Bab 18
KAKIKU gemetar karena rasa marah yang menyergap. Suara mengeong si Putih semakin lemah. Matanya menatapku meminta pertolongan. Sementara si Hitam yang mengunci tubuhnya dari atas, entah dia sebenarnya makhluk apa, tubuhnya membesar sedemikian rupa hingga empat kali lipat dalam hitungan detik. Ekornya bergerak garang. Kupingnya memanjang. Bulu tebalnya berdiri seperti ribuan jarum tipis. Mata bundar yang dulu aku suka berubah menjadi kuning pekat. Taringnya memanjang. Suara geramannya membuat kamarku seperti mati rasa. Si Hitam berubah sebesar serigala.
”Konsentrasi, Nak!” sosok tinggi kurus di dalam cermin membentakku. ”Konsentrasi pada buku tebalnya. Tidak yang lain.”
Aku menoleh ke arah cermin, menoleh lagi ke si Putih di atas kasur. Bagaimana aku bisa konsentrasi dalam situasi seperti ini? Bagaimana aku bisa konsentrasi ke novel tebal di atas kursi?
”Kamu siap atau belum, hitungannya akan kita mulai.” Suara sosok tinggi kurus itu terdengar mengancam.
Aku menggigit bibir. Aku tidak punya banyak pilihan. Waktuku amat sempit untuk berhitung atas situasi yang kuhadapi. Sandal jepit yang kupegang bahkan boleh jadi tidak bisa melawan si Hitam yang berubah menjadi sangat mengerikan. Si Putih dalam bahaya. Suara mengeongnya begitu menyedihkan.
Aku menelan ludah kecut. Bagaimana mungkin dia dikhianati teman sepermainannya sejak ditemukan dalam kotak berwarna pink, beralas kain beludru, dan bertutup kain sutra? Atau tidak? Karena memang kucing itu tidak pernah hadir kasatmata di rumah kami? Si Hitam tidak pernah menjadi teman si Putih?
”Satu...” Sosok tinggi mengembuskan napas, mulai menghitung. Kali ini bahkan uap dari napasnya seperti melewati cermin kamarku, mengambang.
Napasku menderu kencang. Jatungku berdetak lebih cepat. Apa yang harus kulakukan?
”Dua...”
Aku melepaskan sandal jepit ke lantai. Tidak banyak pilihan yang kupunya. Dari terbatasnya pilihan, aku tidak akan membiarkan si Putih disakiti. Baiklah.
”Tiga...”
Tanganku bergetar menunjuk novel tebal di kursi. Jika semua ini hanya permainan, ini permainan paling mahal yang pernah kulakukan. Aku bertaruh dengan seekor kucing yang kupelihara sejak kecil, kususui dengan botol...
”Empat. Kosentrasi. Hilangkan buku tebal itu!” sosok itu membentakku, menyuruhku berhenti memikirkan hal lain.
Baiklah. Aku mendesis dengan bibir gemetar. ”Menghilanglah!” aku menyuruh novel tebal di kursi hilang seperti jerawatku kemarin malam. Satu detik senyap, hanya suara hujan deras mengenai jendela, atap, dan halaman. Novel itu tetap teronggok membisu di kursi.
Aku mengeluh.
”Lima. Berusaha sungguhsungguh atau kamu akan kehilangan kucing kesayanganmu.” Sosok tinggi kurus dalam cermin tidak menurunkan volume suara.
Aku menggigit bibir, lebih konsentrasi. Kutatap novel tebal untuk kedua kalinya. Telunjukku semakin bergetar, mendesis menyuruhnya menghilang. Senyap. Tetap tidak terjadi apa pun.
”Enam. Kamu sungguh akan mengecewakan teman terbaikmu selama ini, Nak.”
Aku menggigit bibir, memejamkan mata. Untuk ketiga kalinya aku berusaha konsentrasi, menyuruh novel itu menghilang. Apa susahnya. Ayolah. Aku membuka mata. Tapi percuma. Tidak terjadi apa pun. Ini benarbenar tidak mudah. Bahkan sebenarnya kemarin malam saat
jerawat itu berhasil kuhilangkan, aku tidak ingat bagaimana caranya. Ini tidak seperti menutup wajah dengan kedua telapak tangan, lantas tubuhku hilang seketika. Itu mudah dilakukan.
