
Bab 22 Petak umpet
Butuh waktu jauh lebih sedikit
dari yang kuduga—semua ketakutan, keputusasaan, kehancuran hatiku. Detik demi
detik berlalu lebih lambat daripada biasanya. Jasper belum kembali ketika aku
akhirnya menghampiri Alice. Aku takut berada satu ruangan dengannya, takut ia
akan menebaknya... tapi juga takut bersembunyi darinya untuk alasan yang sama.
Seharusnya aku tahu aku takkan
mungkin sanggup terkejut, pikiranku begitu tersiksa dan labil, tapi aku toh
terkehut juga saat melihat Alice membungkuk di meja, mencengkeram tepiaannya
dengan kedua tangan.
“Alice?”
Ia tidak bereaksi ketika aku
memanggil namanya, tapi kepalanya perlahan bergerak dari satu sisi ke sisi yang
lain, dan aku melihat wajahnya. Tatapannya hampa, terpana... Pikiranku melayang
pada ibuku. Apakah aku sudah terlambat?”
Aku bergegas ke sisinya,
otomatis menyentuh tangannya. “Alice!”
seru Jasper, muncul
tepat di belakang
Alice, kedua
tangannya memeluk tangan
Alice, melepaskan cengkramannya dari
meja. Dari seberang ruangan,
pintu menutup dengan bunyi klik pelan.
“Ada apa?” desak Jasper.
Alice memalingkan wajah dariku
dan membenamkannya di dada Jasper. “Bella,” katanya.
“Aku di sini,” balasku.
Kepalanya menoleh, matanya
terpaku padaku, ekspresinya masih hampa, aneh. Aku langsung tersadar ia tidak
berbicara padaku, ia menjawab pertanyaan Jasper.
“Apa yang kau lihat?”
kataku—suaraku yang datar dan tak peduli tidak mencerminkan pertanyaan.
Jasper menatapku tajam. Aku
menjaga ekspresiku tetap hampa dan menunggu. Mata Jasper kebingungan saat
dengat cepat menatap wajahku dan Alice, merasakan kepanikan.. karena sekarang
aku bisa menebak apa yang dilihat Alice.
Aku merasakan ketenangan
meliputi sekelilingku. Aku menyambutnya, menggunakannya untuk megendalikan
emosiku.
Alice sendiri juga berhasil
mengontrol dirinya.
“Tidak ada apa-apa, sungguh,”
akhirnya ia menjawab, suaranya luar biasa tenang dan meyakinkan. “Hanya ruangan
yang sama seperti sebelumnya.”
Alice akhirnya memandangku,
ekspresinya lembut dan tenang. “Kau mau sarapan?”
“Tidak, aku makan di bandara
saja.” Aku juga terdengar sangat tenang. Aku pergi ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Hampir seolah meminjam indra istimewa Jasper, aku bisa
merasakan keinginan Alice— meskipun tersembunyi dengan baik—agar aku
meninggalkan kamar dan ia bisa berdua saja dengan Jasper. Supaya ia bisa
memberitahu Jasper bahwa mereka melakukan sesuatu yang keliru, bahwa mereka
bakal gagal...
Aku bersiap-siap seperti
robot, berkonsentrasi pada setiap hal kecil. Rambutku dibiarkan tergerai,
berayun menutupi wajah. Suasana damai yang diciptakan Jasper mempengaruhi dan
membantuku berpikir jernih. Membantuku menyusun rencana. Aku merogoh-rogoh
tasku hingga menemukan kaus kakiku yang berisi uang. Aku mengosongkannya dan
memasukkan uangnya ke saku.
Ingin sekali rasany segera
tiba di bandara, dan aku merasa lega ketika kami berangkat pukul tujuh. Kali
ini aku duduk sendirian di belakang. Alice menyandarkan tubuh di pintu,
wajahnya menghadap Jasper, tapi dari balik kacamata hitamnya ia melirikku
setiap beberapa detik.
“Alice?” tanyaku cuek. Ia
menjawab hati-hati, “Ya?”
“Bagaimana cara kerjanya?
Hal-hal yang kaulihat itu?” Aku menatap ke luar jendela, suaraku terdengar
bosan. “Kata Edward hal yang kaulihat tidak berarti final... bahwa hal-hal
berubah?” Menyebut namanya jauh lebih sulit dari yang kukira. Pasti itulah yang
membuat Jasper waspada dan mengerahkan gelombang ketenangan baru di mobil yang
kami tumpangi.
