
Bab 8 Port Angeles
Jess mengemudi lebih cepat
daripada Charlie, jadi kami bisa tiba di Port Angeles pukul 14.00. Sudah lama
aku tidak kumpul-kumpul dan nongkrong dengan teman-teman cewekku, hingga aliran
esterogen membuatku bersemangat. Kami mendengarkan lagu-lagu rock berisik
sementara Jessica berceloteh tentang cowok-cowok yang sering nongkrong bersama
kami. Makan malamnya bersama Mike berlangsung sangat baik, dan ia berharap
malam Minggu nanti mereka bakal berciuman. Aku tersenyum sendiri, merasa senang.
Secara tidak kentara Angela juga senang akan pergi ke pesta dansa, tapi ia
tidak benar-benar naksir Eric. Jess mencoba membuat Angela mengaku tipe cowok
seperti apa yang disukainya, tapi aku menyela dengan menanyakan soal pakaian,
untuk mengalihkan perhatiannya. Angela memandangku dengan ekspresi terima
kasih.
Port Angeles adalah daya tarik
yang indah bagi wisatawan. Meskipun hanya kota kecil, tempat itu lebih tertata
dan menarik dibanding Forks. Tapi Jessica dan Angela sudah sangat mengenalnya,
jadi mereka tidak berencana menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan di
semenanjung, mengagumi keindahan kota. Jess langsung menuju department store
terbesar disana, yang jaraknya hanya beberapa ruas jalan dari semenanjung yang
sanagt menarik bagi pengunjung.
Pesta dansa nanti sifatnya
setengah formal, dan kami tidak terlalu yakin apa maksudnya. Jessica dan Angela
kelihatannya terkejut dan nyaris tidak percaya ketika kubilang aku tak pernah
pergi ke pesta dansa ketika masih di Phoenix.
“Apa kau tak pernah berkencan
atau apa?” Jess bertanya ragu-ragu ketika kami memasuki toko.
“Sungguh,” aku berusaha
meyakinkannya, tanpa harus menceritakan masalah yang kualami ketika berdansa.
“Aku tidak pernah punya pacar, atau teman dekat. Aku jarang keluar.” “Kenapa?”
tanya Jessica.
“Tidak ada yang mengajakku,”
jawabku jujur.
Ia tampak ragu. “Di sini
orang-orang mengajakmu berkencan,” ia mengingatkanku, “dan kau menolaknya.”
Kami sekarang berada di bagian remaja, melihat-lihat rak di sekitar kami,
mencari gaun.
“Well, kecuali Tyler,” ralat
Angela.
“Maaf?” aku menahan napas.
“Apa katamu?”
“Tyler bilang ke semua orang
dia mengajakmu ke pesta prom,” Jessica memberitahuku dengan pandangan curiga.
“Dia bilang apa?” aku
kedengaran seperti tersedak.
“Sudah kubilang itu tidak benar,
kan,” Angela bergumam pada Jessica.
Aku terdiam, masih syok yang
dengan cepat berganti jadi sebal. Tapi kami sudah menemukan pakaian yang kami
cari, dan sekarang ada pekerjaan lain yang harus dilakukan.
“Itu sebabnya Lauren tidak
menyukaimu,” Jessica cekikikan sementara kami memilih-milih.
Dengan geram aku berkata, “Apa
kalian pikir kalau aku menabraknya dengan trukku, dia bakal berhenti merasa
bersalah mengenai kejadian itu? Apakah dia akan berhenti membayar semuanya dan
menganggapnya impas?”
“Mungkin?” Jess nyengir.
“Kalau memang itulah alasannya mengajakmu.”
Pilihan pakaiannya tidak
terlalu banyak, tapi mereka menemukan beberapa yang pas untuk dicoba. Aku duduk
di kursi pendek di kamar pas, di depan cermin tiga arah, berusaha mengendalikan
amarahku.
Jess bimbang diantara dua
pilihan—gaun panjang hitam tanpa lengan, atau gaun warna biru elektrik dengan
tali tipis di pundak. Kusarankan ia memilih yang biru; kenapa tidak mencoba
sesuatu yang berbeda? Angela memilih gaun pink pucat yang membalut tubuh
jangkungnya dengan indah dan menegaskan warna keemasan rambutnya yang
kecoklatan. Aku memuji mereka dengan tulus dan membantu mengembalikan pakaian
yang tak jadi dipilih ke rak. Proses memilih pakaian ternyata hanya berlangsung
sebentar dan lebih mudah daripada yang kulakukan bersama Reneé di Phoenix.