Suara mengeong si Putih semakin lemah. Geraman buas si Hitam yang berubah menjadi kucing berukuran besar semakin memenuhi langit langit kamar.
”Tujuh. Jangan menyalahkan siapa pun kalau kamu kehilangan kucing….”
”Aku tidak bisa menghilangkannya!” aku memotong kalimatnya, balas menatap galak sosok di dalam cermin. Aku sudah empat kali mencobanya, novel itu tetap tidak hilang. ”Sejak tadi pagi aku sudah berusaha melakukannya. Novel itu tidak bisa hilang.”
”Delapan...” Sosok tinggi kurus menatap dingin.
”Kamu, kamu tidak boleh melakukannya!” Aku mulai berteriak panik, bahkan tidak peduli seandainya Mama yang sedang menonton televisi bisa mendengar keributan di lantai dua.
”Sembilan...” Sosok tinggi kurus menoleh ke si Hitam.
”Kamu, awas saja kalau kamu berani menyuruhnya!” Aku gemetar menunjuk ke cermin, berusaha mengancam dengan kalimat kosong— waktuku hampir habis, entah apa yang harus kulakukan.
”Sepuluh....” Sosok itu menyeringai tidak peduli. ”Habisi kucing lemah itu.”
Belum hilang kalimat sosok tinggi kurus di dalam cermin, si Hitam sudah menggeram panjang kegirangan. Mata kuningnya berkilatkilat. Kakinya yang sekarang lebih besar dibanding kepala si Putih terangkat naik, siap mematuhi perintah pemilik aslinya.
Astaga! Apa yang bisa kulakukan sekarang? Aku sungguhan panik.
Si Hitam menghantamkan kakinya ke kepala si Putih. Petir menyambar terang. Cahayanya berkelebat masuk ke kamar. Guntur
menggelegar. Dalam hati aku berseru, tidak ada yang boleh menyakiti si Putih.
Sepersekian detik sebelum kaki si Hitam mencakar si Putih yang tidak berdaya, lima jemari tangan kananku bergerak cepat, mendesis. ”Menghilanglah!”
Geraman si Hitam lenyap bagai suara televisi dipadamkan. Juga bulunya yang berdiri, ekornya yang tegak, taringnya yang panjang, dan matanya yang kuning lenyap bagai kabut terkena matahari terik. Tidak berbekas apa pun di atas kasur.
Langitlangit kamarku lengang sejenak. Bahkan si Putih yang terbaring di kasur tidak mengeong. Dia meringkuk gemetar. Tubuhnya terlalu lemah. Mungkin takut hingga batas terakhir. Si Putih menatapku. Mata bundarnya terlihat buram, penuh sorot berterima kasih.
Sosok tinggi kurus itu juga menatapku lamatlamat, seperti habis menyaksikan pertunjukan yang tidak dia kira. Aku tersengal. Napasku menderu. Tanpa memedulikan sosok tinggi kurus itu, aku meloncat ke kasurku, menarik si Putih, menggendongnya eraterat, melindunginya dari kemungkinan apa saja. ”Semua akan baikbaik saja, Put,” bisikku lirih sambil terus memeluk kucing kesayanganku itu.
”Kamu? Ini menakjubkan, Gadis Kecil.” Sosok tinggi kurus masih menatapku, suaranya kembali datar. ”Ini sama sekali di luar dugaanku.”
Aku tidak mendengarkan dengan baik sosok tinggi kurus itu. Aku merapat ke dinding, menatap cermin dengan galak, jemari tangan kananku mengacung ke cermin.
”Bagaimana kamu melakukannya?” sosok tinggi kurus itu bertanya.
Aku menggeleng, berusaha mengendalikan napas. Aku sungguh tidak tahu bagaimana aku bisa menghilangkan monster kucing yang memiting si Putih. Kejadiannya terlalu cepat. Aku panik. ”Aku tidak tahu,” aku menggeleng sekali lagi. ”Pergi! Kamu pergi jauhjauh dari sini!” Lima jemariku mengarah ke cermin, mengancam.