
Epilog Acara istimewa
Edward membantuku naik ke
mobilnya, sangat berhati-hati dengan sutra dan chiffon-nya, bunga-bunga yang
baru saja disematkannya di rambutku yang ditata ikal penuh gaya, serta tongkat
berjalanku. Ia mengabaikan bibirku yang cemberut sangat marah.
Setelah aku duduk nyaman, ia
menyelinap ke jok pengemudi, dan melaju dari jalanan sempit dan panjang itu.
“Kapan tepatnya kau akan
memberitahuku apa yang terjadi?” gerutuku. Aku benar-benar tidak suka kejutan.
Dan ia tahu itu.
“Aku benar-benar terkejut kau
belum mengetahuinya juga.” Ia tersenyum mengejek, dan aku tercekat. Apakah aku
bakal terbiasa dengan kesempurnaannya?
“Aku sudah bilang kau terlihat
sangat tampan, bukan?” ujarku. “Sudah.” Ia tersenyum. Aku belum pernah
melihatnya
mengenakan hitam. Warna itu
sangat kontras dengan kulitnya yang
pucat, membuat ketampanannya
benar-benar bagaikan mimpi. Itu yang tak dapat kusangkal, bahkan kalaupun
kenyataan dirinya mengenakan tuksedo membuatku sangat gugup.
Tidak segugup yang ditimbulkan
gaunku. Atau sepatu yang kukenakan. Sepatuku hanya satu, berhubung kakiku yang
lain masih rapat terbalut gips. Tapi hak stiletto yang kukenakan hanya
dipegangi tali sutra, dan itu jelas takkan membantuku saat berjalan
terpincang-pincang begini.
“Aku takkan bertamu lagi kalau
Alice akan memperlakukanku seperti Barbie percobaan,” sahutku seraya
mencengkeram jok kursi. Aku menghabiskan sebagian besar hariku di kamar Alice
yang sangat luas, menjadi korban tak berdaya saat ia berperan jadi penata
rambut dan penata rias. Setiap kali aku merasa tak nyaman atau mengeluh, ia mengingatkanku
bahwa ia sama sekali tidak ingat bagaimana rasanya menjadi manusia, dan
memintaku tidak menghancurkan kesenangannya. Kemudian ia memakaikan gaun paling
konyol—warna biru gelap, berimpel, dan tanpa lengan, dengan label berbahasa
Prancis yang tidak kumengerti—gaun yang lebih cocok dikenakan dalam peragaan
busana daripada di Forks. Tak ada yang bagus dari pakaian formal kami, aku
yakin itu. Kaciuali... tapi aku takut menguraikan kecurigaanku, bahkan dalam
pikiranku sendiri.
Perhatianku teralih dering
telepon. Edward mengeluarkan ponsel dari saku dalam jasnya, melihat sebentar ke
layar sebelum menjawab.
“Halo, Charlie,” sahutnya
hati-hati. “Charlie?” Dahiku berkerut.
Charlie... agar sedikit kurang
bersahabat sejak kepulanganku ku Forks. Ia menyikapi pengalaman burukku dalam
dua sikap. Terhadap Charlie, ia teramat bersyukur dan berterima kasih. Di sisi
lain ia sangat yakin semua ini salah Edward—sebab kalau bukan karena Edward,
aku tidak akan meninggalkan rumah. Dan Edward sama sekali tidak menentangnya.
Belakangan ini Charlie memberlakukan beberapa peraturan yang tak pernah
diterapkannya padaku sebelumnya : jam malam... jam berkunjung.
Sesuatu yang dikatakan Charlie
membuat mata Edward membelalak tak percaya, kemudian senyuman langsung
mengembang di wajahnya.
“Kau bercanda!” Ia tertawa.
“Ada apa?” desakku.
Ia mengabaikanku. “Biarkan aku
bicara padanya,” saran Edward, kegembiraannya tampak nyata. Ia menunggu
sebentar.
“Halo, Tyler, ini Edward
Cullen.” Suaranya sangat ramah, tapi hanya di permukaan. Aku mengenalnya cukup
baik untuk menangkap kejailan di baliknya. Apa yang dilakukan Tyler di rumahku?
