Bab 39
MAKAN malam yang menyenangkan.
Kami menghabiskan makanan di atas piring sambil bercakapcakap ringan. Ou berceloteh tentang ikan paus yang dilihatnya tadi siang, bercerita kepada Seli—yang sebenarnya tidak mengerti sama sekali apa maksudnya. Seli hanya mengangguk purapura mengerti agar Ou senang, menebaknebak, lantas menjawab asal. Kami tertawa, karena sejak tadi Seli menyangka Ou bercerita tentang kapsul kereta.
Sementara Vey semangat bertanya padaku tentang masakan apa yang biasa tersaji di meja makan di dunia kami, aku berusaha menjelaskan nama dan bagaimana Mama memasak salah satu masakan tersebut.
Vey memotong ceritaku, berseru tidak percaya. ”Buburnya berwarna putih? Aku belum pernah membuat masakan berwarna putih, Ra.” Aku tertawa, meyakinkan Vey bahwa warnanya memang putih. Vey menatapku antusias. ”Itu mungkin menarik dicoba.” Aku tersenyum melihat ekspresi wajah Vey. Dia pasti akan lebih histeris lagi kalau tahu ada masakan berwarnawarni cerah di kota kami.
Di sisi lain meja, Ali telah terlibat percakapan serius dengan Ilo, tentang apa itu Pasukan Bayangan—dan dia melakukannya dengan bahasa dunia ini. Kemajuan bahasa Ali menakjubkan, mengingat itu topik yang berat, tapi dia bisa menangkap dengan baik kalimat Ilo. Kami jadi diam sejenak, memperhatikan Ilo dan Ali.
”Ada berapa jumlah Pasukan Bayangan sekarang?” Ali bertanya. ”Dulu jumlah mereka ratusan ribu. Sekarang hanya separuhnya.
Berkurang drastis. Sejak Komite Kota berkuasa, militer bukan lagi
prioritas utama kami. Seperti yang dikatakan Av, negeri ini aman, tidak ada yang memiliki ambisi berkuasa dan perang. Jadi buat apa memiliki pasukan militer banyak?” ”Apakah seluruh anggota Pasukan Bayangan memiliki kekuatan?” ”Mayoritas tidak. Mereka hanya pemuda biasa yang direkrut. Tapi
Pasukan Bayangan adalah sisa pasukan kerajaan. Anakanak muda itu
dilatih agar memiliki kemampuan bertarung di atas ratarata.
”Setahuku, yang memiliki kekuatan hanya pemimpin Pasukan Bayangan. Dikenal dengan istilah ‘Panglima’. Ada delapan panglima, sesuai mata angin, Panglima Utara, Panglima Selatan, dan seterusnya. Yang paling kuat adalah Panglima Barat dan Panglima Timur, mereka memimpin separuh lebih Pasukan Bayangan. Dari kabar yang selama ini beredar, masingmasing panglima memiliki kekuatan berbeda. Tapi posisi mereka setara, membentuk Dewan Militer, diketuai secara bergiliran, dan dewan itu setara dengan Komite Kota.
”Sudah menjadi pengetahuan seluruh penduduk bahwa Dewan Militer cenderung berseberangan dengan Komite Kota. Mereka lebih menginginkan para pemilik kekuatan yang berkuasa, seperti pada era kerajaan. Sayangnya aku tidak tahu lebih detail. Aku hanya mendesain seragam mereka. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan satu pun dari delapan panglima.”
”Bagaimana dengan akademi? Apakah itu sekolah khusus?” Ali sudah berganti topik. Dia persis seperti spons, terus menyerap informasi di sekitarnya, belajar dengan cepat.
”Iya, kamu benar. Itu sekolah berasrama dengan izin otoritas tinggi. Ada tiga puluh dua akademi di seluruh negeri, dan seluruh pemimpin akademi juga merupakan para pemilik kekuatan—meskipun sebagian besar guru dan muridnya tidak. Tapi berbeda dengan Pasukan Bayangan, pemimpin akademi adalah orangorang seperti Av. Kekuatan mereka berbeda dan digunakan dengan cara berbeda pula. Mereka mencintai pengetahuan dan kebijaksanaan. Aku tidak tahu kenapa sebagian besar akademi menyatakan kesetiaan kepada penguasa baru. Itu membuat peta politik jadi berbeda”
”Kita tidak akan membahas soal ini saat makan malam kan, Ilo?” Vey memotong kalimat Ilo. Dia tersenyum menunjuk Ou lewat tatapan mata. ”Mari kita bahas hal lain saja, yang lebih asyik dibicarakan.”
