Bab 25
GELAP sesaat, tidak terlihat apa pun. Aku, Seli, dan Ali beradu punggung, berjagajaga, menatap kegelapan. Kemudian muncul setitik cahaya, kecil, segera membesar setinggi kami. Lubang berpinggiran hitam, berputar seperti awan, terbentuk di depan. Kami bisa melihat keluar, bukan aula sekolah. Terang, tidak remang, juga hangat, tidak dingin menusuk tulang.
Ali lebih dulu melangkah. Si genius itu sepertinya tidak perlu berpikir dua kali atau memeriksa terlebih dahulu ke mana lubang ini membuka. Dia keluar sambil mencengkeram pemukul bola kastinya yang tinggal separuh. Seli menyusul kemudian. Ali mengulurkan tangan, membantu.
”Kita ada di mana?” Seli bertanya.
”Kita berada di kamar Ra.” Ali yang menjelaskan. Ali benar. Aku mengenali ruangan ini, kamarku.
Lubang di atas lantai mengecil saat kami bertiga sudah lewat, lantas lenyap tanpa bekas.
Kalau saja situasinya lebih baik, mungkin aku akan merebut pemukul bola kasti Ali, memukul si biang kerok itu. Jelas sekali dia tahu ini kamarku dari alat yang dia pasang. Tapi ada banyak hal yang lebih penting untuk diurus sekarang.
”Apakah Miss Selena akan baikbaik saja?” Seli bertanya cemas. ”Aku tidak tahu,” jawabku.
”Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Seli bertanya lagi. ”Buku PR matematikamu di mana, Ra?” Ali berseru.
Aku bergegas melompat ke meja belajar yang tidak ada bangkunya sudah kuhilangkan semalam. Aku bisa leluasa berdiri mencari di antara
tumpukan buku tulis. Aku menarik buku itu, menyerahkannya pada Ali. Dia yang paling genius di antara kami. Semoga dia tahu harus diapakan buku ini. Sejak beberapa hari lalu, aku sudah menggunakan berbagai cara, buku PR matematikaku ini tetap saja buku biasa.
Aku dan Seli menunggu tidak sabar.
Ali memeriksa buku itu, membuka halamannya, memperhatikan dari dekat, memeriksa setiap sudut, menepuknepuk pelan seperti berharap ada yang akan jatuh. Akhirnya dia terdiam.
”Apa yang kamu temukan?” aku bertanya. ”Ini hanya buku PR biasa.” Ali menggeleng.
Aduh, aku juga tahu itu buku PR. Seli di sebelahku juga mengeluh. ”Ada sesuatu yang menarik?” aku mendesak.
”Eh, ada... Maksudku, nilai matematikamu jelek sekali, Ra.” Ali membuka sembarang halaman, menunjukkannya kepadaku. ”Lihat, hanya dapat nilai dua. Kamu tahu, persamaan seperti ini bahkan bisa kuselesaikan saat kelas empat SD.”
Sebenarnya kali ini Ali tidak mengucapkan kalimat itu dengan nada sombong. Dia hanya lurus berkomentar, karena nilai matematikaku memang mengenaskan. Tapi aku jengkel sekali mendengarnya. Aku merebut buku PR dari tangannya. Enak saja dia bilang begitu dalam situasi runyam, dengan seragam dan tubuh berlepotan debu, wajah dan rambut kusut masai, bahkan kami tidak tahu apa yang terjadi pada Miss Selena di aula sekolah sekarang.
”Aku belum selesai memeriksanya, Ra.” Ali mengangkat bahu, protes.
”Kamu tidak memeriksanya,” aku menjawab ketus. ”Kamu hanya melihatlihat nilaiku.”
”Sori.” Ali nyengir. ”Tapi itu kan juga memeriksa. Eh, maksudku, siapa tahu Miss Keriting menaruh kode atau pesan di nilai yang ditulisnya. Aku janji memeriksanya lebih baik.”
Seli memegang lenganku, mengangguk.
Baiklah. Aku menyerahkan lagi buku PR matematikaku pada Ali. ”Kamu sudah mencoba memeriksanya sambil menghilang?” Ali
bertanya, kembali memeriksa buku PR matematikaku.
Aku mengangguk. ”Tidak ada yang berbeda, tetap buku biasa.”