Kebenaran mengerikan mulai terbentuk di benakku. Sekali lagi aku memandang gaun
yang kukenakan atas paksaan Alice itu. “Aku menyesal kalau ada semacam
kesalahpahaman, tapi Bella
sudah punya teman kencan malam
ini.” Nada suara Edward berubah,
dan ancaman dalam suaranya
tiba-tiba jauh lebih nyata saat ia melanjutkan katakatanya. “Dan sejujurnya dia
takkan punya waktu untuk siapapun kecuali aku, setiap malam. Jangan
tersinggung. Aku menyesal malammu tidak menyenangkan.” Ia sama sekali tidak
terdengar menyesal. Kemudian ia menutup telepon, senyum lebar menghiasi
wajahnya.
Wajah dan leherku merah pedam
karena marah. Aku bisa merasakan air mata kemerahan menggenangi mataku.
Ia terkejut melihatku. “Apakah
bagian terakhir tadi kelewatan?
Aku tak bermaksud menyinggung
perasaanmu.” Aku mengabaikan kata-katanya.
“Kau mengajakku ke prom!”
teriakku.
Sekarang semua sudah jelas.
Kalau saja aku memperhatikan sejak awal, aku yakin pasti bisa melihat tanggal
di poster-poster di seluruh penjuru sekolah. Tapi aku tak pernah menyangka ia
bakal mengajakku. Tidakkah Edward mengenalku sama sekali?
Ia tidak mengira reaksiku
bakal begitu, itu sudah jelas. Ia mengatupkan bibir dan matanya menyipit.
“Jangan mempersulit keadaan, Bella.”
Aku menoleh ke luar jendela;
kami sudah setengah jalan menuju sekolah.
“Kenapa kau melakukan ini
padaku?” tanyaku cemas.
Ia menunjuk tuksedonya.
“Sungguh, Bella, menurutmu apa yang kita
lakukan?”
Aku merasa dipermalukan.
Pertama, karena aku tidak melihat apa yang tampak jelas di depan mata. Juga
karena kecurigaan samar—sebenarnya harapan—yang berkembang di hatiku seharian
ini, mengingat Alice mencoba mengubahku jadi ratu kecantikan, benar-benar jauh
melenceng. Harapanku yang setengah mengerikan kelihatannya sangat konyol
sekarang.
Aku sudah menduga sesuatu
sedang terjadi. Tapi prom, yang benar saja! Itu sama sekali tak terpikirkan
olehku.
Air mata kemarahan menetes di
pipiku. Aku cemas mengingat aku tak terbiasa mengenakan maskara. Bergegas
kuusap bagian bawah mataku agar maskaranya tidak belepotan. Tanganku tidak
hitam ketika kutarik; barangkali Alice tahu aku membutuhkan make up antiair.
“Ini benar-benar konyol.
Kenapa kau menangis?” tanya Edward kesal.
“Karena aku marah!”
“Bella.” Mata keemasannya
menatapku lekat-lekat. “Apa?” gumamku, bingung.
“Ayolah,” desaknya.
Tatapannya mencairkan segenap
kemarahanku. Mustahil bertengkar dengannya kalau ia bersikap curang seperti
itu. Aku menyerah.
“Baiklah.” Bibirku mencebik,
aku tak mampu memelototinya segalak yang kuinginkan. “Aku akan ikuti maumu.
Tapi nanti akan kaulihat. Nasib burukku belum berakhir. Barangkali aku akan
mematahkan kakiku yang lain. Lihat sepatu ini! Ini jerat kematian!” Aku
menjulurkan kakiku yang sehat sebagai buktinya.
“Hmmm.” Ia memandangi kakiku
lebih lama dari seharusnya. “Ingatkan aku untuk berterima kasih pada Alice
untuk hal itu nanti malam.”
“Alice akan datang?” ini
sedikit menenangkan.
“Bersama Jasper, dan Emmett...
dan Rosalie,” ia mengakui. Perasaan
tenang itu langsung
lenyap. Hubunganku dengan
Rosalie tidak
mengalami kemajuan, meskipun hubunganku dengan
suami-sekali-waktunya bisa dibilang
baik. Emmett senang berada di dekatku—
menurut dia, reaksi
manusiaku sangat menghiburnya... atau barangkali kenyataan aku
sering kali terjatuh itu membuatnya menganggapku sangat lucu. Rosalie bersikap
seakan-akan aku tidak ada. Setelah menggelenggelengkan kepala untuk
mengenyahkan pikiran itu, terpikir olehku hal lain.