Kurasa karena pilihan disini lebih terbatas.
Kami beralih ke bagian sepatu
dan aksesori. Sementara mereka menjajal macam-macam, aku hanya memperhatikan
dan mengkritik. Aku sedang tidak ingin berbelanja, meskipun sebenarnya
membutuhkan sepatu baru. Semangatku lenyap seiring munculnya perasaan sebalku
terhadap Tyler, dan itu kembali menciptakan ruang untuk kesedihan.
“Angela?” ujarku ragu-ragu,
sementara ia mencoba sepasang sepatu tali tumit tinggi berwarna pink—ia senang
sekali pasangan kencannya cukup tinggi sehingga ia bisa mengenakan sepatu tumit
tinggi. Jessica sudah pindah ke bagian aksesori, tinggal aku dan Angela
sendirian.
“Ya?” Ia menjulurkan kaki,
menggerakkan pergelangan kakinya supaya bisa mengamati sepatunya dari sudut
pandang berbeda.
Lalu aku mendadak takut. “Aku
suka yang itu.”
“Kurasa aku akan
membelinya—meskipun hanya cocok dengan gaun baruku ini,” ia melamun.
“Beli saja—sedang diskon kok,”
dukungku. Ia tersenyum, menutup kembali kotak sepatu putih yang kelihatannya
lebih praktis.
Aku mencobal lagi. “Mmm,
Angela...” Ia menatap penasaran. “Apakah anak-anak... Cullen”—aku terus
memandangi
sepatu—“memang sering
membolos sekolah?” Aku benar-benar
gagal untuk terdengar biasa
saja.
“Ya, ketika cuaca bagus mereka
pergi berkemah—bahkan ayah mereka juga. Mereka benar-benar pecinta alam
sejati,” ujarnya tenang, sambil mengamati sepatunya. Ia tidak menanyakan apa
pun, tidak seperti Jessica yang pasti akan melontarkan ratusan pertanyaan. Aku
mulai benar-benar menyukai Angela.
“Oh.” Aku tidak membahasnya
lagi ketika Jessica kembali untuk memperlihatkan perhiasan yang serasi dengan
sepatu silvernya.
Kami bermaksud makan malam di
restoran Italia kecil di pinggir jalan, tapi acara belanjanya ternyata tak
selama yang kami kira. Jess dan Angela akan membawa pakaian baru mereka ke
mobil, kemudian kami akan berjalan kaki ke teluk. Kukatakan aku akan menemui
mereka di restoran satu jam lagi—aku mau mencari toko buku. Mereka sebenarnya
bersedia ikut denganku, tapi aku menyuruh mereka bersenang-senang—mereka tak
tahu betapa asyiknya aku bila sudah dikelilingi buku-buku, sesuatu yang lebih
suka kulakukan sendirian. Mereka pergi ke mobil sambil mengobrol riang, dan aku
pergi ke arah yang tadi ditunjuk Jess.
Mudah bagiku menemukannya,
tapi ternyata bukan toko buku itu yang kucari. Jendelanya penuh dengan kristal,
penangkap mimpi, dan buku-buku penyembuhan spiritual. Aku bahkan tidak masuk.
Lewat jendela kaca aku bisa melihat perempuan berumur lima puluh tahunan dengan
rambut panjang beruban tergerai di punggung, mengenakan pakaian tahun ’60-an.
Ia tersenyum ramah dari balik konter. Kuputuskan tidak mencoba bicara
dengannya. Pasti ada toko buku normal di kota ini.
Aku menelusuri jalan demi
jalan yang padat oleh orang-orang pulang kerja, berharap aku sedang menuju
pusat kota. Aku tidak terlal memperhatikan arah langkahku; aku berusaha keras
tidak memikirkan Edward, juga apa yang dikatakan Angela... Lebih lagi, aku
mencoba mematikan harapanku untuk Sabtu nanti, khawatir akan lebih kecewa lagi.
Ketika itu aku mendongak dan melihat sebuah Volvo silver di parkir di jalan.
Tiba-tiba saja pikiran itu menyergapku. Dasar vampir tolol yang tak bisa
dipercaya, pikirku.
Aku melangkah marah ke
selatan, menuju beberapa toko berjendela kaca yang sepertinya menjanjikan. Tapi
ketika tiba disana, itu hanya toko reparasi dan toko kosong. Masih ada terlalu
banyak waktu sebelum bertemu Jess dan Angela, dan jelas aku perlu memulihkan
suasana hatiku sebelum bertemu mereka lagi. Kusisir rambutku dengan jemari dan
menarik napas dalam-dalam sebelum berbelok di sudut jalan.