Ilo mengangguk. Dia mengerti kode Vey. Tidak baik membicarakan kekacauan kota di depan Ou yang masih kecil.
Aku mengembuskan napas kecewa. Aku sebenarnya masih ingin mendengarkan penjelasan Ilo. Sepertinya menarik tentang akademi tadi.
”Oh ya, Ra, kamu bisa melanjutkan menjelaskan tentang bubur berwarna putih tadi?” Terlambat, Vey sudah memilih topik percakapan kesukaannya.
Tidak ada lagi yang bicara tentang Pasukan Bayangan, akademi, dan kekacauan kota hingga kami menghabiskan makanan di atas piring.
Selepas makan malam, setelah membantu Vey membereskan meja makan, kami pindah duduk di sofa panjang. Nyala api di perapian terasa hangat. Ou sekarang semangat berceloteh tentang sekolahnya, tentang gurugurunya.
Seli kembali mendengarkan dengan sungguhsungguh, berusaha memahami kalimat Ou. Mereka berdua terlihat akrab sejak tadi pagi. Aku sampai berpikir, kalau kami akhirnya bisa pulang ke kota kami, jangan jangan Seli akan mengajak Ou ikut.
”Kamu sepertinya harus belajar bahasa dunia ini sepeti Ali, Sel,” aku berbisik.
”Ini juga lagi belajar,” Seli balas berbisik, fokus mendengarkan Ou. Tetapi kemampuan belajar bahasa Seli lambat. Lagilagi dia keliru.
Dia mengira Ou sedang bercerita tentang ikan paus. Aku tertawa
mendengar percakapan mereka yang berbeda bahasa.
”Ra, apa yang biasanya kamu lakukan malammalam seperti ini di rumah?” Vey yang duduk di sebelahku bertanya.
”Eh, kadang mengerjakan PR. Kadang membaca novel.”
Vey manggutmanggut. ”Itu tidak berbeda jauh dengan anakanak kota ini.”
Ali di sofa kecil tenggelam dengan kamusnya. Sementara Ilo menonton televisi dengan volume rendah, yang masih dipenuhi berita sama sepanjang hari. Kerusuhan kembali meletus di banyak tempat. Banyak penduduk yang menuntut penjelasan apa yang sedang terjadi di Tower Sentral. Tidak ada kabar soal Komite Kota, juga tidak ada pengumuman siapa yang akan berkuasa. Semua menebaknebak apa yang akan terjadi berikutnya.
Setelah bercerita lama, Ou terlihat mengantuk, menguap lebar. Vey menawarinya tidur, masuk kamar. Ou mengangguk, bilang kepada Ilo bahwa dia ingin dibacakan buku cerita.
Ilo mengangguk, beranjak berdiri. ”Kami naik duluan, anakanak.” ”Jangan tidur terlalu larut, Ra, Seli,” Vey mengingatkan. ”Dan Ali,
kamu jangan sampai tertidur di sofa panjang. Ruang tengah dingin sekali
kalau perapiannya sudah padam.” Aku, Seli, dan Ali mengangguk.
”Ayo, Ou, bilang selamat malam kepada kakakkakak.”
Si kecil itu mengucapkan selamat malam—dia memeluk Seli erat.
Lantas mengikuti langkah kaki Ilo dan Vey menaiki anak tangga.
”Anak itu lucu sekali, ya,” Seli berbisik, mendongak, melambaikan tangan.
Aku setuju, Ou memang menggemaskan.
”Ily mungkin sama tampannya seperti dia lho, Sel,” aku berkata
pelan.
”Maksudmu?” Seli menatapku.
”Ya tidak ada maksud apaapa.” Aku menahan tawa. ”Siapa tahu Ily masuk kategori gwi yeo wun, kan? Di dinding kapsul kemarin saja, meski putusputus gambarnya sudah terlihat bakat gwi yeo wunnya.”
”Maksudmu apa sih, Ra?” Seli melotot.
Aku tertawa. Seli tidak asyik diajak bercanda—padahal dia paling suka menggodaku.
***
Suara api membakar kayu di perapian terus berkeretak.
Ruang tengah menyisakan suara televisi—Ilo meninggalkan remote control di atas meja. Aku dan Seli menonton, Ali kembali asyik dengan kamus dan majalah.
Bosan menonton liputan berita yang lebih banyak diselingi running text berukuran besar, himbauan agar penduduk tetap tenang, tinggal di rumah masingmasing, aku beranjak meraih tas ransel Ali, mengeluarkan buku PR matematikaku.
