentu tak bermanfaat. Gerard meminta Fay berdiri di hadapannya, kemudian satu tangannya memegang tangan Fay dan tangan yang lain ditempatkan di pinggang gadis itu. Ia lalu menarik Fay sehingga berdiri lebih rapat.
Fay bisa merasakan bagaimana kepanikan menyerang dan menjalar cepat, tak ubahnya seperti ketika dulu latihan diawasi Philippe yang memegang tongkat kayu. Pikirannya mulai menampilkan skenarioskenario yang merugikan, seperti: bagaimana kalau ia menginjak kaki Gerard, atau bagaimana kalau ia jatuh dan roknya tersingkap sehingga celana dalamnya terlihat, atau...
Salah satu skenario itu langsung menjadi kenyataan—Gerard mengaduh, lalu melepas pegangannya ke Fay dan melompat-lompat dengan satu kaki sambil meringis.
”Maaf, saya tidak sengaja...,” seru Fay panik.
”Ça va, tidak apa-apa,” ucap Gerard, masih sambil meringis menahan sakit. ”Rileks saja. Menyatu dengan musik dan bergerak sesuai aliran musik. Buang semua ketakutan dan kekhawatiran... Saya belum pernah melihat orang menari dengan kening berkerut-kerut seperti kamu,” ucapnya dalam bahasa Prancis campur Inggris dengan nada mengalun naik-turun. Tangannya bergerak-gerak, sejalan dengan nada yang diucapkan—bila nada suaranya naik, tangannya ikut naik dan tubuhnya juga jadi lebih tegak, demikian sebaliknya.
Fay menghela napas. Tak bisa ia percaya disuruh Philippe push up sambil dipelototi dan disirami kata-kata judes terasa lebih masuk akal daripada ini!
Gerard beranjak ke pemutar CD. ”Kita coba tarian lain dulu supaya kamu lebih santai.” Ia mengganti CD. Terdengar entakan musik Latin. Suasana klasik dan anggun langsung berganti menjadi riang dan menggoda.
”Salsa,” ucap Gerard, lalu mencontohkan gerakan kaki.
Tampaknya tidak sulit. Bergerak tiga hitungan, lalu berhenti di hitungan keempat, bergerak lagi tiga hitungan, lalu berhenti di hitungan kedelapan. Fay menghadap cermin lalu mencoba gerakan itu. Fay melihat Gerard bergerak ke belakangnya dan di detik berikutnya ia memekik kaget ketika kedua tangan Gerard mendarat di pinggangnya. Ia membuka mulutnya untuk protes, tapi kalah cepat. ”Gerakkan pinggul kamu seperti ini,” ucap Gerard sambil secara paksa menggerak-gerakkan pinggul Fay hingga melenggok ke kiri dan kanan. ”Kamu kelihatan seperti robot yang digerakkan remote,” tambahnya lagi dengan gemas.
Fay terperangah menatap Gerard lewat cermin di hadapannya— apakah ia tidak salah lihat, ada seorang pria yang meletakkan kedua tangan di pinggangnya begitu saja dan meraba-raba serta menggerakgerakkannya seolah ia adalah boneka tangan? Kalau ini terjadi di Jakarta, pria ini sudah ia tampar! Fay membuka mulut, siap menyemburkan kemarahan, tapi urung ketika melihat wajah Gerard menampakkan tekad yang seakan berkata bahwa tangannya takkan berhenti sampai gerakan Fay benar. Sorot mata Gerard yang serius juga menyiratkan tekad yang sama, menginginkan kesempurnaan sebuah gerakan. Entah bagaimana, Fay merasa kemarahannya surut begitu saja dan keinginannya untuk protes langsung menguap.
Gerard menegaskan tekadnya. ”Saya bersumpah akan membuat kamu bisa bergoyang, atau jangan panggil saya Gerard.”