Ketika menyeberang, aku
tersadar telah menuju ke arah yang salah. Rambu lalu lintas yang kulihat menuju
ke arah utara, dan sepertinya bangungan-bangunan disini kebanyakan gudang.
Kuputuskan untuk membelok ke timur di belokan
berikut, kemudian setelah beberapa blok aku berputar dan mencoba
keberuntunganku dengan mengambil jalan yang berbeda.
Empat cowok muncul dari
pojokan yang kutuju, berpakaian terlalu santai untuk kategori pekerja yang baru
pulang kerja, tapi terlalu lusuh sebagai turis. Ketika mereka mendekat, aku
menyadari umur mereka tidak telalu jauh dariku. Mereka bercanda sambil
berteriak-teriak, tertawa liar dan saling menonjok lengan. Aku bergegas menyingkir
sejauh mungkin, memberi jarak pada mereka, berjalan cepat, sambil menoleh ke
arah mereka.
“Hei, kau!” panggil salah satu
dari mereka saat kami berpapasan, dan ia pasti berbicara denganku, mengingat
tak ada orang lain di sekitarku. Aku pun memandangnya. Dua dari mereka telah
menghentikan langkah, dua lagi memperlambat jalannya. Sepertinya yang berbicara
denganku tadi adalah yang paling dekat denganku. Tubuhnya besar, berambut
gelap, kira-kira awal dua puluhan. Ia mengenakan kaus flanel diatas T-shirt
kotornya, jins sobek-sobek, dan sandal. Ia melangkah ke arahku.
“Halo,” gumamku sebagai reaksi
spontan. Lalu aku cepat-cepat mengalihkan pandangan dan berjalan lebih cepat
menuju belokan. Bisa kudengar mereka tertawa keras di belakangku.
“Hei, tunggu!” salah satu
memanggil lagi, tapi aku terus menunduk dan berbelok sambil menghela napas
lega. Masih kudengar mereka tertawa tergelak-gelak di belakangku.
Aku mendapati diriku berjalan
di trotoar yang melintasi bagian belakang gudang-gudang yang suram, masing-masing
dilengkapi pintu untuk bongkar-muat truk, terkunci pada malam hari. Sisi
selatan jalan tidak bertrotoar, hanya pagar kawat dengan kawat berduri untuk
melindungi sejenis tempat penyimpanan mesin. Sepertinya aku telah sampai di
badian Port Angeles yang bukan diperuntukkan bagi turis. Aku tersadar hari
mulai gelap, awan-awan akhirnya berkumpul lagi di langit barat, membuat
matahari terbenam lebih awal. Langit timur masih bersih, tapi mulai kelabu
dengan semburat merah jambu dan jingga. Aku tadi meninggalkan jaketku di mobil,
dan dingin yang sekonyong-konyong kurasakan membuatku bersedekap erat-erat.
Sebuah van melintas di depanku, lalu jalanan kembali kosong.
Langit tiba-tiba menggelap,
dan ketika menoleh untuk memandang awan yang semakin mengancam, aku terkejut
menyadari dua cowok diam-diam mengendap-endap enam meter di belakangku.
Mereka cowok-cowok yang tadi,
meski bukan yang berambut gelap yang telah bicara denganku. Aku langsung
membuang muka dan mempercepat langkah. Perasaan merinding yang tak ada
hubungannya dengan cuaca membuatku gemetar lagi. Tas kecilku kuselempangkan di
tubuh seperti yang seharusnya dilakukan supaya tidak bisa dicuri. Aku tahu
persis dimana aku menaruh semprotan ladaku—masih di ranselku di kolong tempat
tidur, belum dibuka. Aku tidak membawa banyak udang, hanya selembar dua puluh
dollar dan sedikit recehan. Aku berpikir akan menjatuhkan tasku dengan sengaja
lalu kabur. Tapi suara ketakutan di sudut benakku mengingatkanku mereka mungkin
saja lebih dari sekadar pencuri.
Aku mendengarkan langlah
mereka dengan saksama, yang sekarang jauh lebih pelan daripada langkah berisik
yang mereka buat tadi. Kedengarannya mereka tidak mempercepat ataupun semakin
dekat denganku. Tarik napas, Bella, aku mengingatkan diri sendiri. Kau tidak tahu
apakah mereka mengikutimu. Aku terus berjalan secepat mungkin tanpa benar-benar
berlari, berkonsentrasi pada belokan kanan yang tinggal beberapa meter. Aku
bisa mendengar mereka tertinggal jauh di belakang. Sebuah mobil biru muncul
dari selatan dan meluncur cepat ke arahku. Aku berpikir untuk menyetopnya, tapi
ragu, tak yakin apakah mereka benar-benar mengejarku.