Ali menurunkan tas ransel di pundak, mengeluarkan beberapa peralatan. Aku baru tahu bahwa tas besar yang sering dibawa Ali selama ini berisi banyak benda aneh. Dulu muridmurid menebak, apa sebenarnya yang dibawa si genius ini ke sekolah. Setiap pelajaran dia malah disetrap atau diusir dari kelas karena ketinggalan membawa buku. Jadi, apa isi tas besarnya? Seli bahkan pernah berbisik, janganjangan si genius ini merangkap penjual asongan di sekolah. Atau pedagang dari pasar loak, membawa dagangannya ke manamana. Aku dulu tertawa cekikikan mendengarnya.
Lima belas menit mengutakatik buku itu, mengolesinya dengan sesuatu, memanasinya dengan sesuatu, mencium, menggunakan kaca pembesar, entah apa lagi hal aneh yang dilakukan Ali, tetap tidak ada sesuatu yang menarik. Itu tetap buku PR matematika biasa.
Ali mendongak, menyerah. ”Aku sudah melakukan apa pun yang aku tahu, Ra.”
Aku menatapnya gemas. ”Terus bagaimana? Jelas sekali Miss Selena menyimpan sesuatu di buku PR itu.” Tanpa kalimatnya tadi di aula sekolah, beberapa hari lalu saat mengantarkannya, dia sudah berpesan buku itu penting.
”Apakah Miss Selena mengatakan sesuatu saat memberikan buku ini?” Ali bertanya.
Aku diam sejenak. ”Iya, Miss Selena mengatakan hal itu. Aku masih mengingat kalimat aneh itu. Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga. Ada banyak sekali jawaban dari tempattempat yang hilang.”
Ali diam sejenak, mencoba memahami pesan tersebut.
”Memangnya kamu paham, Ali?” celetuk Seli.
Kami menatap Seli. Ali menoleh, konsentrasinya terganggu. ”Maksudmu apa, Sel?”
”Maksudku, bukankah nilai bahasa Indonesiamu lebih hancur dibanding nilai matematika Ra? Tugas mengarangmu jauh lebih buruk dibanding anak kelas empat SD, bukan? Bagaimana kamu akan tahu maksudnya?” Seli menjawab datar, sambil nyengir lebar.
Wajah Ali terlihat sebal. Aku hampir tertawa. Ya ampun! Seli telak sekali menyindir si biang ribut ini. Aku tidak pernah menduga kami akan akrab dengan Ali, si genius ini. Dulu, jangankan berteman, memikirkannya saja sudah amitamit. Lihatlah sekarang, Seli nyengir tanpa dosa mengatakan kalimat itu, seolah Ali sahabat lama yang tidak akan tersinggung.
Kami bertiga saling tatap. Wajah kami cemong, rambut awut awutan, seragam berdebu, lengan lecet, badan masih terasa sakit. Aku akhirnya tertawa pelan. Disusul Seli yang tertawa pelan sambil meringis. Dan Ali dia batal marah. Kami sejenak tertawa lega. Kejadian barusan, meski masih gelap penjelasannya, entah akan menuju ke mana semuanya, telah membuat kami jadi teman baik. Teman yang saling melindungi dan peduli.
Tibatiba Ali mengangkat tangannya. Tawa kami terhenti.
”Aku tahu apa yang harus dilakukan. Kamu harus menghilangkan buku ini, Ra,” Ali berkata serius.
”Apa? Menghilangkannya?”
Itu tidak masuk akal. Gila. Tadi malam aku sudah menghilangkan novel, bangku, flashdisk, dan bendabenda lain, tidak satu pun yang kembali. Kami bisa kehilangan satusatunya cara untuk memperoleh penjelasan kalau buku PR ini juga lenyap tak berbekas.
”Ayo, Ra. Lakukanlah. Itulah maksud pesan Miss Selena, apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga,” si genius itu justru berkata yakin sekali.
”Bagaimana kalau jadi hilang betulan?” Seli ikut cemas.
”Tidak akan. Si tinggi kurus menyebalkan itu di aula juga bilang, Ra tidak bisa menghilangkan sesuatu yang sudah hilang di dunia ini.” Dahi Ali berkerut, dia tampak berpikir. ”Itu pasti ada maksudnya, bukan? Sesuatu yang sudah hilang…. Kita tidak punya cara lain. Kita harus tahu segera apa yang sebenarnya terjadi. Miss Selena, apa pun kondisinya, saat ini butuh bantuan. Buku ini bisa memberikan jalan keluar.”