Seli beranjak mendekat.
Harus kuapakan lagi buku ini agar bisa dibaca?
Aku menyandarkan punggung di sofa, menimangnimang buku bersampul kulit itu. Kalau saja Miss Selena ada di sini, mungkin dia bisa membantu banyak. Miss Selena sendiri yang mengantarkan buku ini kepadaku, jadi seharusnya dia tahu persis ini buku apa, meskipun dia memberikannya dengan tergesagesa, seolah takut ada yang tahu, dan meninggalkan pesan samar.
Aku menghela napas pelan. Apa kabar Miss Selena? Apakah dia selamat dari pertarungan di aula sekolah? Atau berhasil kabur? Bukankah kata Av, tidak ada yang pernah lolos dari serangan Tamus?
”Kamu punya ide baru untuk membacanya, Ra?” Seli bertanya.
itu.” Aku menggeleng, tidak ada ide sama sekali.
”Cepat atau lambat, kamu pasti bisa membacanya. Aku percaya
Aku tersenyum. ”Terima kasih, Sel.”
Aku tahu, Seli juga berkepentingan agar aku bisa membaca buku ini, tapi kalimat Seli barusan lurus. Dia tulus membesarkan hatiku, tanpa maksud lain. Seli teman yang baik.
”Kirakira apa yang terjadi dengan sekolah kita ya?” Seli bergumam
pelan.
”Mungkin diliburkan, Sel. Gedungnya rusak parah, kan?”
Seli terdiam sebentar. ”Semoga begitu. Setidaknya kalau memang libur, kita tidak terlalu ketinggalan pelajaran saat pulang nanti.”
Aku nyengir lebar. Itu sudut pandang yang menarik. Aku masih menimangnimang buku PR matematikaku.
”Kirakira apa yang sedang dikerjakan orangtua kita saat ini, Ra? Sudah dua hari lebih kita tidak pulang.” Seli ikut menyandarkan punggung di sofa.
”Mamaku mungkin sudah memasang iklan di televisi,” aku mencoba bergurau.
Seli menoleh, tertawa. ”Iya, lewat tantemu yang bekerja di stasiun televisi itu, kan?”
Kami berdua tertawa kecil.
Aku sebenarnya memikirkan hal lain. Bukan hanya cemas soal sekolah, tapi juga cemas apa yang akan dilakukan Mama dan Papa saat ini di kota kami. Aku tahu mereka pasti kurang tidur, terus berjaga menunggu kabar baik. Tapi aku lebih mencemaskan jika kami berhasil pulang, bagaimana aku akan bertanya tentang statusku? Apakah aku berani langsung bilang ke Mama dan Papa? Bertanya apakah aku sungguhan anak mereka atau bukan? Bahkan Mama mungkin histeris atau pingsan duluan sebelum aku selesai bertanya.
”Ra, tolong besarkan volumenya,” Ali berseru.
Aku menoleh. ”Volume apa?” Ali menunjuk layar televisi.
Aku menatap ke depan. Ada breaking news, pembawa acara muncul di layar kaca.
”Penduduk Kota Tishri, kami melaporkan langsung dari lokasi gedung Perpustakaan Sentral. Situasi terkini dalam breaking news.”
Ali berdiri di sebelahku agar bisa menyaksikan berita lebih baik.
Layar televisi kini menampilkan gedung perpustakaan. Asap tebal membubung tinggi, sayap kanan gedung terlihat runtuh. Tapi tidak terdengar lagi suara dentuman, teriakan, ataupun suara pertempuran. Orangorang berseragam gelap justru terlihat berseruseru riang.
”Beberapa menit lalu Panglima Barat mengonfirmasi bahwa mereka berhasil menguasai titik terakhir resistensi terhadap penguasa baru. Gedung perpustakaan telah jatuh ke tangan mereka. Seperti yang bisa kita saksikan, ribuan anggota Pasukan Bayangan bersoraksorai atas kemenangan ini, setelah hampir 36 jam mengepung gedung tanpa henti.”
Aku dan Seli menahan napas menatap berita.
”Sebagian besar gedung rusak parah, dan entah bagaimana nasib jutaan buku dan catatan yang ada di dalamnya. Ini sebenarnya situasi yang menyedihkan di antara soraksorai kemenangan. Kota ini boleh jadi kehilangan koleksi terbaik dan terbesar di Perpustakaan Sentral.”