“Ya, hal-hal bisa berubah...”
gumam Alice—mudah-mudahan, pikirku. “Beberapa hal lebih pasti dari yang lain..
seperti cuaca. Manusia lebih sulit. Aku hanya melihat hal yang mereka lakukan
ketika mereka sedang melakukannya. Begitu mereka berubah pikiran—membuat
keputusan baru, tak peduli betapa kecil— seluruh masa depan pun berubah.”
Aku mengangguk penuh
perhatian. “Jadi kau tidak bisa melihat James di Phoenix sampai dia memutuskan
datang ke sini.”
“Ya,” ia menimpali, kembali
waspada.
Dan ia tidak melihatku di
ruangan cermin itu bersama James sampai aku membuat keputusan untuk menemuinya
di sana. Aku berusaha tidak memikirkan apa lagi yang mungkin dilihatnya. Aku
tidak ingin kepanikanku membuat Jasper semakin curiga. Mereka akan mengawasiku
lebih ketat lagi sekarang, terutama setelah penglihatan Alice. Rencanaku nyaris
tak mungkin terlaksana.
Kami tiba di bandara.
Keberuntungan berpihak padaku, atau barangkali kebetulan saja. Pesawat Edward
mendarat di terminal empat, terminal paling besar tempat mendaratnya semua
penerbangan—jadi fakta itu bukan sesuatu yang aneh. Tapi toh itulah terminal
yang kubutuhkan : yang terbesar, yang paling memusingkan. Dan ada pintu di
lantai tiga yang bisa jadi satu-satunya kesempatan.
Kami parkir di lantai empat,
di garasi berukuran raksasa. Aku menunjukkan jalan, berhubung pengetahuanku
tentang bandara ini lebih baik daripada mereka. Kami menggunakan lift untuk
turun ke lantai tiga tempat para penumpang turun. Lama sekali Alice dan Jasper
memandangi papan jadwal penerbangan. Aku bisa mendengar mereka mendiskusikan
pro dan kontra tenang New York, Atlanta, Chicago. Tempat-tempat yang tak pernah
kulihat. dAn takkan pernah kulihat.
Aku menungu kesempatan, tidak
sabar, tak mampu menghentikan jari kakiku mengetuk-ngetuk. Kami duduk di
barisan kursi panjang di dekat pendeteksi logam, Jasper dan Alice berpura-pura
memperhatikan orang-orang yang lalu lalang, tapi sebenarnya mereka mengawasiku.
Lirikan cepat mereka mengikuti setiap gerakanku. Benar-benar tak ada harapan.
Apakah aku lari saja? Apakah mereka berani menggunakan kemampuan mereka untuk
menghentikanku di tempat umum seperti ini? Atau mereka hanya mengikuti?
Aku mengeluarkan suara tak
beralamat itu dari sakuku dan meletakkannya di atas tas kulit hitam Alice. Ia
menatapku.
“Suratku,” kataku. Ia
mengangguk, menyelipkannya di balik penutup bagian atas. Edward akan segera
menemukannya.
Menit-menit berlalu dan waktu
kedatangan Edwad semakin dekat. Betapa menakjubkan, setiap sel tubuhku
sepertinya mengetahui kedatangannya, menginginkan kedatangannya. Itu membuatnya
sangat sulit. Aku mendapati diriku memikirkan alasan untuk tetap tinggal, untuk
melihatnya dulu, baru melarikan diri. Tapi aku tahu akan mustahil kabur kalau
Edwad sudah disini.
Beberapa kali Alice menawarkan
menemaniku membeli sarapan. Aku memberitahunya belum ingin sarapan.
Aku memandang papan jadwal
kedatangan, memperhatikan saat penerbangan demi penerbangan tiba tepat waktu.
Penerbangan dari Seattle merangkak mendekati batas teratas.
Ketika aku hanya punya tiga
puluh menit untuk melarikan diri, angka-angka itu berubah. Pesawatnya tiba
sepuluh menit lebih cepat. Aku tak punya waktu lagi. “Kurasa aku mau makan
sekarang,” kataku buru-buru. Alice berdiri. “Aku ikut bersamamu.”
“Kau keberatan kalau Jasper
saja yang menemaniku?” tanyaku. “Aku merasa sedikit...” Aku tidak menyelesaikan
kalimatku. Mataku cukup liar sehingga bisa menyampaikan apa yang tidak
kukatakan.