Fay menarik napas panjang, mencoba melupakan fakta bahwa ada sepasang tangan pria nangkring di pinggangnya, mencoba fokus pada musik dan gerakan. Akhirnya, setelah beberapa saat, ia berhasil melakukan gerakan dengan alami. Sebenarnya tidak sulit, pikirnya. Ia hanya perlu mengabaikan tangan Gerard, menyuruh pikirannya diam sebentar, lalu berkonsentrasi untuk bergoyang mengikuti musik.
Gerard tampak puas. Ia bergerak ke depan Fay, satu tangan tetap ada di pinggul Fay, dan satu tangan lain meraih tangan Fay. ”Tutup matamu, berhenti berpikir. Ikuti hatimu. Mengalir sesuai intuisimu. Rasakan setiap otot di badanmu bergerak bersama musik. Ingat, kalau pikiranmu mengganggu, kembali ke hatimu dan menyatulah dengan jiwa yang dipancarkan oleh musik yang kamu dengar.”
Fay menutup mata. Awalnya terasa sulit, karena banyak sekali pikiran yang mengganggunya. Namun, ia berusaha mengikuti nasihat Gerard untuk mencoba meresapi musik. Akhirnya, setelah lagu kedua, pikiran-pikiran itu seperti lepas dan ia merasa melayang. Bebas. Tak ada keresahan, kekhawatiran, ketakutan. Yang ada hanyalah perasaan ringan, terangkat, dan bahagia. Ia mengikuti instingnya dan bergerak sesuai arahan Gerard—ia bisa merasakan Gerard menariknya ke arah kiri, memutarnya ke arah kanan, merapat, atau menjauh.
”Sekarang, buka matamu dan rasakan hal yang sama.”
Fay membuka matanya dan setelah beberapa waktu berhasil melakukan hal yang sama.
Gerard berkata, ”Kita habiskan satu lagu lagi, kemudian kembali ke dansa.”
”Kenapa nggak ini saja terus?” keluh Fay.
”Aha!” seru Gerard dengan senyum lebar. ”Baru dua lagu tapi kamu sudah kena mantra tarian Latin. Ini masih gerakan kaki dasar... perlu banyak sesi kalau kamu ingin menguasainya. Sayangnya, selama beberapa hari ke depan saya dibayar mahal dengan instruksi untuk mengajari kamu supaya bisa berdansa layaknya seorang lady saat pesta. Jadi, itu yang akan saya lakukan, dan salsa harus menunggu.”
Fay menghela napas sambil berkacak pinggang.
Gerard tertawa. ”Begini saja... kalau kemajuanmu cukup baik, kita selingi dengan salsa atau tarian lain supaya kamu tidak bosan,” ucapnya, lalu menepuk pipi Fay, ”Dancing should make you happy, not sad. Tak boleh ada yang bermuka murung saat sedang menari bersama Gerard. Allors, encore une fois—ayo, sekali lagi.”
***
Andrew McGallaghan duduk menyandar di meja kerjanya sambil menyesap anggurnya—gelas kedua malam ini. Sudah tiga kali ia membaca secara teliti laporan-laporan yang dikirim oleh kepala analisnya.
Minggu lalu ia mendapat informasi intelijen bisnis bahwa sebuah perusahaan farmasi multinasional bernama Red Med melanjutkan penelitian ”obat revolusioner” yang sebelumnya dimotori oleh Nicholas Xavier. Tak ada keraguan bahwa obat revolusioner itu adalah BioticX. Terlebih, nama Nicholas Xavier disebutkan sebagai pionir penelitian obat tersebut. Andrew sama sekali tidak mengira bahwa penelitian BioticX masih bisa dilanjutkan oleh pihak lain, padahal sang penggagas sudah menjadi abu di dasar Amazon dan data penelitian BioticX sudah tersimpan aman di markas rahasia COU.
Saat itu juga ia meminta kepala analisnya di COU untuk menyusun profil tentang Red Med dan pria yang ada di balik perusahaan tersebut, Bruce Redland.