“Apakah Charlie terlibat?”
aku bertanya, tiba-tiba curiga. “Tentu saja.” Ia nyengir,
lalu tergelak. “Meski begitu,
kelihatannya Tyler tidak.”
Kugertakkan gigiku. Aku benar-benar
tidak mengerti mengapa Tyler bisa punya pikiran konyol seperti itu. Di sekolah,
tempat Charlie tak bisa ikut campur, Edward dan aku tak terpisahkan—kecuali
pada hari-hari cerah yang sangat jarang terjadi.
Kami sudah di sekolah
sekarang; mobil Rosalie tampak mencolok di lapangan parkir. Hari ini langit
berawan tipis, secercah sinar matahari tampak jauh di sebelah barat.
Edward keluar dan mengitari
mobil untuk membukakan pintuku. Ia mengulurkan tangan.
Aku tak bergerak dari tempat
duduk, tangan terlipat, diam-diam berpuas diri. Lapangan parkir dipenuhi orang
berpakaian formal : para saksi. Ia tak dapat memindahkanku secara paksa dari
mobil seperti yang mungkin dilakukannya seandainya kami hanya berdua.
Ia mendesah. “Waktu seseorang
hendak membunuhmu, kau seberani singa—kemudian saat seseorang menyebut-nyebut
soal dansa...” Ia menggeleng.
Aku menelan liurku. Berdansa.
“Bella, aku takkan membiarkan
apa pun melukaimu—bahkan tidak dirimu sendiri. Aku takkan pernah melepaskanmu,
aku janji.”
Aku mempertimbangkannya dan
tiba-tiba merasa jauh lebih baik. Ia bisa melihatanya di wajahku.
“Sudah, sudah,” katanya
lembut, “takkan seburuk itu.” Ia membungkuk dan memeluk pinggangku. Aku
menggenggam tangannya yang lain dan membiarkannya mengangkatku dari mobil.
Ia tetap memelukku erat-erat,
menyokongku saat aku terpincang-pincang menuju sekolah.
Di Phoenix, prom diadakan di
ballroom hotel. Di sini, pestanya berlangsung di ruang gym. Barangkali itulah
satu-satunya ruangan di kota ini yang cukup luas untuk pesta dansa. Ketika kami
sampai di dalam, aku tertawa geli melihat balon-balon dan pita-pita krep pastel
yang menghiasi dinding.
“Ini seperti film horor yang
menunggu saatnya dimulai,” olokku.
“Well,” gumamnya saat kami
pelan-pelan mendekati meja tempat penjualan karcis—meskipun ia praktis
menggendongku, tapi aku masih harus melangkah tertatih-tatih—“ada lebih dari
cukup campir hadir di sini.”
Aku melihat ke arah lantai
dansa; bagian tengah lantai tampak lenggang, hanya ada dua pasangan
berputar-putar anggun. Pasangan-pasangan lain merapat di pinggir lantai untuk
memberi mereka ruang—tak ada yang ingin tampak kontras di dekat kedua pasangan
yang memukau itu. Emmett dan Jasper tampak mengintimidasi dan tanpa cela dalam
balutan tuksedo klasik. Alice tampak memukau dalam gaun satin berpotongan leher
V yang memamerkan kulitnya yang putih bagai salju. Dan Rosalie... well, ya
Rosalie. Penampilannya sungguh di luar dugaan. Gaun merah menyalanya
berpunggung terbuka, melekat ketat sampai ke betis yang kemudian melebar jadi
tumpukan rimpel yang memanjang di belakangnya. Garis leher gaunnnya jatuh
hingga ke pinggang. Aku mengasihani semua gadis di ruangan itu, termasuk diriku
sendiri.
“Kau mau aku mengunci
pintu-pintu supaya kau bisa membantai orang-orang kota tak berdosa ini?”
bisikku penuh konspirasi.