Jasper bangkit berdiri. Mata
Alice tampak bingung,tapi—yang membuatku lega—dia tidak curiga. Ia pasti
menganggap perubahan dalam penglihatanya sebagai hasil rencana si pemburu,
bukannya penghianatanku.
Jasper berjalan tanpa suara di
sisiku, tangannya di punggungku, seolah membimbingku. Aku berpurapura tidak
tertarik pada beberapa kafe yang mula-mula kami lihat, pandanganku mencari-cari
apa yang sesungguhnya kuinginkan. Dan di sanalah, di belokan, di luar jangkauan
mata Alice yang tajam : toilet wanita lantai tiga.
“Kau keberatan?”” tanyaku pada
Jasper saat kami melintasinya. “Aku tidak bakal lama.”
Begitu pintu menutup di
belakang, aku lari. Aku ingat saat tersesat dari kamar mandi ini karena
pintunya ada dua.
Pintu yang lain tak jauh dari
lift. Aku hanya perlu lari sebentar, dan kalu Jasper tetap menunggu di tempat,
ia takkan bisa melihatku. Aku tidak menoleh ke belakang saat berlari. Ini
satu-satunya kesempatanku, bahkan kalaupun Jasper melihat, aku harus terus
berlari. Orang-prang menatapku, tapi aku mengabaikannya. Di belokan lift sudah
menanti, dan aku berlari, mengulurkan tangan di antara pintunya yang hampir
menutup. Lift itu penuh sesak oleh orang-orang yang akan turun. Aku menyelinap
di antar pengguna lift yang kesal, dan memastikan tombol lantai satu sudah
ditekan. Sudah menyala, dan pintu lift pun menutup.
Begitu pintunya membuka, aku
lari lagi meninggalkan gerutuan jengkel di belakangku. Aku memperlambat lariku
saat melewati petugas sekuriti di rel pemindai koper, dan lari lagi begitu
mendekati pintu keluar. Aku tidak tahu apakah Jasper sudah mulai mencariku atau
belum. Aku hanya punya beberapa detik kalau ia mengikuti bau tubuhku. Aku
melompat keluar dari pintu otomatis, nyaris menabrak kacanya ketika pintu itu
membuka terlalu pelan.
Tak ada taksi satu pun.
Aku tak punya waktu. Alice dan
Jasper entah hampir menyadari aku menghilang, atau malah sudah. Mereka akan
menemukanku dalam sekejap.
Pintu shuttle menuju Hyatt
sedang menutup, jaraknya beberapa meter di belakangku.
“Tunggu!” aku berseru,
melambai-lambai ke arah pengemudinya.
“Ini shuttle ke Hyatt,” si
pengemudi berseru bingung saat membukakan pintu.
“Ya, napasku tersengal-sengal,
“itu tujuanku.” Aku bergegas menaiki undakannya.
Ia ragu-ragu melihatku tidak
membawa bawaan, tapi kemudian mengangkat bahu, tidak mau repotrepot bertanya.
Kebanyakan kursinya kosong.
Aku duduk sejauh mungkin dari penumpang lain dan memandang ke luar jendela saat
mula-mula jalan setapak, kemudan bandaranya melesat dari pandangan. Aku tak
bisa menahan diri membayangkan Edward berdiri di ujung jalan saat menemukan
ujung jejakku. Aku belum boleh menangis, aku mengingatkan diri. Jalan yang
kulalui masih panjang.
Keberuntungan masih bersamaku.
Di depan Hyatt, pasangan yang kelelahan tampak mengeluarkan koper terakhir dari
bagasi taksi. Aku melompat dari shuttle dan berlari ke taksi, menyelinap ke jok
di belakang pengemudi. Pasangan itu dan si pengemudi shuttle menatapku.
Kuberitahu sopir taksi yang terkejut itu alamat ibuku. “Aku harus tiba di sana
secepat mungkin.”
“Itu di Scottsdale,”
protesnya.
Aku melempat emat puluh dua
dolaran ke kursi di sebelahnya. “Apakah itu cukup?” “Tentu, Nak, tidak
masalah.”
Aku bersandar lagi di jok,
melipat tangan di pangkuan. Kota yang familier mulai melesat di sekelilingku,
tapi aku tidak memandang keluar jendela. Aku memaksa diriku tetap penuh
kendali. Kuputuskan untuk tidak menyerah, mengingat rencanaku sudah berjalan
dengan baik. Tak ada gunanya larut dalam ketakutan, juga kekhawatiran. Takdirku
telah ditentukan. Sekarang aku hany tinggal mengikutinya.