Aku sampai di sudut, tapi
hanya dengan pandangan sekilas aku tahu itu jalan buntu ke belakang bangunan
yang lain. Aku setengah berbalik dengan siaga; aku harus bergegas berlari
menyeberangi gang sempit itu, kembali ke trotoar. Jalanannya berakhir di sudut
berikut, di sana ada rambu stop. Aku berkonsentrasi mendengarkan
langkah-langkah samar di belakangku, memutuskan akan lari atau tidak. Mereka
sepertinya tertinggal jauh di belakang, dan aku tahu kapan saja mereka bisa
menyusulku. Aku yakin bakal tersandung dan terjatuh kalau berjalan lebih cepat
lagi. Suara langkah kaki itu jelas sudah jauh di belakang. Aku memberanikan
diri menoleh sekilas, dan dengan lega melihat mereka kurang lebih 12 meter di
belakangku. Tapi kedua cowok itu sedang memadangiku.
Rasanya lama sekali baru aku
sampai di sudut. Langkahku tetap stabil, dan kedua cowok di belakangku semakin
tertinggal. Mungkin mereka sadar telah membuatku takut dan menyesalinya. Aku
melihat dua mobil yang menuju utara melewati persimpangan yang akan kutuju, dan
aku menghela napas lega. Akan ada lebih
banyak orang begitu aku keluar
dai jalanan sepi ini. Aku membelok dengan helaan napas lega.
Lalu menghentikan langkah.
Di kedua sisi jalan tampak
dinding kosong tanpa pintu dan jendela. Dari jauh aku bisa melihat dua
persimpangan, lampu jalan, mobil-mobil, dan lebih banyak lagi pejalan kaki,
tapi mereka terlalu jauh. Karena terhalang bangunan di sebelah barat, di tengah
jalan berdiri dua cowok lainnya. Mereka menatapku sambil tersenyum puas,
sementara aku berdiri membeku di trotoar. Aku pun tersadar, aku tidak sedang
diikuti.
Aku dijebak.
Aku berhenti sedetik yang
rasanya lama sekali. Kemudian aku berbalik dan berlari ke sisi lain jalan.
Dengan hari ciut aku menyadari usahaku sia-sia. Suara langkah di belakangku
semakin jelas sekarang.
“Disitu kau rupanya!” Suara
gelegar cowok berambut gelap dan bertubuh kekar itu memecah keheningan dan
membuatku kaget. Dalam kegelapan yang menyelimuti, ia seolah-olah memandang ke
belakangku.
“Yeah,” suara keras menyahut
dari belakangku, membuatku terperanjat sekali lagi ketika mencoba lari. “Kami
hanya mengambil jalan pintas.”
Langkahku sekarang pelan.
Jarak yang memisahkanku dengan dua pasang cowok itu semakin dekat. Teriakanku
cukup keras dan lantang, karenanya aku menghirup napas dalam-dalam,
bersiap-siap berteriak. Tapi tenggorokanku begitu kering sehingga aku tak yakin
seberapa keras aku bisa berteriak. Dengan cepat aku meloloskan tapi tasku dari
kepala, menggenggamnya, siap menyerahkan atau menggunakannya sebagai senjata
bila perlu.
Si cowok kekar meninggalkan
tembok ketika aku berhenti dengan hati-hati, dan berjalan pelan ke jalan.
“Jangan dekati aku,” aku mengingatkan
dengan suara yang seharusnya lantang dan berani. Tapi aku benar tentang
tenggorokan yang kering—tak ada suara yang keluar.
“Jangan begitu, Manis,” seru
cowok itu, dan suara tawa liar itu terdengar lagi di belakangku.
Aku memasang kuda-kuda, kaki
terbuka, dengan panik mengingat-ingat jurus bela diri yang kutahu. Kepalan
tangan siap kulayangkan, mudah-mudahan bisa mematahkan hidungnya atau
menghantam kepalanya. Menusukkan jari ke matanya—mencoba menusuk dan mencongkel
keluar matanya. Tentu saja jurus standar, tendangan lutut ke daerah vitalnya.
Suara pesimis dalam benakku terdengar lagi, mengingatkanku bahwa aku tak
mungkin bisa mengalahkan salah satu dari mereka, apalagi mereka berempat. Diam!