Layar kaca menunjukkan serakan bukubuku di lantai.
”Panglima Barat dan pasukannya saat ini sedang menyisir seluruh gedung, memastikan tidak ada lagi sistem keamanan dan segel yang aktif. Mereka akan menjadikan perpustakaan sebagai markas sementara Pasukan Bayangan. Dengan demikian, hingga batas yang belum ditentukan, Perpustakaan Sentral tertutup bagi pengunjung.”
”Bagaimana dengan Av?” Seli berbisik tertahan.
Aku mematung, tidak mendengarkan pertanyaan Seli. Ini kabar buruk. Aku pikir perpustakaan tidak akan jatuh, Av bisa bertahan lama hingga situasi menjadi jelas. Apakah Tamus mengurus sendiri masalah ini, hingga Bagian Terlarang akhirnya jatuh? Aku mengeluh, sosok tinggi kurus itu tidak pernah terlihat di liputan berita mana pun dua hari terakhir. Sosoknya misterius bagi banyak orang. Hanya orang tertentu yang tahu dia ada di belakang layar.
Layar televisi masih menyorot dari dekat kondisi gedung perpustakaan. Belasan lampu kristal besar yang tergantung di ruang depan berserakan di lantai. Dinding ruangan itu hancur lebur, bukubuku berhamburan. Puluhan anggota Pasukan Bayangan berjagajaga di setiap sudut. Tidak ada lagi sisa ruangan megah yang pernah kulewati kemarin pagi.
”Bagaimana dengan Av?” Seli bertanya dengan suara lebih keras. ”Entahlah, Sel.” Aku menggeleng.
”Bagaimana kalau dia kenapanapa?”
Aku tidak tahu. Situasi ini semakin kacau.
Setelah dua hari lalu Miss Selena tidak ada kabarnya, sekarang bertambah dengan Av—orang yang bisa kami percaya, dan kemungkinan bisa membantu kami jika situasi kembali normal.
Saat itulah, ketika kami masih menatap layar kaca, api di perapian mendadak menyala lebih terang, seperti ada yang menyiramkan minyak ke dalamnya. Lidah api menyambarnyambar tinggi hingga ke luar perapian. Aku dan Seli menoleh kaget, refleks melangkah mundur. Ali ikut menatap perapian sambil lompat ke samping, menghindar.
Sebelum kami mengetahui apa yang terjadi, dari dalam kobaran api keluar seseorang yang amat kukenal, dengan pakaian abuabu, rambut memutih. Dia susah payah merangkak keluar dari perapian, seperti membawa sesuatu yang berat.
”Av!!” aku dan Seli berseru tertahan.
Bagaimana Av bisa ada di perapian? Apakah dia terbakar? Aku dan Seli bergegas mendekat, segera menjauh lagi karena takut dengan nyala api. Ali segera menyambar bantal atau pemukul atau entahlah untuk memadamkan api yang berkobar tinggi.
Tetapi Av tidak mengaduh kesakitan. Wajahnya memang meringis menahan sakit, tapi bukan karena nyala api. Dia terus berusaha keluar dari perapian, sambil menyeret sesuatu.
”Bantu aku, anakanak!” Av berseru. ”Bantu apanya?” Aku bingung.
”Bantu aku mengeluarkan sesuatu.” Napas Av tersengalsengal. ”Api ini tidak panas. Kalian bisa memasuki perapian dengan aman.”
Aku raguragu melangkah, lalu berhenti. Sejak kapan api tidak panas? Tapi sepertinya Av serius, api yang menyala di perapian bahkan tidak membakar pakaian Av. Bagaimana ini? Seli juga raguragu mendekat. Ngeri melihat gemeretuk api—padahal dia bisa mengeluarkan petir.
Ali akhirnya memberanikan diri mendekat. Dia melemparkan pemukul di lantai, melangkah ke perapian yang berkobar. Av susah payah menarik keluar tubuh seseorang dari dalam perapian. Ali membantu, tangannya ikut masuk ke dalam nyala api. Seli menutup mulut, hendak menjerit, tapi Ali baikbaik saja.
Aku akhirnya memberanikan diri ikut membantu. Bertiga kami menyeret keluar seseorang. Entahlah siapa orang ini, kondisinya mengenaskan, penuh lebam terkena pukulan. Ada darah kering di ujung mulut, pakaian gelapnya robek di banyak tempat. Dia sepertinya habis bertarung matimatian. Kami membaringkannya di lantai dekat sofa panjang.