Jadi, sebagai ganti panik aku
memejamkan mata dan menghabiskan dua puluh menit perjalanan itu bersama Edward.
Aku membayangkan tetap tinggal
di bandara untuk bertemu Edward. Aku membayangkan aku berdiri berjinjit untuk
melihat wajahnya lebih dulu. Betapa luwes dan anggun gerakkannya di antara
keramaian orang yang memisahkan kami. Kemudian aku lari mendekat—kikuk seperti
biasa—dan aku pun berada dalam pelukan tangan pualamnya, akhirnya aman.
Aku bertanya-tanya kemana kami
akan pergi. Ke suatu tempat di utara, agar ia bisa keluar di siang hari. Atau
mungkin di tempat yang sangat terpencil, supaya kami bisa berbaring di bawah
matahari bersama-sama lagi. Aku membayangkannya di pantai, kulitnya berkilauan
bagai air laut. Tak peduli betapa lamanya kami harus bersembunyi. Terperangkap
dalam kamar hotel bersamanya akan menjadi surga dunia bagiku. Aku masih
menyimpan banyak sekali pertanyaan untuknya. Aku bisa mengobrol dengannya
selamanya, tak pernah tidur, tak pernah meninggalkan sisinya.
Bisa kulihat wajahnya sangat
jelas sekarang... bahkan nyaris mendengar suaranya. Dan terlepas dari semua
ketakutan dan keputusasaanku, aku merasa bahagia. Aku begitu larut dalam lamunan,
hingga tak menyadari betapa cepat waktu berlalu.
“Hei, berapa nomornya?”
Pertanyaan sopir taksi
membuyarkan lamunanku, dan bayangan indahku pun lenyap. Rasa ngeri yang dingin
dan tanpa kompromi menanti untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkannya.
“Lima-delapan-dua-satu.”
Suaraku tercekat. Sopir taksi menatapku, khawatir aku sakit atau apa.
“Kalau begitu, kita sudah
sampai.” Ia ingin sekali mengeluarkan aku dari mobilnya, barangkali berharap
aku takkan meminta kembalian.
“Terima kasih,” bisikku. Tak
ada alasan untuk takut, aku mengingatkan diriku sendiri. Rumahnya kosong. Aku
harus bergegas; ibuku menantiku, ketakutan, mengandalkan aku.
Aku lari ke pintu, mengulurkan
tangan ke atasnya dan mengambil kunci. Kubuka pintunya. Di dalam gelap, kosong,
normal. Aku berlari menghampiri telepon seraya menyalakan lampu dapur. Di sana,
di whiteboard, tampak sepuluh digit angka yang rapi. Jemariku gemetaran menekan
nomor itu, beberapa kali keliru. Aku harus menutup dan memulai lagi. Kali ini
aku hanya berkonsentrasi pada tombol-tombolnya, dengan saksama menekannya satu
per satu. Berhasil. Aku mendekatkan gagang telepon ke telinga dengan tangan
gemetar. Hanya berdering satu kali.
“Halo, Bella,” suara tenang
itu menyambut di ujung telepon. “Ini sangat cepat. Aku terkesan.”
“Apakah ibuku baik-baik saja?”
“Dia sangat baik-baik. Jangan
khawatir, Bella, aku sama sekali tak punya masalah dengannya. Kecuali kau tidak
datang sendirian, tentunya.” Ringan, senang.
“Aku sendirian.” Aku tak
pernah sesendiri ini seumur hidupku. “Bagus sekali. Sekarang, kau tahu studio
balet di belokan dekat
rumahmu?”
“YA, aku tahu jalan ke sana.”
“Well, kalau begitu, kita akan
bertemu sebentar lagi.” Aku menutup telepon.
Aku lari meninggalkan ruangan,
melewati pintu muka, menuju panas yang menyengat.
Tak ada waktu untk menoleh dan
memandang rumahku, dan aku tak ingin melihatnya seperti saat ini— kosong,
simbol rasa takut dan bukannya tempat berlindung. Orang terakhir yang memasuki
ruang-ruang yang sangat kukenal itu adalah musuhku.