Kuperintah suara itu diam sebelum mulai ketakutan. Aku takkan menyerah sebelum
mengalahkan salah satu dari mereka. Kutelan liurku supaya bisa berteriak
lantang.
Sekonyong-konyong lampu sorot
muncul dari sudut jalan dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar, memaksanya
melompat ke trotoar. Aku berlari ke tengah jalan—mobil ini akan berhenti, atau
menabrakku. Tapi mobil silver itu tak disangka-sangka menukik, lalu berhenti
dengan salah satu pintu terbuka hanya beberapa jengkal dariku.
“Masuk,” terdengar suara gusar
memerintahku.
Sungguh mengagumkan betapa cepatnya
cekaman rasa takut itu lenyap, mengagumkan bagaimana perasaan aman tiba-tiba
menyelimutiku—bahkan sebelum aku meninggalkan jalanan—hanya sedetik setelah aku
mendengar suaranya. Aku melompat masuk, membanting pintu hingga tertutup.
Suasana di dalam mobil gelap,
tak ada cahaya seiring pintu yang tadi terbuka, dan aku nyaris tak bisa melihat
wajahnya dalam cahaya temaram yang terpancar dari dasbor. Ban mencicit ketika
ia berputar menuju utara, melaju terlalu cepat, berbelok menuju keempat cowok
yang terperangah itu. Sekilas kulihat mereka melompat ke trotoar saat kami
melaju menuju pelabuhan.
“Pakai sabuk pengamanmu,”
perintahnya, dan aku tersadar kedua tanganku meremas jok erat-erat. Aku
langsung mematuhinya; suara klik ketika sabuh pengaman terpasang terdengar
nyata dalam kegelapan. Ia membelok tajam ke kiri, terus melesat cepat, melewati
beberapa rambu stop tanpa menghentikan laju mobil.
Tapi aku merasa sangat aman,
dan sejenak aku sama sekali tak peduli kemana tujuan kami. Kutatap wajahnya
dengan perasaan lega yang dalam, kelegaan yang melebihhi kebebasanku yang
mendadak itu. Kuamati rupanya yang tak bercela dalam cahaya yang terbatas,
menunggu napasku kembali normal, hingga
tampak olehku ekspresinya yang
amat sangat marah.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku,
terkejut mendengar betapa parau suaraku.
“Tidak,” katanya kasar, nada
suaranya marah.
Aku duduk diam, memperhatikan
wajahnya sementara matanya yang berkilat-kilat menatap lurus ke depan, sampai
mobilnya tiba-tiba berhenti. Aku memandang berkeliling, tapi terlalu gelap
untuk melihat apa pun selain barisan pepohonan di sisi jalan. Kami sudah
meninggalkan kota.
“Bella?” ujarnya, suaranya
tegang namun terkendali.
“Ya?” suaraku masih parau.
Diam-diam aku berusaha berdeham.
“Kau baik-baik saja?”Ia masih
tidak memandang ke arahku, tapi amarah tampak jelas di wajahnya.
“Ya,” jawabku lembut.
“Tolong alihkan perhatianku,”
perintahnya. “Maaf, apa katamu?”
Ia menghela napas keras-keras.
“Ceritakan apa saja yang remeh
sampai aku tenang,” ia menjelaskan. Dipejamkannya matanya dan dicubitnya cuping
hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk.
“Mmm.” Aku memutar otak untuk
menemukan sesuatu yang remeh. “Aku akan menabrak Tyler Crowley besok sebelum
sekolah dimulai?”
Ia masih memejamkan mata
dengan susah payah, tapi sudut bibirnya menegang.
“Kenapa?”
“Dia memberitahu semua orang
akan mengajakku ke pesta prom—entah dia itu tidak waras atau masih mencoba
menebus kesalahannya karena hampir membunuhku tempo...well, kau pasti ingat,
dan dia pikir pesta prom cara yang tepat. Jadi kupikir kalau aku membahayakan
hidupnya, berarti kedudukan kami seri, dan dia tidak perlu terus menerus
memperbaiki hubungan. Aku tidak memerlukan musuh, dan barangkali Lauren akan
kembalu bersikap biasa kalau Tyler menjauhiku. Meski begitu mungkin aku perlu
menghancurkan mobil Sentra-nya. Kalau tidak punya kendaraan, berarti dia tidak
bisa mengajak siapa-siapa ke prom...” cerocosku.
“Aku sudah dengar.” Ia
terdengar lebih tenang.