“Dan apa peranmu dalam adegan
itu?” Ia menatapku geram. “Oh, tentu saja aku bersama kelompok vampir.”
Ia tersenyum enggan. “Apa pun
asal kau tidak perlu berdansa.” “Apa pun.” Ia membayar tiket kami, kemudian
membimbingku ke lantai dansa. Kupeluk lengannya, dan menyeret kakiku.
“Aku punya waktu semalaman,”
ia mengingatkan.
Akhirnya ia menarikku ke
tempat keluarganya sedang berdansa elegan—boleh dibilang dengan gaya yang
sangat tidak sesuai dengan musik masa kini. Aku memperhatikan mereka dengan
ngeri.
“Edward.” Tenggorokanku
benar-benar kering, hingga aku hanya bisa berbisik. “Aku benar-benar tidak bisa
berdansa!” Bisa kurasakan rasa panik bergejolak dalam dadaku.
“Jangan khawatir, bodoh,” ia
balas berbisik. “Aku bisa.” Ia melingkarkan tanganku di lehernya, mengangkatku,
lalu meletakkan kakinya di bawah kakiku.
Kemudian kami pun berdansa.
“Aku merasa seperti berumur
lima tahun,” aku tertawa setelah beberapa menit berdansa waltz tanpa perlu
bersusah payah.
“Kau tidak kelihatan seperti
berumur lima tahun,” gumamnya, sesaat menarikku lebih rapat, sehingga kakiku
sedikit terangkat dari lantai.
Alice dan aku bertemu pandang
saat kami berputar dan tersenyum menyemangati—aku balas tersenyum padanya. Aku
terkejut menyadari aku menikmatinya... sedikit.
“Oke, ini tidak terlalu
buruk,” aku mengakui.
Tapi tatapan Edward kini
terarah ke pintu, wajahnya tampak marah.
“Ada apa?” aku bertanya
keras-keras. Aku mengikuti arah pandangannya, tidak fokus akibat berputarputar,
namun akhirnya aku bisa melihat apa yang mengganggunya. Jacob Black, tidak
mengenakan tuksedo melainkan kemeja putih lengan panjang dan dasi, rambutnya
ditarik licin dalam kuncir kuda. Ia berjalan menghampiri kami.
Setelah kaget waktu
mengenalinya tadi, kini aku merasa kasihan pada Jacob. Ia jelas-jelas merasa
tidak nyaman—teramat sangat tidak nyaman. Penyesalan terpancar di matanya saat
kami beradu pandang.
Edward mengeram sangat pelan.
“Jaga sikapmu!” desisku.
Suara Edward terdengar sinis.
“Dia ingin mengobrol denganmu.”
Jacob sampai di tempat kami,
perasaan malu dan menyesal makin jelas di wajahnya.
“Hei, Bella, aku memang
berharap kau ada di sini.” Jacob terdengar seperti mengharapkan sebaliknya.
Tapi senyumnya tetap hangat.
“Hai, Jacob.” Aku balas tersenyum.
“Apa kabar?”
“Boleh aku meminjamnya?”
tanyanya ragu-ragu, memandang Edward untuk pertama kali. Aku terkejut Jacob tak
perlu mendongakkan kepala. Ia pasti telah bertambah tingi beberapa senti sejak
pertama kali aku melihatnya.
Wajah Edward tenang, ekspresinya
hampa. Satu-satunya jawabannya adalah dengan hati-hati membiarkanku berdiri di
atas kakiku sendiri, lalu mundur selangkah.
“Terima kasih,” kata Jacob
ramah.
Edward hanya mengangguk,
menatapku lekat-lekat sebelum berbalik menjauh.
Jacob menaruh tangannya di
pinggangku, dan aku mengulurkan tangan ke bahunya.
“Wow, Jake, berapa tinggimu
sekarang?”
Ia tampak bangga. “Seratus
delapan puluh lima senti.”
Kami tidak benar-benar
berdansa—mustahil dengan kondisi kakiku saat ini. Sebagai gantinya, dengan
canggung kami bergoyang dari satu sisi ke sisi lain tanpa menggerakkan kaki.