Dari sudut mata aku nyaris
bisa melihat ibuku berdiri di bawah bayangan pohon kayu putih tempat aku biasa
bermain ketika masih kanak-kanak. Atau berlutut di gundukan tanah di sekitar
kotak pos, makam segala macam bunga yang coba ditanam Mom. Ingatan-ingatan itu
lebih baik daripada kenyataan mana pun yang bakal kulihat hari ini. Tapi aku
menjauh dari semua itu, menuju belokkan, meninggalkan semua di belakangku.
Aku merasa sangat lamban,
seperti berlari di pasir basah—seolah-olah aku tak memiliki kekuatan untuk
menyusuri jalanan ini. Beberapa kali aku terpeleset, sekali jatuh, menahan
tubuhku dengan tangan, lalu tertatih-tatih bergerak maju. Tapi akhirnya aku
sampai di ujung jalan. Tinggal satu ruas jalan lagi sekarang. Aku berlari,
peluh menetes-netes di wajahku, napas terengah-engah. Sinar matahari terasa
panas di kulitku, kelewat terang saat memantul di aspal putih dan menyilaukan
pandangan. Aku merasa terekspos habishabisan. Lebih mengerikan daripada yang
pernah kubayangkan, aku kini mengharapkan hutan-hutan hijau Forks yang
protektif... rumahku.
Ketika berbelok di sudut
terakhir, menuju jalan Cactus, aku bisa melihat studio itu, seperti yang selama
ini kuingat. Lapangan parkir di depannya kosong, semua kerai jendela tertutup.
Aku tak bisa lari lagi—aku tak sanggup bernapas, kelelahan dan ketakutan
mengalahkanku. Aku memikirkan ibuku agar bisa terus bergerak, langkah demi
langkah.
Ketika semakin dekat, aku bisa
melihat tanda di balik pintu. Ditulis tangan di atas kertas pink menyala,
tulisan itu berbunyi ‘studio tari ditutup selama libur musim semi’. Kusentuh
gagang pintunya, menariknya membuka perlahan. Tidak dikunci. Aku berusaha
mengatur napas, dan membuka pintu
Lobi gelap dan kosong, sejuk,
terdengar deru suara pendingin ruangan. Kursi plastik lipat ditumpuk sepanjang
dinding, karpetnya beraroma shampo. Lantai dansa sebelah barat gelap, aku bisa
melihatnya lewat jendela yang terbuka. Lanpu-lampu di lantai dansa sebelah
timur yang lebih besar menyala, tapi kerai jendelanya tertutup.
Ketakutan mencengkramku begitu
kuat hingga seperti menjeratku. Aku tak bisa memaksa kakiku melangkah.
Kemudian suara ibuku
memanggil.
“Bella? Bella?” Nada histeris
yang sama. Aku berlalri ke pintu, menuju sumber suara.
“Bella, kau membuatku takut!
Jangan pernah lakukan itu lagi!” Suaranya berlanjut ketika aku berlari memasuki
ruangan panjang berlangit-langit tinggi itu.
Aku memandang sekeliling,
berusaha menemukan dari mana datang suaranya Mom. Aku mendengarnya tertawa, dan
aku pun berputar menghadap ke arah suara itu.
Dan di sanalah dia, di layar
televisi, mengacak-acak rambutku, merasa lega. Rekaman itu diambil saat
Thanksgiving, waktu usiaku dua belas. Kami pergi mengunjungi nenekku di
California, itu tahun terakhir sebelum ia meningal. Suatu hari kami ke pantai,
dan aku menjulurkan tubuhku terlalu jauh ke bibir dermaga. Ia melihatku
nyaris jatuh, berusaha
menggapai keseimbanga. “Bella? Bella?” ia memanggilku ketakutan.
Kemudian layar televisi
berubah menjadi biru.
Perlahan-lahan aku berbalik.
James berdiri mematung di ambang pintu belakang, begitu kaku hingga awalnay aku
tak mengenalinya. Ia memegang remote control. Lama kami bertatapan, kemudian ia
tersenyum.
Ia berjalan menghampiriku,
lumayan dekat, lalu melewatiku untuk meletakkan remote di sebelah VCR. Aku
hati-hati berbalik, memperhatikannya.
“Maafkan hal tadi, Bella, tapi
tidakkah lebih baik kalau ibumu tak perlu terlibat urusan kita?” Suranya sopan,
ramah.
Dan tiba-tiba aku tersadar.
Ibuku aman. Ia masih di Florida. Ia tak pernah menerima pesanku. Ia tak pernah
dibuat ketakutan oleh mata merah gelap milik wajah amat pucat di depanku ini.