Sewaktu membaca laporan pendahuluan, perhatian Andrew sertamerta tertuju ke data tentang para peneliti yang pernah bekerja untuk Nicholas Xavier. Total ada enam peneliti; satu peneliti pindah ke universitas di Amerika, satu peneliti lain tidak diketahui keberadaannya, tiga peneliti meninggal dunia karena kecelakaan dalam rentang satu bulan terakhir, dan satu peneliti bernama Monty Bradwick sekarang bekerja di Red Med.
Fakta yang menarik.
Adanya tiga kecelakaan terpisah dalam satu bulan, yang menimpa tiga orang, yang pernah bekerja di satu perusahaan yang sama, terlihat lebih seperti sebuah plot terencana daripada kebetulan belaka. Tidak mudah bagi orang biasa untuk merancang pembunuhan menjadi terlihat seperti kecelakaan, apalagi kini ada tiga kecelakaan. Andrew yakin Bruce Redland terkait dengan tiga kecelakaan tersebut—dan itu membuat pria itu tersingkir dari daftar ”orang biasa”.
Malam ini, ketika membaca laporan susulan yang jauh lebih lengkap, Andrew harus mengakui tampaknya kali ini ia menemukan lawan yang seimbang.
Seperti halnya kekayaan keluarga McGallaghan yang tersebar di berbagai penjuru dunia, aset Bruce Redland juga tak kalah mengesankan. Bukan hanya dari angka yang melambangkan nilai aset itu, tapi dari fakta bahwa aset-aset Bruce Redland seperti sengaja disembunyikan karena didaftarkan bukan atas namanya. Awalnya Andrew mengira hal itu terkait dengan usaha menghindari pajak atau pencucian uang, namun setelah meneliti lebih lanjut, ia menarik kesimpulan bahwa alasan Bruce Redland menyembunyikan asetnya adalah untuk menjaga keberadaannya sehingga tetap low profile—satu hal yang tak biasa di kalangan pebisnis, yang biasanya berlombalomba ingin masuk daftar orang kaya dunia atau daftar perusahaan top dunia.
Di laporan pendahuluan Andrew tidak bisa mendapatkan informasi mengapa Bruce Redland ingin profilnya tidak menonjol. Namun, dari laporan susulan yang baru saja ia terima, bisa ditebak bahwa Bruce Redland menjalankan bisnisnya dengan cara keras, dengan dukungan satu unit seperti COU yang berkedok perusahaan intelijen swasta. Tidak sulit bagi Andrew untuk mengoneksi datadata dengan cepat untuk sampai pada kesimpulan itu, karena cara yang persis sama juga ia pakai untuk meningkatkan mobilitas COU dan memperluas area kerja para agen COU, lewat sebuah perusahaan bernama SecureIntel Ltd. yang berbasis di Basel.
Andrew memutar-mutar gelas anggurnya. Ia telah membuat sebuah operasi berkode Echo untuk mengumpulkan informasi lewat pengawasan dan pengintaian Bruce Redland serta orang-orang yang punya kaitan erat dengannya. Malam ini ia akan menerima laporan pertama dari tim pengintai Operasi Echo, dan ia berharap ada cukup informasi untuk menentukan langkah yang akan menuntunnya ke kemenangan yang gemilang.
Dalam waktu dekat, ia akan menyusun rencana yang akan memastikan nama BioticX tidak akan muncul lagi ke permukaan, sehingga pada saatnya nanti hanya perusahaan milik keluarga McGallaghan, Llamar Health, yang merajai dunia dengan obat itu.
Terdengar suara pintu diketuk.
”Masuk,” ucap Andrew sambil meletakkan gelas anggurnya. ”Selamat malam, Paman,” sapa Fay.
”Good evening, Fay. Siap latihan sekarang?” Fay mengangguk.
Andrew beranjak menuju lemari kaca di sisi ruangan, lalu mengambil dua bilah tongkat kayu, masing-masing sepanjang satu meter.
”Kita ke aula sekarang?” tanya Fay.
”Tidak perlu. Latihan di sini saja cukup. Saya akan memberi contoh, setelah itu kamu lakukan sendiri.”