Itu bagus juga, dengan tingginya sekarang ia jadi tampak kurus, jangkung, dan
tak seimbang, hingga barangkali ia bukan pedansa yang baik daripada diriku
sendiri. “Jadi, bagaimana ceritanya kau bisa di sini?” aku bertanya tanpa
benar-benar ingin tahu. Melihat ekspresi Edward tadi, aku bisa menduga
jawabannya.
“Kau percaya, ayahku memberiku
dua puluh dolar supaya aku datang ke prom kalian?” ia mengakui, sedikit
malu-malu.
“Ya, aku percaya,” gumamku.
“Well, kuharap setidaknya kau menikmatinya. Ada yang kau suka?” aku
menggodoanya, memberi isyarat ke sekelompok cewek yang berbaris di dekat
dinding bagai sekumpulan gaun warna pastel.
“Yeah,” ia mendesah. “Tapi ia
sudah bersama seseorang.”
Ia menunduk untuk sesaat
melihat tatapan penasaranku—kemudian kami sama-sama berpaling, merasa jengah.
“Omong-omong, kau cantik
sekali,” ia menambahkan malu-mal. “Mm, trims. Jadi kenapa Billy membayarmu
supaya datang ke
sini?” aku buru-buru bertanya,
meskipun aku tahu jawabannya.
Jacob tidak kelihatan senang
karena topik pembicaraan kami berubah. Ia memalingkan wajah, sekali lagi merasa
jengah. “Katanya, di sini tempat yang ‘aman’ untuk berbicara denganmu. Aku
bersumpah orang tua itu mulai
kehilangan akal sehatnya.” Aku ikut tertawa, namun lemah.
“Lagi pula, katanya, kalau aku
mengatakan sesuatu padamu, dia akan membelikan master cylinder uang
kubutuhkan,” ia mengaku sambil tersenyum malu-malu.
“Kalau begitu, katakan saja
padaku. Aku ingin kau bisa menyelesaikan mobilmu.” Aku balas tersenyum.
Setidaknya Jacob tidak mempercayai satu pun kegilaan ini. Itu membuat keadaan
sedikit lebih mudah. Sambil bersandar di dinding Edward
memandang wajahku, sementara
wajahnya sendiri datar. Aku melihat cewek kelas sophomore bergaun pink
mengawasinya malu-malu, namun sepertinya Edward tidak menyadari keberadaan
cewek itu.
Jacob berpaling lagi, merasa
malu. “Jangan marah, oke?”
“Tidak mungkin aku marah
padamu, Jacob,” aku meyakinkannya. “Aku bahkan tidak akan marah pada Billy.
Katakan saja apa yang harus kaukatakan.”
“Well—ini bodoh sekali,
maafkan aku, Bella—dia ingin kau putus
dengan pacarmu. Dia memintaku untuk memohon padamu.” Ia menggeleng jijik.
“Dia masih percaya takhayul,
eh?”
“Yeah. Dia... seperti
kebakaran jenggot waktu kau mengalami kecelakaan di Phoenix. Dia tidak
percaya...” Dengan sadar Jacob tidak meneruskan kata-katanya.
Mataku menyipit. “Aku
terjatuh.” “Aku tahu itu,” Jacob menyahut.
“Pikirnya, Edward ada
kaitannya dengan kecelakaan yaang menimpaku.” Itu bukan pertanyaan, dan
terlepas dari janjiku, aku merasa marah.
Jacob tak berani menatapku.
Kami bahkan tak lagi repot-repot bergoyang mengikuti musik, meskipun tangannya
masih di pinggangku, dan tanganku melingkar di lehernya.
“Begini, Jacob, aku tahu Billy
barangkali tidak bajal percaya, tapi hanya supaya kau tahu”—dia memandangku
sekarang, bereaksi terhadap ketulusan dalam suaraku—“Edward benar-benar telah
menyelamatkan nyawaku. Seandainya bukan karena Edward dan ayahnya, aku pasti
sudah mati.”
“Aku tahu,” ujarnya.
Sepertinya ucapan tulusku telah sedikit mempengaruhinya. Paling tidak mungkin
nantinya ia bisa meyakinkan Billy.
‘Hei, aku menyesal kau harus
datang dan melakukan ini, Jacob,” aku meminta maaf. “Setidaknya, yang penting
kau mendapatkan onderdilmu, ya kan?”