“Oh ya?” tanyaku tidak
percaya, kejengkelanku menyala-nyala lagi sekarang. “Kalau dia lumpuh dari
leher ke bawah, dia juga tidak bisa pergi ke prom,” gumamku, menjelaskan
rencanaku.
Edward menghela napas,
akhirnya membuka mata. “Lebih baik?”
“Tidak juga.”
Aku menunggu, tapi ia tidak
mengatakan apa-apa lagi. Ia menyandarkan kepala ke kursi, menatap langit-langit
mobil. Wajahnya kaku.
“Apa yang terjadi?” bisikku.
“Kadang-kadang aku punya
masalah dengan emosiku, Bella.” Ia juga berbisik, memandang ke luar jendela,
matanya menyipit. “Tapi tidak akan lebih baik bagiku bila aku berbalik dan
memburu...” Ia tidak menyelesaikan kata-katanya, memalingkan wajah, beberapa
saat berusaha keras
mengendalikan amarahnya lagi. “Setidaknya,” lanjutnya, “itulah yang sedang coba
kukatakan pada diriku sendiri.”
“Oh.” Kata itu sepertinya
tidak cukup, tapi aku tak bisa memikirkan jawaban yang lebih baik.
Kami duduk diam lagi. Aku
melihat jam di dasbor. Sudah lewat 18.30.
“Jessica dan Angela pasti
khawatir,” gumamku. “Aku seharusnya
menemui mereka.”
Ia menyalakan mesin mobil
tanpa mengatakan apa-apa, berbelok mulus dan meluncur kembali menuju kota. Tak
lama kemudian kami sudah disinari lampu-lampu jalan, mobilnya masih ngebut,
dengan mudah menyalip mobil-mobil yang melaju pelan di jalur boardwalk. Ia
memarkir paralel di tempat sempit yang tadinya kukira tak cukup untuk
Volvo-nya, tapi ia melakukannya dengan mudah. Aku memandang ke luar dan melihat
tulisan La Bella Italia. Jess dan Angel tampak baru saja meninggalkan meja,
berjalan waswas menjauhi kami.
“Bagaimana kau tahu dimana...”
aku memulai, tapi lalu aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku mendengar
pintunya terbuka dan melihat ia hendak keluar dai mobil.
“Apa yang kau lakukan?”
tanyaku.
“Mengajakmu makan malam,”
katanya sedikit tersenyum, tapi sorot matanya tetap tajam. Ia melangkah keluar
dari mobil dan membanting pintunya. Kulepaskan sabuk pengamanku, kemudian
bergegas keluar dari mobil. Ia menungguku di trotoar.
Ia berbicara mendahuluiku.
“Pergilah, hentikan Jessica dan Angela sebelum aku harus mencari mereka juga.
Kurasa aku takkan bisa menahan diriku kalau bertemu ‘teman-temanmu’ yang tadi
itu lagi.”
Aku bergidik mendengar ancaman
dalam suaranya.
“Jess! Angela!” seruku
mengejar mereka, melambai ketika mereka menoleh. Mereka bergegas menghampiriku.
Kelegaan di wajah mereka langsung berubah jadi terkejut melihat siapa yang
berdiri di sampingku. Mereka ragu, enggan mendekat.
“Kau dari mana saja?” suara
Jessica terdengar curiga.
“Aku tersesat,” aku mengaku
malu-malu. “Kemudian aku berpapasan dengan Edward,” kataku sambil menunjuknya.
“Boleh aku bergabung dengan
kalian?” ia bertanya, suaranya lembut dan menggoda. Dari ekspresi mereka yang
terkejut, aku tahu Edward belum pernah bicara seperti itu pada mereka.
“Mmm... tentu saja,” dengus
Jessica. “Mmm, sebenarnya, Bella, kami sudah makan ketika menunggumu
tadi—maaf,” aku Angela.
“Tidak apa-apa—lagi pula aku
tidak lapar.” Aku mengangkat bahu.
“Kurasa kau harus makan
sesuatu.” Suara Edward pelan, tapi bernada memerintah. Ia menatap Jessica dan
berkata sedikit lebih keras, “Apakah kau keberatan kalau aku saja yang
mengantar Bella pulang malam ini? Dengan begitu kalian tak perlu menunggu dia
makan.”
“Eehh, tidak masalah,
kurasa...” Jessica menggigit bibir, berusaha menebak lewat ekspresiku apakah
aku menginginkannya. Aku mengedip padanya. Tak ada yang kuinginkan selain bisa
berduaan dengan penyelamatku. Ada begitu banyak pertanyaan yang tak bisa
kulontarkan hingga kami tinggal berdua saja.