Aku menelan ludah. Menatap Ali yang sekarang meletakkan buku PR matematikaku di atas meja belajar, mempersilakanku.
Baiklah, Ali benar. Aku menatap buku PR itu, mengacungkan jemari, berseru dalam hati. Menghilanglah!
Buku PR itu lenyap.
Aku menahan napas, juga Seli di sebelahku.
Satu detik berlalu. Tidak terjadi apa pun. Dua detik, empat detik, aku menoleh ke Ali. Bagaimana ini? Ali tetap menunggu dengan yakin. Delapan detik. Aduh, bagaimana kalau keliru? Seli ikut menatap Ali. Kenapa pula kami harus percaya pada genius biang kerok ini?
Suara seperti gelembung air meletus terdengar. Buku PRku kembali.
Aku dan Seli berseru tertahan, seruan gembira.
”Apa kubilang.” Ali mengepalkan tangan. ”Buku PR ini pasti muncul lagi. Miss Selena sudah membuat buku PRmu menjadi benda dari dunia lain. Tidak bisa dihilangkan.”
Aku menoleh ke Ali. ”Bagaimana kamu bisa yakin sekali?”
Si genius menyebalkan itu menunjuk kepalanya sambil nyengir lebar. Maksud dia apa lagi kalau bukan: aku punya otak brilian. Baiklah,
sepertinya Ali memang pintar. Aku melangkah mendekati meja belajar, menatap buku PRku yang kembali muncul.
Tapi itu bukan buku PRku. Aku sama sekali tidak mengenalinya lagi. Ukuran dan bentuknya memang sama persis, seperti buku PRku, tapi hanya itu yang sama. Sisanya berbeda sekali. Tidak ada lagi sampul Hello Kitty. Sampulnya berwarna gelap terbuat dari kulit, dengan gambar bulan sabit cetak timbul.
Seperti ada sesuatu dengan gambar bulan sabit itu, bekerlapkerlip.
Ali meloncat ke dinding kamar, menutup semua daun jendela, menarik gorden, mematikan lampu, memastikan tidak ada lagi cahaya yang masuk. Apa yang sedang dilakukannya?
Ali kembali ke sebelahku, menunjuk ke atas meja belajar. Gambar bulan sabit di sampul buku PRku mengeluarkan sinar, terlihat indah di kamarku yang remang.
”Ini keren sekali. Kamu yang buka, Ra,” Ali berbisik. Suaranya terdengar antusias.
”Kenapa harus aku?” aku bertanya. ”Ladies first.” Ali nyengir lebar.
Aku melotot padanya.
”Eh, maksudku, ini jelas bukan buku PR biasa lagi, Ra. Ini benda dari dunia lain, atau entahlah.” Ali menggaruk kepalanya, berusaha membela diri. ”Jadi, eh, lebih baik kamu yang menyentuhnya. Kamu sepertinya yang punya urusan dengan dunia lain itu.”
Seli memegang lenganku, menghentikan perdebatan. Seli menunjuk buku di hadapan kami.
Buku itu bersinar semakin terang. Bulan sabitnya seolah terlepas dari sampul buku. Terlihat mengambang indah. Aku menelan ludah
menatapnya. Seperti ada suara yang memanggilku, menyuruhku menyentuh buku itu.
Tanganku terulur gemetar. Baiklah, aku akan melakukannya. Apa pun yang terjadi, aku tidak sempat memikirkannya lebih baik.
Sampul buku terasa lembut di jemariku. Tidak ada yang terjadi. Aku menoleh ke arah Ali.
Ali mengangguk. ”Buka saja, Ra.”
Belum sempat aku menggerakkan sampul buku, sinar dari gambar bulan sabit merambat ke telapak tanganku, terus naik ke pergelangan tangan, lengan, dan bahu. Aku menahan napas. Sinar itu terasa hangat, dengan cepat menjalar ke seluruh tubuhku, dan terakhir tiba di wajahku. Seluruh tubuhku terbungkus sinar dari buku. Aku menatap ke cermin meja belajar. Wajahku terlihat cemerlang, persis seperti wajah Miss Selena di aula tadi.
Seli yang berdiri di belakangku menahan napas. Ali menatap semangat, seperti melihat hasil reaksi praktikum fisika yang menarik—si genius ini benarbenar berbeda dibanding siapa pun. Rasa ingin tahunya mengalahkan kecemasan atau ketakutan.