Andrew memegang masing-masing tongkat dengan satu tangan, kemudian meluruskan tangannya yang memegang tongkat ke arah depan, tegak lurus dengan tubuhnya. ”Depan...” Kemudian kedua tangannya direntangkan ke samping, hingga tongkat memanjang ke kedua sisi tubuhnya. ”Samping...” Lalu ia menyatukan kedua tongkat dan mengangkatnya sekaligus dengan kedua tangan ke atas. ”Atas...” Ia menyerahkan tongkat ke Fay sambil bertanya, ”Jelas?”
Fay menerima tongkat sambil mengangkat alis sedikit. Ia merasa seperti anak TK yang baru diajari arah.
Andrew bersedekap sambil memperhatikan Fay, kemudian berkata, ”Sekarang ikuti perintah saya. Depan...”
Fay mengikuti instruksi Andrew dengan perasaan sedikit terhina.
Apa susahnya mengarahkan dua tongkat ke depan? ”Samping...”
Asli, penghinaan!
”Atas...”
Ya Tuhan... tidak adakah latihan yang lebih intelek daripada ini?
”Bagus,” ucap Andrew, lalu kembali duduk di kursi kerja.
Fay menatap pamannya tanpa berkata-kata, mencoba merekonstruksi apa yang baru saja terjadi. Itukah yang dimaksud dengan latihan pedang? Mungkin lebih tepat kalau judulnya diganti jadi ”main-main dengan tongkat”... Anak TK juga bisa!
Andrew melihat arlojinya, kemudian berkata, ”Saya akan bekerja sambil menunggui kamu berlatih. Depan...”
Fay tidak bereaksi.
Andrew menatap Fay dan berkata lebih tajam, ”Saya bilang ‘depan’. Angkat tongkat ke depanmu, badan tegak, tangan dan tongkat membentuk satu garis lurus dengan sudut sembilan puluh derajat dengan badanmu, seperti yang saya contohkan tadi!”
Fay buru-buru mengangkat dua tangannya ke depan. Ia melihat Andrew mulai menyibukkan diri dengan komputer dan perlahan lahan mulai menebak maksud pamannya. Benarkah kecurigaannya? Sejenak ia berdebat dengan diri sendiri apakah akan bertanya, dan dengan sedikit gelisah akhirnya ia memutuskan iya. Ia berdeham sedikit, ”Excuse me, Uncle... sampai kapan saya harus memegang tongkat di depan seperti ini?” Andrew menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer, ”Sampai saya bilang kamu boleh menurunkan tanganmu, atau pindah ke posisi lain.”
Aduh, sialan! Fay mencoba menahan posisi itu, tapi lama-kelamaan beban dari tongkat mulai mengalahkan kekuatan lengannya. Ia bisa merasakan ototnya sepanjang lengan nyeri hingga tangannya bergetar. Tongkat pun miring ke bawah, membuat lengannya ikut turun.
Andrew bersuara seperti menggumam dengan tatapan tetap lekat ke layar dan tangan mengetik dengan cepat di keyboard. ”Samping...”
Fay mengembuskan napas lega ketika tangannya punya alasan untuk diturunkan. Namun, kelegaannya tidak bertahan lama. Begitu ia mulai mengangkat tangan ke samping, rasa nyeri kembali menggigit dan tak butuh waktu lama hingga lengannya terasa kram dan ia menurunkan tongkat sambil mengernyit dan mengeluarkan erangan pelan.
Andrew mengalihkan pandangannya dari layar komputer ke arah Fay. ”Young lady, kenapa tanganmu tidak sembilan puluh derajat di sisi tubuhmu? Lakukan lagi,” tegasnya.
Fay menggigit bibir, lalu memaksakan diri untuk mengangkat kedua tangan dan merentangkannya di sisi tubuh.
”Atas...”
Fay menggabungkan kedua tongkat lalu mengangkatnya hingga melewati kepala. Ia melirik jam dinding—baru sepuluh menit, padahal di jadwal disebutkan latihan pedang ini berlangsung satu jam. Mati!