Ibuku aman.
“Ya,” aku menjawab, suaraku
lega.
“Kau tidak terdengar marah
meskipun aku telah mengelabuhimu.”
“Memang tidak.” Suaraku
meninggi memicu keberanianku. Apa artinya sekarang? Sebentar lagi segalanya
bakal berakhir. Charlie dan Mom takkan pernah terluka, tak perlu merasa takut.
Aku nyaris pusing. Bagian analitis dalam benakku mengingatkan bahwa aku nyaris
meledak akibat tekanan yang kurasakan.
“Betapa aneh. Kau benar-benar
tulus dengan perkataanmu.” Matanya yang gelap menilaiku dengan sangat tertarik.
Irisnya nyaris hitam, hanya ada sedikit nuansa kemerahan di sekelilingnya.
Haus. “Kalian manusia bisa lumayan menarik. Kurasa aku bisa membayangkan
gambaranmu. Mengagumkan—sebagian kalian sepertinya sama sekali tidak memikirkan
kepentingan sendiri.”
Ia berdiri beberapa meter
dariku, tangan dilipat, menatapku dengan sorot mata penasaran. Tak ada
kebengisan pada wajah atau sikap tubuhnya. Hanya kulitnya yang putih dan mata
berkantong yang sudah biasa bagiku. Ia mengenakan kaus lengan panjang biru
pucat dan jins belel.
“Kurasa kau akan memberitahuku
bahwa kekasihmu akan membalaskan dendam untukmu?” ia bertanya, dan bagiku ia
seperti berharap-harap.
“Tidak, kurasa tidak. Setidaknya,
aku memintanya untuk tidak melakukanya.” “Apa katanya?”
“Aku tidak tahu.” Rasanya aneh
sekali bisa berkomunikasi dengan pemburu yang sopan ini. “Aku meninggalkan
surat untuknya.”
“Betapa romantis, surat
terakhir. Dan menurutmu dia akan menghargainya?” Suaranya hanya sedikit tegang
sekarang, nada sinis mewarnai nada bicaranya yang sopan.
“Kuharap begitu.”
“Hmmmm. Well, kalau begitu
harapan kita berbeda. Kau tahu, semua ini sedikit terlalu mudah, kelewat cepat.
Sejujurnya, aku kecewa. Aku mengharapkan tantangan yang lebih besar. Lagi pula,
aku hanya memerlukan sedikit keberuntungan.”
Aku menunggu dalam diam.
“Kalau Victoria tak dapat
menyentuh ayahmu, aku menyuruhnya mencari tahu lebih banyak tentangmu. Tak ada
gunanya berlari mengejarmu ke seluruh dunia padahal aku bisa menunggu nyaman di
tempat yang kutentukan. Jadi, setelah berbicara dengan Victoria, kuputuskan
untuk pergi ke Phoennix mengunjungi ibumu. Kudengar kau ingin pulang. Awalnya,
aku tak pernah mengira kau bersungguh-sungguh. Kemudian aku bertanya-tanya.
Manusia bisa sangat mudah ditebakl mereka suka berada di tempat yang familiar,
tempat aman. Dan bukankah ini rencana yang sempurna, pergi ke tempat terakhir
yang mungkin menjadi tempat persembunyianmu—tempat yang katamu akan kau
datangi.
“Tapi tentu saja aku tidak
yakin, itu hanya dugaan. Aku biasanya
punya insting mengnai mangsa yang kuburu, kau boleh menyebutnya indra keenam.
Aku mendengarkan pesanmu setibanya di rumah ibumu, tapi tentu saja aku tak
yakin dari mana kau menelepon. Memiliki nomormu tentu sangat berguna, tapi kau
bisa saja berada di Amerika, dan permainan ini takkan berjalan kecuali kau di
dekat-dekat sini.
“Kemudian kekasihmu naik
pesawat ke Phoenix. Victorian mengawasi mereka untukku, tentu saja. Dalam sebuah
permainan dengan banyak pemain, aku tak bisa bekerja sendirian. Jadi mereka
memberitahu apa yang kuharapkan, bahwa kau ada di sini. Aku sudah siap; aku
telah menyaksikan semua video rekamanmu yang menarik. Kemudian tinggal sedikit
gertakan saja.
“Sangat mudah, kau tahu, tidak
terlalu memenuhi standarku. Jadi, begini, kuharap kau salah mengenai kekasihmu.