Av kembali ke perapian, masih sibuk menyeret benda lain, dibantu Ali. Dia mengangkut keluar beberapa kotak hitam, gulungan kertas besar, bukubuku kusam, juga beberapa kantong kecil berisi sesuatu. Av meletakkannya di atas meja.
Nyala api di perapian mengecil, lantas kembali normal seperti sedia kala. Av duduk menjeplak di atas lantai, napasnya menderu, terlihat lelah. Pakaian abuabunya kotor oleh debu, bahkan robek di kaki dan dada. Rambut putihnya berantakan. Wajahnya penuh bercak hitam. Buruk sekali kondisinya. Tongkatnya tergeletak di dekat kaki.
”Ada apa, anakanak?” Terdengar suara Ilo dari atas. Dia pasti mendengar keributan di ruang tengah sehingga keluar dari kamarnya. Demi melihat Av duduk di lantai, Ilo bergegas menuruni anak tangga.
”Kamu datang dari mana, Av?” Ilo berseru, menatap tidak percaya. ”Jangan banyak bertanya dulu.” Av mengangkat tangannya,
menggeleng. ”Ada hal penting yang harus kulakukan sekarang.”
Ilo terdiam—sama seperti kami yang sejak tadi hanya bisa diam.
Av menghela napas, beranjak mendekati orang yang terbaring di lantai.
Orang yang terbaring di lantai mengenakan seragam gelap, sama seperti Pasukan Bayangan, bahkan pakaiannya jauh lebih baik, dipenuhi simbolsimbol yang tidak kupahami. Aku menelan ludah, orang ini pasti anggota Pasukan Bayangan.
Av duduk di samping orang tersebut, memejamkan mata, berkonsentrasi penuh, lantas tangan Av menyentuh leher orang itu. Meski samar, di antara sinar lampu dan nyala perapian, aku bisa melihat ada cahaya putih lembut keluar dari tangan Av, merambat ke perut, ke kepala, menyelimuti seluruh tubuh orang yang terbaring entah hidup atau mati.
Kami semua diam, menyisakan suara gemeretuk nyala api di perapian.
Satu menit yang terasa panjang, cahaya putih itu semakin terang, lantas perlahanlahan memudar. Av melepaskan tangannya. Menghela napas perlahan. ”Hampir saja. Hampir saja aku kehilangan dia.” Av mengembuskan napas lega.
Aku sepertinya tahu apa yang baru saja dilakukan Av. Dia pernah menyentuh lenganku, lantas ada aliran hangat yang membuatku lebih fokus dan tenang. Av pernah bilang dia memiliki kekuatan yang berbeda dibandingkan Tamus. Dia bukan petarung. Sepertinya selain membuat sistem keamanan dan segel, salah satu kekuatan Av adalah bisa menyembuhkan.
”Kamu datang dari mana, Av?” Ilo kembali bertanya—tidak sabaran. ”Aku datang dari sana.” Av menunjuk perapian.
”Perapian?” Ilo tidak mengerti.
”Itulah kenapa aku bilang jangan bertanya dulu, Ilo.” Av menghela napas. ”Aku lelah habishabisan. Menahan Pasukan Bayangan selama satu hari lebih tidak mudah bagi orang setua aku. Setidaknya biarkan aku menghela napas sebentar.”
”Tapi... perapian? Bagaimana kamu bisa lewat perapian?” Ilo jelas lebih keras kepala dibanding Ali jika sudah penasaran. Dia tetap bertanya.
Av tertawa pelan—lebih terdengar jengkel. ”Baiklah. Sepertinya kamu tidak akan berhenti mendesakku sebelum kujelaskan. Itu trik sederhana Klan Matahari.
”Orangorang Klan Bulan menggunakan perbedaan tekanan udara, membuat lorong berpindah seperti yang kalian kenal sekarang. Klan Matahari sebaliknya, mereka menggunakan nyala api, entah itu perapian, api unggun, apa saja, untuk berpindah tempat. Aku mempelajarinya saat pertempuran besar. Mereka bahkan murah hati memberiku beberapa kantong serbuk api. Kamu siramkan bubuk api itu ke nyala api, lantas konsentrasi penuh menuju tempat tujuan. Kamu harus tahu dan pernah mengunjungi tujuan itu agar bisa melintas. Tenang saja, sementara waktu, nyala api tidak akan panas, berubah menjadi lorong. Itulah yang kulakukan tadi. Sejak lama aku menyiapkan perapian di Bagian Terlarang, itu pintu darurat. Dan perapian di rumah peristirahatan ini sejak dulu kusiapkan sebagai jalan keluar.”