“Yeah,” gumamnya. Ia masih
tampak canggung... kecewa. “Ada lagi?” tanyaku tak percaya.
“Lupakan saja,” gumamnya, “aku
akan mencari pekerjaan dan menabung sendiri.”
Aku memelototinya sampai kami
bertemu pandang. “Katakan saja, Jacob.
“Ini buruk sekali.”
“Aku tak peduli. Beritahu
aku,” desakku.
“Oke.. tapi, hhh, ini
kedengarannya buruk sekali.” Ia menggeleng. “Dia menyuruhku memberitahumu,
bukan, memperingatkanmu, bahwa—dan ini
kata-katanya, bukan aku”—ia
mengangkat satu
tangannya dari pinggangku
dan membuat tanda
kutip—“Kami akan mengawasi.”
Dengan hati-hati ia menunggu reaksiku.
Kata-katanya terdengar seperti
di film-film mafia. Aku tertawa keras-keras.
“Aku menyesal aku harus
melakukan ini, Jake,” olokku.
“Aku tidak terlalu keberatan.”
Ia tertawa lega. Pandangannya tampak memuji saat sekilas menelusiri gaunku.
“Jadi, haruskah aku menyuruhnya untuk tidak ikut campur?” tanyanya penuh harap.
“Tidak,” desahku. “Bilang
padanya aku berterima kasih. Aku tahu dia bermaksud baik.”
Musiknya berhenti, dan
kulepaskan lenganku dari lehernya.
Tangannya masih di pinggangku,
dan ia memandang kakiku yang digips. “Kau mau berdansa lagi? Atau bisakah
aku membantumu bergerak ke suatu
tempat?”
Edward menjawabnya untukku.
“Tidak apa-apa, Jacob. Aku yang mengambil alih.”
Jacob berjengit dan dengan
mata terbelalak menatap Edward yang tahu-tahu muncul di sebelah kami.
“Hei, aku tidak melihatmu di
situ,” gumam Jacob. “Kalau begitu,
sampai ketemu, Bella.” Ia melangkah mundur, melambai dengan setengah hati.
Aku tersenyum. “Yeah, sampai
ketemu.” “Maaf,” katanya lagi sebelum berbalik menuju pintu.
Lengan Edward telah memelukku
saat lagu berikut mulai dimainkan. Iramanya sedikit cepat untuk berdansa
lambat, tapi sepertinya itu tidak mengganggunya. Kusandarkan kepalaku di
dadanya, merasa senang.
“Merasa lebih baik?” godaku.
“Tidak juga,” katanya singkat.
“Jangan marah pada Billy,”
desahku. “Dia hanya mengkhawatirkan diriku demi kebaikan Charlie. Bukan apa-apa.”
“Aku tidak marah pada Billy,”
ia meralat tajam. “Tapi anak laki-lakinya membuatku jengkel.”
Aku menarik tubuhku agar bisa
memandangnya. Wajahnya sangat serius.
“Kenapa?”
“Pertama-tama dia membuatku
mengingkari janjiku sendiri.” Aku menatapnya tidak mengerti.
Ia setengah tersenyum. “Aku
sudah berjanji takkan melepaskanmu malam ini,” ia menjelaskan.
“Oh. Well, aku memaafkanmu.”
“Terima kasih. Tapi ada hal
lain.” Wajah Edward cemberut. Aku menunggu dengan sabar.
“Dia menyebutmu cantik,”
akhirnya ia meneruskan kata-katanya,
kerutan di wajahnya semakin nyata. “Mengingat penampilanmu saat ini, itu bisa
dibilang menghina. Kau lebih dari sekedar cantik.”
Aku tertawa. “Kau mungkin
sedikit memihak.”
“Kurasa tidak. Lagi pula, aku
punya daya lihat yang sempurna.”
Kami kembali berdansa, kakiku
di atas kakinya saat ia menarikku lebih dekat.
“Jadi, apakah kau akan
menjelaskan alasan untuk semua ini?” aku bertanya-tanya. Ia menunduk menatapku,
bingung, dan aku memandang pita kertas krep dengan penuh arti.
