Bab 19
KAMU tidak bisa menghilangkan sesuatu yang sejatinya sudah tidak kasatmata, Nak.” Sosok tinggi kurus di dalam cermin tertawa pelan.
Aku tidak mengerti kalimatnya, tapi itu tidak masalah, karena aku juga tidak peduli padanya sekarang. Si Putih mengeong pelan di gendonganku, meringkuk memasukkan kepalanya. Aku masih bersandarkan dinding kamar.
Sosok tinggi kurus itu bergumam. Tangannya terangkat sedikit seperti menggapai udara. Lantas suara sesuatu, seperti gelembung air pecah, terdengar pelan. Si Hitam, entah dari mana datangnya, sudah berada di pangkuannya, dengan bentuk normal, menggeram panjang.
”Tetapi ini sungguh menarik. Pertunjukan yang hebat.” Sosok tinggi kurus itu mengelus tengkuk si Hitam. ”Kamu berhasil menghilangkan kucingku. Kamu tahu, sejenak aku hampir khawatir, kucingku hilang sungguhan.”
”Kamu, siapa pun kamu, pergi dari kamarku!” Suaraku mendesis galak, tidak peduli dengan tawa berguraunya.
”Kita sedang berlatih, Nak. Aku sedang melatihmu. Bagaimana mungkin kamu mengusirku?” Sosok tinggi kurus itu menggeleng. ”Soal kucingmu tadi, aku minta maaf. Aku tahu itu sedikit berlebihan, tapi itu terpaksa kulakukan. Kita tidak akan pernah tiba di level berikutnya kalau tidak dipaksa.”
”Aku tidak peduli!” aku membentaknya, memotong. ”Kamu pergi dari kamarku. Sekarang!”
Hujan di luar semakin deras, boleh jadi Mama di bawah jatuh tertidur sambil menonton televisi, sehingga tidak mendengar keributan di kamarku. Atau boleh jadi Mama memang tidak bisa mendengar kejadian di dalam kamar.
Sosok tinggi kurus itu menatapku lamatlamat, mengangguk takzim. ”Baiklah, Nak. Sepertinya kamu akan memilih menghilangkan cermin kalau aku tidak segera pergi. Kemungkinan itu akan membuat orangtuamu bingung saat mereka masuk ke kamar ini. Kita bahkan belum tahu apakah kamu bisa mengembalikan benda yang telah kamu hilangkan. Baiklah. Aku akan pergi. Lagi pula latihan malam ini lebih dari cukup.”
Aku tidak mau tertipu lagi dengan ekspresi wajah bersahabat yang kembali menatapku dengan mata hitam memesonanya. Lima jemariku terus bersiaga. Si Putih masih meringkuk dalam pelukanku, tidak berani bergerak.
”Sebelum aku pergi, kamu harus tahu. Kamu baru saja membuktikan bahwa rasa marah, panik, cemas bisa diubah menjadi kekuatan besar. Tapi itu bukan sumber motivasi yang baik. Kita tidak berharap kamu terdesak oleh sesuatu baru berhasil mengeluarkan kekuatan itu, bukan? Semua akan telanjur berantakan, bahkan sebelum kamu menyadarinya untuk marah.
”Nah, camkan baikbaik. Sumber kekuatan terbaik bagi manusia adalah yang kalian sering sebut dengan tekad, kehendak. Jutaan tahun usia Bumi. Ribuan tahun kehidupan tiba di dunia ini. Semua mencoba bertahan hidup. Kehendak besar mereka bahkan lebih kuat dibandingkan kekuatan itu sendiri. Dalam kasusmu, dibandingkan kekuatan menghilangkan, kehendak yang kokoh bisa menggandakan kekuatan yang kamu miliki menjadi berkalikali lipat.
”Selamat berlatih kembali, Nak. Kamu tetap belum berhasil menghilangkan buku tebal, meskipun aku yakin itu akan mudah saja sekarang. Aku akan kembali besok malam, dan kamu akan siap di level berikutnya.” Sosok tinggi kurus itu tersenyum, mengelus kucingnya, hendak berbisik.
”Kamu bawa pergi dia! Aku tidak ingin melihatnya lagi di rumah ini!” aku segera berseru, teringat malam sebelumnya si Hitam menembus cermin. Dengan kejadian barusan, sedetik pun aku tidak akan mengizinkan makhluk mengerikan itu berkeliaran di rumah.
Sosok tinggi kurus itu tertawa, membuat suara tawanya mengambang di langitlangit kamarku. ”Kamu tidak akan pernah bisa mengusir sesuatu yang sejatinya sudah terusir dari dunia kalian, Nak. Tetapi baiklah, jika itu akan membuatmu lebih bersahabat setelah awal yang sulit ini.”
Sosok itu menunduk, berbisik pada kucingnya, ”Kamu mau mengucapkan selamat tinggal?”
Si Hitam menggeram. Kepalanya terangkat. Matanya menatapku tajam.
Aku memutuskan melihat pinggir cermin, benci bertatapan dengan kucing itu. Saat aku kembali menatap cermin, sosok tinggi kurus itu telah hilang bersama kucingnya.
Kamarku lengang beberapa detik, menyisakan suara hujan deras. Cermin besar milikku kembali seperti cermin kebanyakan, tidak mengerut, tidak gelap, dan tidak berembun.
Aku menghela napas panjang setelah memastikan sosok tinggi kurus itu benarbenar telah pergi, lantas mendongak, menyeka pelipis yang berkeringat, mengempaskan badan di atas kasur. Astaga, bertahun tahun merahasiakan diriku bisa menghilang, aku tidak akan pernah mengira malam ini akan menjadi rumit sekali.
Siapa sebenarnya sosok aneh di cerminku? Kenapa dia mengirimkan kucing untuk mematamataiku? Kenapa dia melatihku? Apakah dia jahat? Apakah dia berniat baik? Apakah dia teman seperti yang dia bilang? Atau sedang menipuku? Aku sama sekali tidak punya jawaban atas pertanyaan yang memenuhi kepalaku saat ini.
Aku menatap jam dinding, sudah lewat pukul sepuluh malam. Di luar sana belum terdengar tandatanda mobil Papa memasuki halaman. Mungkin masalah di pabrik bertambah rumit.
Aku mengembuskan napas kesekian kalinya, merapikan rambut panjangku. Si Putih akhirnya bergerak pelan. Dia keluar dari dekapanku, merangkak ke atas kasur. Kepalanya menyundul pahaku, bergelung, menatapku dengan tatapan yang kusuka darinya selama ini.
”Kamu baikbaik saja, Put?” Si Putih mengeong sekali lagi.
Mama dan Papa benar. Tidak ada si Putih dan si Hitam. Sejak dulu, sejak pertama kali kotak kardus itu tergeletak di depan pintu rumah kami, hanya si Putih yang ada di sana. Siapa yang meletakkan kardus itu? Aku menggeleng. Tidak ada ide sama sekali. Dan besok pagipagi, aku bahkan tidak menduga, sesuatu yang lebih serius telah menungguku.