Kami menatap Av setengah tidak percaya. Av berpindah tempat melalui perapian? Aku tibatiba teringat novel dan film laris tentang sihir di kotaku. Bukankah di cerita itu penyihir melakukan hal yang sama?
”Tentu saja berbeda.” Seperti biasa, Av bisa membaca apa yang kami pikirkan. ”Ini bukan dunia sihir. Ini lebih rumit dan nyata. Kalian bahkan tidak berada di dunia kalian.”
Aku menelan ludah.
”Siapa dia, Av?” Ilo melanjutkan pertanyaan, menunjuk orang yang terbaring di lantai.
”Namanya Tog, dia Panglima Timur Pasukan Bayangan.”
Aku dan Seli lagilagi refleks melangkah mundur. Juga Ali, si genius itu bahkan lompat menjauh. Bagaimana mungkin Av membawa musuh ke dalam rumah ini? Menyelamatkannya? Dan orang itu Panglima Pasukan Bayangan? Celaka besar.
”Tidak usah takut.” Av menggeleng, ”Tidak semua anggota Pasukan Bayangan bersekutu dengan Tamus. Setidaknya masih ada panglima lain yang bertentangan pendapat dengannya.
”Aku sebenarnya tidak bisa menahan lebih lama serbuan mereka jika Tog tidak datang. Kalian mungkin menyaksikan beritanya, ada tambahan anggota Pasukan Bayangan yang menyerbu gedung perpustakaan. Itu pasukan Tog yang justru menyerang pasukan yang ada di sana. Tog anak salah satu petarung terbaik dan terhormat seribu tahun lalu. Ayahnya selalu berseberangan dengan Tamus. Aku mengenal dekat ayahnya yang gugur saat perang besar.”
Aku memperhatikan Av dan Tog bergantian. Itu berarti meskipun terlihat baru berusia empat puluh tahun, usia Tog sesungguhnya sama dengan Av. Di dunia ini, dengan orangorang bisa berusia panjang dan memanggil satu sama lain dengan nama langsung, membuat kami sulit memahami hubungan kekerabatan mereka.
”Dengan bantuan Tog, kami sepertinya bisa memenangkan pertempuran, hingga akhirnya Tamus datang. Ditemani Panglima Barat,
Tamus menyerang lorong Bagian Terlarang dengan marah. Tidak ada yang bisa menghadapi Tamus yang marah besar. Dia tidak sabaran lagi menguasai bendabenda di dalam ruangan. Ada sesuatu yang dicarinya. Tog bertahan habishabisan, anak buahnya tewas satu per satu.
”Di detik terakhir, Tog merelakan tubuhnya menahan serangan Tamus. Aku tidak tahan melihat penderitaan Tog. Aku memutuskan sudah saatnya melarikan diri, menggunakan bubuk api. Segel pintu dan sistem keamanan yang tersisa bisa menahan Tamus beberapa detik. Aku segera menyambar tubuh Tog, membawa bendabenda penting, tapi itu tidak cukup untuk memindahkan semua benda di Bagian Terlarang ke sini.”
Av menghela napas kecewa. Wajah sepuhnya terlihat kusam.
”Ini kacau sekali. Semoga Tamus tidak berhasil mendapatkan benda yang dia cari.”
Suara api membakar kayu di perapian terdengar berkeretak. Ilo menatap prihatin. Ruangan depan rumah peristirahatan lengang sejenak.
”Kalian baikbaik saja?” Av menoleh kepadaku. ”Kami baikbaik saja, Av,” Ali yang menjawab. Av menatap Ali. ”Kamu bilang apa tadi?”
”Kami baikbaik saja,” Ali mengulangi kalimatnya.
Av terlihat menyelidik, berpikir sebentar, lantas terkekeh pelan. ”Ini sungguh hebat, Nak. Kamu sepertinya sudah bisa menggunakan bahasa dunia ini, bukan?”
Ali mengangguk.
”Bukan main. Ini sungguh mengagumkan. Aku janganjangan keliru menyimpulkan, atau boleh jadi pengetahuanku yang amat dangkal. Janganjangan, Makhluk Rendahlah yang sebenarnya menguasai ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan paling penting dari empat dunia. Kalian bisa melakukan halhal lebih hebat dibanding klan mana pun. Termasuk
belajar bahasa dunia ini hanya dalam sehari saja. Dan kamu, lihatlah, masih berusia lima belas tahun.”