Edward, bukan?”
Aku tak menyahut. Nyaliku
benar-benar ciut. Aku punya firasat sebentar lagi ia akan mencapai tujuannya
yang sebenarnya. Dan kemenangannya sama sekali tak ada hubungannya denganku.
Tak ada kepuasan dalam mengalahkan diriku, manusia lemah ini.
“Apakah kau sangat keberatan
kalau aku meninggalkan pesan untuk Edward-mu?”
Ia mundur selangkah dan
menyentuh video kamera digital seukuran telapak tangan, dengan hati-hati
meletakkannya di atas stereo. Nyala lampu merah kecil menandakan alat itu sudah
mulai merekam. Ia mengaturnya beberapa kali, melebarkan lensanya. Aku
menatapnya ngeri.
“Maafkan aku, tapi aku hanya
berpikir dia takkan mampu menahan diri untuk tidak memburuku setelah
menyaksikan ini. Dan aku tak ingin dia melewatkan apa pun. Tentu saja, ini
semua untuknya. Kau hanya manusia, yang sayang sekali berada di tempat yang
salah, pada waktu yang salah, dan tak diragukan lagi, boleh kutambahkan, berada
bersama kelompok yang salah.”
Ia menghampiriku, tersenyum.
“Sebelum kita mulai...”
Perutku mual ketika ia
berbicara. Sesuatu yang tidak kuperkirakan.
“Aku senang memanas-manasi
sedikit. Sebenarnya jawabannya sudah ada di sana selama ini, dan aku begitu
takut Edward akan mengetahuiny dan merusak kesenanganku. Hal seperti itu pernah
terjadi, oh, sudah lama sekali. Satu-satunya mangsaku yang berhasil kabur
dariku.
“Kau tahu, vampir yang begitu
tololnya untuk jatuh cinta pada korban kecilny aini mengambil keputusan yang
tak sanggup diambil oleh Edward-mu yang lemah itu. Ketika vampir tua itu tahu
aku mengincar teman kecilnya, dia menculik gadis itu dari rumah sakit jiwa
tempatnya bekerja—aku takkan pernah mengerti obsesi yang dimiliki beberapa vampir
terhadap kalian manusia—dan begitu vampir tua itu membebaskannya, dia membuat
gadis itu aman. Gadis itu sepertinya bahkan tidak merasakan sakitnya, makhluk
kecil malang. Dia telah terperangkap dalam lubang hitam itu terlalu lama.
Ratusan tahun sebelumnya dia bisa saja dibakar karena pengliatannya. Pada tahun
1920-an, hukumannnya adalah rumah sakit jiwa dan terap syok. Ketika gadis itu
membuka mata, kemudaannya yang baru membuatnya kuat, seolah-olah dia belum
pernah melihat matahari. Si vampir tua menjadikannya vampir baru
yang kuat, dan tak ada alsan
lagi bagiku untuk menyentuhnya.” Ia mendesah. “Sebagai balas dendam, aku
menghancurkan si vampir tua.”
“Alice,” desahku, terkejut.
“Ya, teman kecilmu. Aku
terkejut melihatnya di lapangan itu. Jadi kurasa pengalaman ini tidak
burukburuk amat bagi kelompoknya. Aku mendapatkanmu, tapi mereka
mendapatkannya. Satu-satunya korban yang berhasil kabur dariku, suatu
kehormatan, sebenarnya.
“Dan aromanya memang sangat
lezat. Aku masih menyesal tak sempat mencicipinya... Aromanya bahkan lebih
lezat daripada kau. Maaf—aku tak bermaksud menyinggungmu. Aroma tubuhmu sangat
menyenangkan. Bunga-bungaan, bagaimanapun...”
Ia maju selangkah lagi, sampai
jaraknya tinggal beberapa senti. Ia mengangkat beberapa helai rambutku dan
mengendusnya dengan lembut. Lalu perlahan-lahan ia mengembalikannya lagi di
tempat semula, dan aku merasakan ujung jarinya yang dingin di leherku. Ia
mengangkat tangannya dan mengelus pipiku sekilas dengan ibu jarinya, wajahnya
penasaran. Aku ingin sekali menjauhkan diri darinya, tapi tubuhku membeku. Aku
bahkan tak bisa beringsut.