Ia berpikir sebentar kemudian
mengubah arah, memutar tubuhku melewati keramaian menuju pintu belakang gym.
Sekilas aku sempat melihat Jessica dan Mike yang sedang berdansa sambil
memandangiku penasaran. Jessica melambai, dan aku balas tersenyum padanya. Angela
juga aga di sana, tampak luar biasa bahagia dalam pelukan si kecil Ben Cheney;
Angela tak pernah melepaskan pandangannya dari Ben, yang sedikit lebih pendek
daripadanya. Lee, Samantha, Lauren, dan Conner menatap kami geram; aku bisa
menyebutkan semua orang yang menari melewatiku. Kemudian kami sampai di luar,
di bawah cahaya temaram matahari terbenam serta udara sejuk.
Begitu kami sendirian, ia
menggendong dan membawaku melintasi halaman yang gelap ke bangku di bawah
bayangan pepohonan madrone. Ia duduk di sana, sambil terus memelukku erat di
dadanya. Bulan telah muncul di langit, tampak jelas di antara awan-awan tipis,
dan wajahnya bertambah ppucat dalam cahaya putih. Mulutnya tegang, matanya
resah.
“Intinya?” aku memulai dengan
lembut. Ia mengabaikanku, menatap bulan.
“Twilight, lagi,” gumamnya.
“Akhir yang lain. Tak peduli bertapa sempurna sebuah hari, toh harus
berakhir juga.”
“Beberapa hal tak perlu
berakhir,” gumamku setengah mendesis, langsung tegang.
Ia mendesah.
“Aku membawamu ke prom,” katanya
pelan, akhirnya menjawab pertanyaanku,
“karena aku tak ingin kau kehilangan momen
apa pun. Aku
tak ingin kehadiranku
menjauhkanmu dari
segala peluang, kalau aku bisa
membuatnya terjadi. Aku ingin kau
menjadi manusia. Aku ingin
hidupmu berjalan seperti seharusnya seandainya aku mati pada tahun 1918.” Aku
bergidik mendengar kata-katanya, lalu menggeleng marah. “Dalam dimensi paralel
aneh manakah aku bakal pernah mau pergi ke prom atas keinginanku sendiri?
Seandainya kau tidak seribu kali lebih kuat dariku, aku takkan pernah
membiarkanmu membawaku kemari.
Ia tersenyum sekilas, tapi
senyum itu tidak menyentuh matanya. “Kau sendiri yang bilang ini tidak terlalu
buruk.”
“Itu karena aku bersamamu.”
Beberapa saat kami terdiam. Ia
menatap bulan dan aku menatapnya. Kuharap ada cara untuk menjelaskan betapa aku
sama sekali tidak tertarik pada kehidupan manusia yang normal.
“Maukah kau memberitahuku
sesuatu?” tanyanya, menunduk, menatapku seraya tersenyum simpul.
“Bukankah aku selalu
melakukannya?”
“Berjanjilah kau akan
memberitahuku,” desaknya, tersenyum. Aku tahu aku bakal langsung menyesalinya.
“Baiklah.”
“Kau sepertinya benar-benar
terkejut saat mengetahui aku akan
membawamu ke sini,” ia
memulai. “Memang,” selaku.
“Tepat,” ia menyetujui. “Tapi
kau pasti sudah punya teori lain...
aku penasaran—kaupikir kenapa
aku mendandanimu seperti ini?” Benar,
aku langsung menyesal.
Kucibirkan bibirku, ragu-ragu.
“Aku tidak ingin
memberitahumu.”
“Kau sudah berjanji,” tukasnya
keberatan. “Aku tahu.”
“Apa masalahnya?”
Aku tahu ia mengira perasaan
malulah yang menahanku. “Kurasa itu akan membuatmu marah—atau sedih.”
Alisnya bertaut di atas
matanya saat ia memikirkannya. “Aku masih ingin tahu. Kumohon.”
Aku mendesah. Ia menunggu.
“Well... aku menduga itu
semacam... acara istimewa. Tapi aku tidak berpikir ini kegiatan manusia
biasa... prom!” ejekku. “Manusia?” tanyanya datar. Ia memilih kata kuncinya.