Terdengar suara gelembung air meletus. Sekarang terdengar lebih kencang dari biasanya.
Tidak ada yang hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidak ada yang datang. Itu tadi pertanda suara apa? Tetapi tibatiba aku berseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah berubah. Ini bukan kamarku, bahkan ini entah ruangan apa. Tempat tidurnya menggantung di dinding. Lampunya berbentuk aneh sekali, menyala terang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu bisa disebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambar yang ganjil. Semua terlihat berbeda.
”Kita ada di mana?” Seli ikut memeriksa sekitar, bertanya cemas.
Aku menggeleng tidak tahu. Cahaya yang membalut sekujur tubuhku hilang. Buku PR di atas meja—kini meja itu terlihat aneh
sekali—juga berhenti mengeluarkan sinar, teronggok seperti buku biasa dengan sampul bulan sabit.
Sebelum kami sempat menyadari apa pun, terdengar suara bercakapcakap di luar, dengan bahasa yang tidak kumengerti.
Kami bertiga saling tatap, jelas sekali suara itu menuju ke tempat
kami.
Pintu berbentuk bulat didorong—aku belum pernah melihat pintu seaneh itu. Tiga orang melangkah masuk ke dalam ruangan. Dua orang dewasa setengah baya dan satu anak lakilaki berusia empat tahun. Mereka mengenakan baju gelap yang ganjil. Si kecil terlihat menguap, memeluk boneka yang lagilagi berbentuk aneh. Ibunya, sepertinya begitu, tersenyum, menunjuk ke ranjang. Ayahnya, sepertinya juga begitu, berkata dengan kalimatkalimat yang tidak kami pahami. Mereka tertawa. Tampilan mereka bertiga lebih aneh dibanding filmfilm fantasi mana pun.
Langkah si kecil terhenti. Dia berseru bingung, menunjuk kami. Orangtuanya lebih kaget lagi. Kami berenam saling tatap. Si kecil ketakutan, refleks memeluk ibunya.
Ini jelas bukan kamarku, sama sekali bukan. Bahkan aku mulai ragu, ini bahkan tidak akan pernah ditemukan di kota kami. Semua terlihat ganjil. Apakah aku berada di dunia mimpi?
Ayah si kecil maju, bicara dengan kalimat aneh. Sepertinya dia bertanya kepada kami. Wajahnya bingung, menyelidik.
Seli merapat kepadaku. Ali tetap mematung di tempat. Dia sempat memasukkan buku PR matematikaku ke dalam tas ranselnya sebelum tiga orang tersebut masuk.
Ayah si kecil berseruseru. Dia tidak terlihat marah. Dia lebih terlihat kaget. Si kecil masih memeluk erat ibunya. Aku menelan ludah. Bagaimana ini? Sang ayah melangkah lebih dekat, menatap kami bertiga bergantian, menoleh kepada istrinya, berkatakata dengan kalimat aneh lagi. Sepertinya dia bilang pada istrinya, ”Lihatlah, pakaian mereka aneh sekali. Siapakah tiga anak ini? Apakah mereka tersesat? Bagaimana
mereka masuk ke dalam rumah kita? Apakah kita perlu memanggil petugas keamanan?”
Sambil masih memeluk si kecil, istrinya ikut maju, menyelidik, menatap kami bertiga. Wanita itu menggeleng. Dia berkata, ”Sepertinya tiga anak ini sama bingungnya, kasihan sekali. Tidak ada yang perlu dicemaskan, mereka sepertinya tidak berbahaya. Apakah mereka dari luar kota, salah masuk ke dalam rumah karena tidak terbiasa? Atau karena jaringan transportasi kembali bermasalah?” Pasangan baya itu masih berbicara satu sama lain. Si kecil memberanikan diri mengintip kami.
Aku tibatiba terdiam. Eh? Aku? Entah bagaimana caranya, aku sepertinya mengerti kalimat yang mereka katakan. Hei! Aku sepertinya tahu apa yang sedang mereka diskusikan.
”Maaf,” aku berkata pelan, mengangkat tangan. Pasangan itu menoleh.
”Maaf, kami tidak salah masuk kamar.” Aku menggeleng. ”Tadi kami berada di kamarku, di rumahku, lantas tibatiba saja kami sudah pindah ke kamar ini.”