“Tidak,” gumamnya pada diri
sendiri, lalu menjatuhkan tangannya, “aku tak mengerti.” Ia mendesah. “Well,
kurasa kita selesaikan saja sekarang. Kemudian aku bisa menelepon teman-temanmu
dan memberitahu mereka di aman bisa menemukanmu, dan pesan kecilku.”
Aku benar-benar mual sekarang.
Ada rasa sakit yang mendekat, dan aku bisa melihat di matanya. Ia tidak akan
puas hanya dengan menang, memangsaku, lalu pergi. Takkan berakhir cepat seperti
yang kuharapkan. Lututku gemetaran, dan aku khawatir bakal jatuh.
Ia melangkah mundur dan mulai
mengelilingiku, dengan wajar, seakan-akan mencari sudut pandang yang lebih baik
dari patung di museum. Wajahnya masih ramah dan terbuka saat memutuskan dari
mana harus memulai.
Kemudian ia mencondongkan
tubuh, dan senyumnya yang menawan perlahan melebar, semakin lebar, hingga tidak
menyerupai senyuman sama sekali melainkan deretan gigi, terpapar jelas dan
berkilauan.
Aku tak dapat menahan diri—aku
mencoba lari. Sama sia-sianya seperti yang kuperkirakan, selemah lututku saat
itu. Kepanikan menguasaiku dan aku melesat ke pintu darurat.
Dalam sekejap ia sudah di
depanku. Aku tidak melihat apakah ia menggunakan tangan atau kakinya, terlalu
cepat. Entakan keras menghantam dadaku—tubuhku melayang ke belakang, dan aku
mendengar suara pecahan saat kepalaku menghantam cermin. Kacanya hancur
berantakan, serpihan-serpihannya berserakan dan bertebaran di lantai di
sampingku.
Aku kelewat terkejut untuk
bisa merasakan sakit. Aku tak bisa bernapas.
Perlahan-lahan ia
menghampiriku.
“Itu efek yang sangat
menyenangkan,” katanya mengamati kaca-kaca yang berserakan, suarnya kembali
ramah. “Kupikir ruangan ini cukup
dramatis untuk film sederhanaku. Itu sebabnya aku memilih tempat ini untuk
berjumpa denganmu. Sempurna, ya kan?”
Aku mengabaikannya, dengan
tangan dan lutut aku merangkak ke pintu lain.
Ia langsung menghadangku,
kakinya menginjak kakiku. Aku mendengar suara retakan itu sebelum merasakannya.
Tapi kemudian aku merasakannya, dan aku tak dapat menahan jerit kesakitanku.
Aku berbalik untuk meraih kakiku, dan ia berdiri menjulang di atasku,
tersenyum.
“Apakah kau mau memikirkan
kembali permintaan terkahirmu?” tanyanya ramah. Ibu jarinya menekan kakiku yang
patah dan aku mendengar lengkingan kesakitan. Aku terkejut menyadari akulah
yang menjerit itu.
“Tidakkah aku lebih ingin
Edward berusaha mencariku?” ujarnya.
“Tidak!” seruku parau. “Tidak,
jangan Edward—” Lalu sesuatu mengantam wajahku, melemparkanku kembali ke cermin
yang sudah pecah.
Selain sakit di kakiku, aku
merasakan robekan tajam di kulit kepalaku, di tempat pecahan kaca itu
menusukku. Cairan hangat mengalir deras di antara helai rambutku. Aku bisa
merasakannya membasahi bagian bahu kausku, mendengarnya menetes-netes di lantai
kayu di bawahku. Aromanya membuatku mual.
Dalam keadaan pusing dan mual
aku melihat sesuatu yang tiba-tiba memberiku secercah harapan terakhir.
Matanya, yang sebelumnya penuh tekad, kini membara dengan hasrat tak
terkendali. Darah yang mengalir—meninggalkan noda kemerahan di kaus putihku,
dengan cepat menggenang di lantai—membuatnya sinting karena dahaga. Terlepas
dari tujuan awalnya, ia tak dapat menahan diri lebih lama lagi. Biarlah segera
berlalu sekarang, hanya itu yang bisa kuharapkan saat aliran darah dari
kepalaku muloai membuatku tak sadarkan
diri. Mataku memejam.
Aku mendengar, seolah dari
kedalaman air, raungan terakhir si pemburu. Aku bisa melihat, lewat lorong
panjang yang terbentuk di mataku, sosok gelapnya menghampiriku. Dengan kekuatan
terakhir, tanganku terangkat menutupi wajah. Mataku terpejam dan aku pun tak
sadarkan diri.