Berikutnya, menit terasa merayap.
Di menit kedua puluh, Fay melepas tongkat dan mendekap diri sendiri sambil memegangi lengannya dan mengaduh-aduh. Ia melihat pamannya bangkit dari kursi dengan ekspresi datar yang tak bisa dibaca. Raut wajah itu sesaat membawanya pada persiapan tugasnya dulu, hanya saja sekarang ia tidak panik seperti waktu itu.
Andrew berdiri di hadapan Fay, lalu bertanya, ”Kamu tahu kenapa saya memintamu berlatih memegang tongkat seperti ini?” Fay menggeleng, masih sambil mengernyit dan mengusap-usap lengannya.
”Kedua tongkat ini mempunyai berat kurang-lebih sama dengan sabre, salah satu pedang anggar yang biasa digunakan di keluarga ini. Sebelum berlatih menggunakan pedang, tentunya kamu harus mampu memegang dan mengangkatnya. Itu sebabnya latihan-latihan awal pedang hanya dipusatkan pada kemampuan memegang, menahan, dan mengangkat tongkat yang ada di dalam genggamanmu. Setelah genggamanmu kuat, baru kita akan memakai pedang latihan untuk melatih gerakan-gerakannya.”
Andrew memperhatikan Fay sejenak, kemudian bertanya, ”Apakah kamu masih bisa melanjutkan latihan sekarang?”
”Lengan saya nyeri sekali...,” keluh Fay sambil menatap Andrew dengan harap-harap cemas. Kelegaan langsung menerpanya ketika melihat pamannya mengangguk.
”Baik. Kita lanjutkan besok malam. Sekarang kamu bisa kembali ke kamarmu dan beristirahat. Good night, young lady.”
”Thank you, Uncle,” ucap Fay sambil mengembuskan napas lega tanpa malu-malu, kemudian berlalu ke kamarnya sambil bersyukur dalam hati.
***
Andrew mengembalikan tongkat latihan ke lemari sambil menggeleng. Ia melatih keponakannya yang lain dengan cara sama—bedanya, untuk setiap kegagalan mereka menahan posisi, ia akan mengganjar mereka dengan satu pukulan di lengan menggunakan sebuah tongkat berdiameter kecil, yang akan meninggalkan bekas-bekas gurat an merah selama beberapa hari. Yang menahannya sekarang sehingga tidak melakukan hal yang sama terhadap Fay adalah karena keponakannya itu masih dalam masa berkabung, dan karena di jamuan ulang tahunnya yang akan dilangsungkan dalam hitungan hari dia akan mengenakan gaun dengan lengan terbuka.
Andrew kembali ke meja kerja, kemudian kembali larut dalam pekerjaannya. Tiba-tiba pintu ruang kerja terbentang lebar—tak ada suara ketukan.
Andrew menoleh dan mengangkat alis melihat sepupunya, Raymond Lang, masuk ke ruangan tanpa basa-basi, mendekat dengan langkah lebar dan raut wajah kaku. Di tangannya ada beberapa lembar kertas.
”Ada apa, Ray?” tanya Andrew dengan dahi sedikit berkerut. Mata Raymond yang menatap tajam seperti elang dengan rahang yang mengeras tanpa senyum biasanya hanya ia lihat ketika Raymond sedang mengawasi jalannya sebuah operasi lapangan di ruang pusat komando di kantor, tak pernah di rumah.
Raymond berdiri di hadapan Andrew, kemudian berkata dengan intonasi penuh tekanan, ”Aku tadi menerima laporan Operasi Echo yang dikirim oleh tim pengintai...” Tangannya bergerak seperti menggebrak meja ketika meletakkan selembar foto di hadapan Andrew. Ia lalu menunduk sedikit dan berkata dengan suara keras, ”Jelaskan, kenapa anak asuhmu bisa muncul dalam laporan tim pengintai Operasi Echo, dan aku, sebagai Chief of Operation yang memegang kendali operasi, tidak tahu-menahu akan hal ini!”