“Oke.” Angela mendahului
Jessica. “Sampai besok, Bella... Edward.” Ia meraih tangan Jessica dan
menariknya ke mobil, yang samar-samar
kulihat diparkir di
seberang First Street.
Ketika akan
masuk ke
mobil, Jess berbalik dan melambai, wajahnya penasaran,
Aku balas melambai, menunggu
mereka menjauh sebelum berbalik menghadap Edward.
“Sejujurnya, aku tidak lapar,”
aku berkeras, mengamati wajahnya. Ekspresinya tak bisa ditebak.
“Kalau begitu, hibur aku.”
Ia berjalan ke pintu restoran
dan membukakannya untukku dengan raut keras kepala. Jelas sekali ia tak ingin didebat.
Aku berjalan melewatinya ke dalam restoran sambil menghela napas tanda
menyerah.
Restorannya tidak ramai—saat
ini Port Angeles sedang sepi pengunjung. Kami disambut seorang cewek, dan aku
memahai sorot matanya ketika ia menilai Edward. Ia menyambutnya dengan
kehangatan yang lebih daripada seharusnya. Aku terkejut menyadari betapa itu
menggangguku. Ia lebih tinggi beberapa senti dariku, dan rambutnya dicat
pirang.
“Untuk dua orang?” suara
Edward terdengar menawan, entah disengaja atau tidak. Kulihat mata si cewek
berkilat ke arahku lalu berpaling lagi, puas dengan rupaku yang sangat biasa
dan kenyataan bahwa Edward berdiri tidak terlalu dekat denganku.
Aku hendak duduk, tapi Edward
menggeleng.
“Barangkali ada tempat yang
lebih pribadi?” desaknya lembut. Aku tak yakin, tapi sepertinya Edward
menyelipkan tip ke tangan si cewek. Aku tak pernah melihat ada orang yang
menolah tawaran meja kecuali di film-film lama.
“Tentu.” Ia juga tampak sama
terkejutnya dengan aku. Ia berbalik dan memandu kami ke deretan pojok, semua
kursinya kosong. “Bagaimana dengan yang ini?”
“Sempurna.” Edward memamerkan
senyumnya yang memukau, membuat cewek itu sesaat terpana.
“Mmm”—ia menggeleng, matanya
mengerjap—“pelayan kalian akan segera datang.” Ia berlalu dengan langkah
sempoyongan.
“Kau seharusnya tidak
melakukan itu padang orang-orang,” aku mengkritiknya. “Tidak adil.”
“Melakukan apa?”
“Membuat mereka terpesona
seperti itu—barangkali sekarang ia sedang sesak napas di dapur.”
Ia tampak bingung.
“Oh, ayolah,” aku berkata
ragu. “Kau pasti tahu bagaimana reaksi orang terhadapmu.”
Ia memiringkan kepala, sorot
matanya perasaran. “Aku membuat orang terpesona?”
“Kau tidak sadar? Kaupikir
orang bisa jadi seperti itu dengan mudahnya?”
Ia mengabaikan pertanyaanku.
“Apakah aku membuatmu terpesona?” “Sering kali,” aku mengakuinya.
Pelayan datang, wajahnya penuh
harap. Cewek tadi pasti sudah bercerita di belakang, dan cewek yang baru datang
ini tidak tampak kecewa. Ia menyelipkan helaian rambut hitam pendeknya di
belakang telinga dan tersenyum dibuat-buat.
“Hai. Namaku Amber, dan aku
akan menjadi pelayan kalian malam ini. Kalian mau minum apa?” Tentu sja aku
menyadari ia hanya bertanya pada Edward.
Edward memandangku.
“Aku mau Coke.” Jawabanku
lebih terdengar seperti bertanya. “Dua,” kata Edward.
“Aku akan segera kembali
dengan pesanan kalian,” ia meyakinkan Edward sambil lagi-lagi tersenyum
dibuat-buat. Tapi Edward tidak memandangnya. Ia sedang memperhatikanku.
“Kenapa?” tanyaku ketika si
pelayan berlalu.
Pandangannya terpaku di
wajahku. “Bagaimana perasaanmu?” “Aku baik-baik saja,” jawabku, terkejut karena
kusungguhan
hatinya.
“Kau tidak merasa pusing,
sakit, kedinginan...?” “Apakah seharusnya aku merasa seperti itu?”
Ia tergelak mendengar
kebingunganku.
“Well, sebenarnya aku
menunggumu syok.” Senyum lebar mengembang di wajahnya.