Aku memandangi gaunku,
memainkan chiffon-nya. Ia menunggu dalam diam.
“Oke,” aku buru-buru mengaku. “Aku
berharap kau mungkin berubah pikiran... bahwa kau akan merubahku, akhirnya.”
Berbagai emosi muncul
bergantian di wajahnya. Aku mengenali
beberapa di antaranya : amarah... sedih... kemudian ia tampak senang.
“Kaupikir itu sejenis acara
resmi, ya?” godanya sambil menyentuh kerah tuksedonya.
Aku cemberut untuk menyembunyikan rasa
maluku. “Aku kan tidak tahu.
Setidaknya bagiku ini lebih masuk akal daripada prom.” Ia masih nyengir. “Tidak
lucu tahu,” kataku.
“Tidak, kau benar, ini tidak
lucu,” ia menimpali, senyumnya memudar. “Meskipun begitu aku lebih suka
menganggapnya lelucon, daripada percaya bahwa kau serius.”
“Tapi aku memang serius.”
Ia menghela napas dalam. “Aku
tahu. Dan kau benar-benar menginginkannya?”
Kepedihan itu kembali tampak
di matanya. Kugigit bibirku dan mengangguk.
“Kau siap mengakhiri ini
semua,” gumamnya, nyaris kepada dirinya sendiri, “siap menjadikan ini akhir
hidupmu, meskpun hidupmu bahkan belum dimulai. Kau siap merelakan semuanya.”
“Ini bukan akhir, ini baru
permulaan,” sergahku, suaraku berbisik.
“Aku tidak pantas
mendapatkannya,” katanya sedih.
“Kau ingat waktu kaubilang aku
tidak melihat diriku sendiri dengan jelas?” tanyaku, satu alisku terangkat.
“Kau sama butanya denganku.” “Aku tahu siapa diriku.” Aku mendesah.
Tapi suasana hatinya yang
berubah-ubah mempengaruhiku. Ia
mengerutkan bibir dan matanya
mencari-cari. Ia mengamati wajahku lama sekali.
“Kalau begitu, kau sudah
siap?” tanyanya. “Mmm.” Kutelan liurku. “Ya?”
Ia tersenyum, lalu
perlahan-lahan menunduk hingga bibirnya
yang dingin menyapu kulitku
tepat di sudut rahang.
“Sekarang juga?” ia berbisik,
napasnya terasa sejuk di kulitku.
Tanpa sadar aku gemetar.
“Ya,” bisikku, jadi suaraku
tidak terdengar parau. Kalau di pikirnya aku cuma menggertak, ia bakal kecewa.
Aku sudah membuat keputusan ini, dan aku yakin. Tak peduli tubuhku kaku seperti
papan, kedua tanganku mengepal, napasku tak beraturan...
Ia tergelak misterius, lalu
menjauh. Wajahnya memang kelihatan kecewa.
“Kau tak mungkin benar-benar
percaya aku bakal menyerah semudah itu,” ejeknya.
“Seorang gadis boleh
bermimpi.”
Alisnya terangkat. “Itukah
yang kauimpikan? Menjadi monster?”
“Tidak juga,” kataku, cemberut
mendengar pilihan katanya.
Monster. “Aku lebih sering
memimpikan bersamamu selamanya.”
Ekspresinya berubah, melembut,
sedih mendengar kepedihan dalam suaraku.
“Bella.” Jari-jarinya
menyusuri bentuk bibirku. “Aku akan
tinggal bersamamu—tidakkah itu
cukup?”
Aku tersenyum di bawah
jemarinya. “Untuk sekarang, ya.”
Wajahnya cemberut melihat
tekadku. Tak seorang pun bakal mengalah malam ini. Ia menghela napas, dan suara
yang dikeluarkannya jelas geraman.
Kusentuh wajahnya. “Dengar,”
kataku. “Aku mencintaimu lebih dari semua yang ada di dunia ini bila
digabungkan. Tidakkah itu cukup?”
“Ya, itu cukup,” jawabnya,
tersenyum. “Cukup untuk selamanya.”
Dan ia pun membungkuk lagi,
menekankan bibir dinginnya sekali lagi ke leherku.
S E L E S A I