Andrew mengambil foto yang diletakkan Raymond, kemudian mengamatinya. Ia lalu berkata lamat-lamat, ”Dengan berat hati harus kukatakan bahwa aku tidak punya andil apa-apa dalam hal ini.” Ia bersandar ke kursi, kemudian berkata dengan suara jernih yang tenang, ”Please, Ray, have a seat... kelihatannya kita akan berdiskusi panjang lebar malam ini...”
***
Keesokan harinya, Fay duduk di gazebo sambil meluruskan kaki dan menyandarkan punggung ke sandaran bangku. Hari ini adalah kali kedua ia berlatih dengan Gerard, dan harus ia akui, ia mulai menikmati bagaimana kaki, tangan, dan seluruh tubuhnya mengayun diiringi alunan musik. Ada momen-momen ketika musik tak terasa mengiringinya lagi, tapi seperti lebur bersama gerakannya dalam harmoni. Bahkan ia tak terlampau mengomel ketika tadi Ms. Connie menukar sepatu dansanya yang berhak lima senti dengan sepasang sepatu baru berhak tujuh senti yang akan dipakai latihan mulai besok. Benar-benar perkembangan yang tak pernah ia sangka, mengingat betapa benci dan antipatinya ia sebelum ini dengan aktivitas tari-menari.
Fay menyapukan pandangan ke sekelilingnya, kemudian memperhatikan setiap detail gazebo. Aneh rasanya, bisa duduk di gazebo tanpa meneteskan air mata. Apakah duka yang ia rasakan sudah berlalu sepenuhnya? Dan, apakah itu berarti ia telah melupakan orangtuanya? Sepertinya, memang tak ada momen dan emosi yang bisa berlangsung ”selama-lamanya”. Pada saatnya semua akan berubah, atau dipaksa untuk berubah, tak terkecuali duka dan lara. Nothing lasts forever.
Sebagian dirinya merasa bersalah karena terlalu cepat membiarkan kenangan atas kedua orangtuanya membeku dan ingatan atas kepergian mereka berlalu, tapi tak bisa ia mungkiri bahwa luapan emosi dalam bentuk kesedihan yang menggigit sudah jarang sekali menghinggapi dirinya. Yang memenuhi benaknya sekarang, yang mengangkat perasaannya dan yang membuat seulas senyum dapat dengan mudah dimunculkan oleh wajahnya, adalah kejadian-kejadian menyenangkan selama ini bersama para sepupunya, terutama Kent dan Reno. Seperti waktu kedua cowok itu menawarkan diri untuk membantu membereskan apartemen. Seharian penuh mereka bertiga menghabiskan waktu di sana dengan penuh canda dan gelak tawa. Dua cowok itu juga menemaninya berbelanja banyak barang untuk menghias apartemen kecil itu.
Fay tersenyum, teringat perdebatan-perdebatan kecil di antara mereka bertiga saat berselisih pendapat atas pilihan motif piring, warna karpet, jenis vas bunga, bentuk gagang pisau, dan banyak hal tak penting lainnya. Di tengah-tengah perdebatan antara mereka bertiga, ada satu titik ketika ia sampai merasa bahwa Reno dan Kent benar-benar keluarga yang tumbuh besar bersama-sama dengannya. Di luar keluarga ini, keberadaan Enrique juga memberi warna tersendiri dalam kehidupan Fay sehari-hari. Walaupun baru bertemu Enrique sekali, bersama cowok itu Fay menemukan kenyamanan dalam suasana normal. Percakapan mereka lewat telepon atau komputer juga sangat ringan dan normal.
Apakah kenangan baru yang indah bisa menutupi kenangan lama yang menyakitkan? Atau, apakah sang waktu sebenarnya telah menyembuhkan luka dan membasuh duka? Marahkah Papa dan Mama ketika anak semata wayang mereka mencoba melanjutkan hidup dan berbahagia tanpa mereka?