Ayah si kecil mendekat. ”Apakah kalian sebelumnya sedang menggunakan lorong berpindah?”
Aku menoleh kepada Ali. ”Eh, Ali, lorong berpindah itu apa? Apakah itu istilah fisika modern?” Yang kutoleh jangankan menjawab. Ali dan Seli bahkan bingung melihatku kenapa bisa bicara dengan bahasa aneh itu.
”Kalian sepertinya mengalami kekacauan sistem lorong berpindah.” Ayah si kecil menghela napas prihatin. ”Mingguminggu ini frekuensinya semakin sering terjadi. Tapi setidaknya kalian muncul di kamar anakku, tidak serius. Tiga hari lalu, istriku yang hendak pergi ke pasar tibatiba muncul di atas wahana kereta luncur. Gila sekali, bukan? Dia tidak muncul di depan pedagang sayur, tapi di tengah orangorang yang sedang menjerit ketakutan.”
Aku menelan ludah, mengangguk, purapura mengerti.
”Kamu temani si kecil tidur, Ma. Aku akan membantu tiga anak malang ini. Tidur bareng Mama, ya? Papa akan menemani tiga kakak kakak itu.” Lelaki itu bicara pada istri dan anaknya.
Ibu si kecil menuntun anaknya ke tempat tidur yang menggantung di dinding. Bentuknya sama seperti ranjang umumnya, tetapi berada dua meter di dinding. Saat si kecil mendekat, tempat tidur itu turun perlahan. Ibu dan si kecil naik ke atasnya. Ranjang itu kembali naik.
”Ayo, lambaikan tangan ke kakakkakak. Selamat malam.” Ayah si kecil tersenyum.
Si kecil beranjak ke pinggir ranjang, melambaikan tangan kepada kami. ”Selamat malam.”
Aku mengangkat tangan, balas melambai. Seli dan Ali, meski bingung, meniruku segera, ikut melambaikan tangan.
”Ayo, kalian ikuti aku.” Ayah si kecil sudah menepuk pundakku, berkata ramah.
Aku masih bingung dengan ini semua. Susulmenyusul sejak kejadian meledaknya gardu listrik tadi siang. Sekarang, bahkan kami berada di mana aku tidak tahu.
”Semua orang sudah membicarakan kekacauan sistem transportasi ini. Tapi tidak ada tanggapan serius dari Komite Kota. Mereka selalu bilang itu hanya masalah teknis kecil.” Ayah si kecil membuka pintu bulat, menyilakan kami keluar kamar.
”Kamu mau mendengar dongeng?” Di belakang kami, ibu si kecil berkata pelan.
”Aku ingin mendengar dongeng tentang Si Burung Siang Merindukan Matahari, Ma,” si kecil menjawab riang.
”Aduh, dongeng itu lagi, Nak? Sudah seminggu terakhir kamu mendengarnya, bukan? Tidak bosan?” ibunya bertanya lembut, tertawa.
Aku melangkah menuju pintu bulat.
Seli memegang lenganku, berbisik, ”Kita akan ke mana, Ra?” ”Aku tidak tahu,” aku menjawab pelan.
”Apakah mereka sama jahatnya dengan si tinggi kurus di aula sekolah tadi?”
Aku menggeleng, selintas lalu mereka hanya keluarga biasa yang bahagia, dengan anak kecil usia empat tahun. Sang ayah menutup pintu bulat kamar, melangkah ke lorong remang.
”Coba saja kalau mereka sendiri yang hendak berangkat bekerja tibatiba muncul di depan seekor binatang buas yang sedang membuka mulut, pasti baru tahu betapa menyebalkannya masalah teknis kecil ini,” ayah si kecil masih berseru santai, memimpin jalan di depan. Kami melewati lorong, kemudian muncul di ruangan lebih besar.
Sepertinya ini ruang tengah sebuah rumah. Ada sofasofa bundar yang melayang satu jengkal dari lantai. Sebuah meja tampak berbentuk janggal, jauh sama sekali dari segi empat atau persegi panjang, dan di atasnya ada sebuah vas bunga. Aku mengembuskan napas, setidaknya bunga di vas aneh itu bentuknya sama seperti yang kukenali, terlihat segar. Entah di mana pun kami sekarang berada, itu bunga mawar seperti pada umumnya.