Fay mengeluarkan telepon genggamnya untuk mengaktifkan dering yang tadi ia matikan sewaktu sesi dansa. Ia berniat mengikuti usul Kent untuk mengecat satu dinding apartemennya dengan warna cerah sebagai aksen. Hari ini Kent sibuk di kantor, jadi kesempatannya hanya besok. Tapi, dengan jadwal padat seperti sekarang, mana bisa?
Seulas senyum mengembang di wajah ketika melihat ada satu missed call dan satu pesan, keduanya dari Enrique. Pesan dari Enrique berbunyi: ”Aku tadi menghubungimu tapi tidak diangkat. Are u busy?”
Fay memutuskan untuk menelepon Enrique. ”¡Hola, amiga!” Terdengar sapaan ceria Enrique. ”Hai, Enrique... kenapa kamu tadi meneleponku?”
”Mau ngobrol saja. Hari ini satu kontainer datang dan sekarang seluruh kehidupanku berpusat pada kardus... secara harfiah!”
Fay tergelak. ”Bukankah menyenangkan menemukan kejutan-kejutan di dalam kardus?” tanyanya.
”Satu-satunya kejutan menyenangkan adalah kalau tiba-tiba kamu muncul dari dalam kardus dan kita bisa kabur makan es krim.”
Fay tersenyum simpul. ”Aku nggak keberatan sih kalau makan es krim lagi...”
”Yuk... besok siang?”
Fay terdiam saat ingat jadwalnya. Ia menarik napas panjang, kemudian berkata, ”Aku belum tahu bisa atau nggak. Teman ayahku bilang mau mengajakku pergi, tapi dia belum bilang waktunya kapan. Nanti aku kabari ya.”
”Si, amiga... kutunggu ya.”
Fay menutup sambungan telepon, kemudian membuka jadwal di telepon genggam. Apakah ia punya waktu untuk pergi sebentar besok setelah makan siang? Seingatnya, besok sore latihan bela diri dengan Raymond, dan latihan pedang—tepatnya, tongkat!—setelah makan malam. Berapa banyak waktu kosong yang ia punya?
Kalender terpampang dan dahi Fay langsung berkerut—kalendernya bisa dibilang kosong melompong, sangat berbeda dengan yang ia lihat kemarin. Besok tetap ada latihan pagi pukul 04.30, tapi kemudian kosong hingga sesi dance lesson di sore hari. Hari ini juga begitu—setelah satu sesi dance lesson yang baru saja selesai, tak ada acara apa-apa lagi. Apakah latihannya dibatalkan? Atau ada kesalahan?
Ia akhirnya memutuskan untuk menelepon pamannya.
”Yes, young lady, ada apa?” tanya Andrew langsung mengangkat teleponnya.
”Hi, Uncle. Sorry to bother you... Saya melihat kalender dan jadwalnya beda dengan kemarin. Apakah latihannya dibatalkan?”
”Iya. Latihanmu dibatalkan karena menurut saya akan lebih baik bila kamu berkonsentrasi untuk persiapan jamuan.”
”Apakah itu artinya saya boleh pergi ke luar bila jadwal saya kosong?”
”Of course. Do whatever you like. Kamu tahu aturannya... jangan terlambat untuk makan malam, pukul tujuh.”
Fay tersenyum lebar. ”Thanks, Uncle.” ”Anytime, young lady. I’ll see you tonight.” Telepon ditutup.
Dengan wajah masih memampangkan senyum lebar, Fay kembali menelepon Enrique.
”Hai, aku nggak jadi pergi sama Bobby. Jadi aku bisa kalau kamu mau makan es krim besok sebelum makan siang.” Fay langsung tertawa kecil mendengar teriakan senang Enrique. Kemudian ia menambahkan sambil nyengir, ”Sebenarnya sekarang juga bisa sih kalau kamu mau...”
Terdengar suara Enrique yang sangat bersemangat, ”¡Perfecto!
Sekarang saja kalau begitu!”
”Oke... aku berangkat sebentar lagi dari rumah Bobby. Ketemu di mana?” ”Di tempat kursus saja, supaya mudah.” ”Oke...”
”¡Ciao, amiga!”