“Kupikir itu tidak bakal
terjadi,” kataku setelah bisa bernapas lagi. “Aku selalu pandai menahan diri
bila terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.”
“Sama, aku akan merasa lebih
baik kalau kau makan sesuatu atau minum yang manis-manis.”
Pucuk dicinta ulam tiba, si
pelayan muncul membawa minuman kami dan sekeranjang roti Prancis. Ia berdiri
memunggungiku sambil menaruh barang-barang bawaannya di meja. “Kau sudah mau
memesan?” tanyanya pada Edward.
“Bella?” tanya Edward. Si
pelayan dengan enggan berbalik menghadapku.
Aku memilih makanan pertama
yang kulihat di menu. “Mmm.. aku mau mushroom ravioli.”
“Kau?” ia berbalik lagi sambil
tersenyum. “Aku tidak pesan,” kata Edward. Tentu saja.
“Panggil aku kalau kau berubah
pikiran.” Senyum malu-malu masih mengembang di bibirnya, tapi Edward tidak
melihatnya dan si pelayan pergi meninggalkan kami dengan perasaan kecewa.
“Minum,” ia menyuruhku.
Kusesap sodanya dengan patuh,
lalu minum lagi lebih banyak. Aku terkejut menyadari betapa hausnya aku. Aku
baru sadar telah menegak habis minumanku ketika ia mendorong gelasnya kearahku.
“Terima kasih,” gumamku, masih
haus. Rasa sejuk soda yang dingin itu masih terasa di dadaku, membuatku
gemetaran.
“Kau kedinginan?”
“Tidak, hanya Coke yang
kuminum,” aku menjelaskan, kembali gemetaran.
“Kau tidak punya jaket?”
suaranya tidak puas dengan penjelasanku.
“Punya.” Aku memandang kursi
kosong di sebelahku. “Oh—ketinggalan di mobil Jessica,” aku tersadar.
Edward menanggalkan jaketnya.
Tiba-tiba aku menyadari tak sekalipun aku pernah memperhatikan pakaian yang
dikenakannya—bukan hanya malam ini, tapi sejak awal. Sepertinya aku tak bisa
berpaling dari wajahnya. Namun sekarang aku melihatnya, benar-benar memperhatikannya.
Ia menanggalkan jaket kulit warna krem muda; di baluk jaketnya ia mengenakan
sweter turtleneck kuning gading. Sweter itu amat pas di tubuhnya, memperjelas
bentuk dadanya yang kekar.
Ia memberikan jaketnya
kepadaku, mengalihkan kerlingan mataku.
“Terima kasih,” kataku lagi,
sambil mengenakan jaketnya. Rasanya sejuk—seperti ketika pertama kali memakai
jaketku di pagi hari. Aku kembali gemetaran. Aromanya menyenangkan. Aku
menghirupnya, mencoba mengenali aroma itu. Tidak seperti aroma kolonye. Lengannya
kelewat panjang; aku harus mendorongnya naik supaya tanganku kelihatan.
“Warna biru itu kelihatan
indah di kulitmu,” katanya memperhatikan. Aku terkejut; lalu menunduk, wajahku
memerah tentu saja.
Ia menyorongkan keranjang
rotinya ke arahku. “Sungguh, aku tidak merasa syok,” protesku.
“Kau seharusnya syok—seperti
pada umumnya orang normal. Kau bahkan tidak terlihat gemetaran.” Ia tampak
khawatir. Ia menatap ke dalam mataku, dan aku melihat betapa matanya terang,
lebih terang daripada yang pernah kulihat, cokelat keemasan.
“Aku merasa sangat aman
denganmu,” ujarku, begitu terkesima hingga mengatakan yang sebenarnya lagi.
Perkataanku membuatnya tidak
nyaman; alisnya yang berwarna pualam mengerut. Ia menggeleng, wajahnya
cemberut.
“Ini lebih rumit daripada yang
kurencanakan,” gumamnya pada diri sendiri.
Aku mengambil roti dan
menggigit ujungnya, sambil menebak ekspresinya. Aku bertanya-tanya kapan saat
yang tepat untuk mulai bertanya padanya.
“Biasanya suasana hatimu lebih
baik bila warna matamu terang,” ujarku, mencoba mengalihkannya dari pikiran apa
pun yang membuatnya cemberut dan murung.
Ia menatapku, terkesima.
“Apa?” “Kau selalu lebih pemarah ketika matamu berwarna hitam—tadi kupikir
matamu berubah kelam,” lanjutku. “Aku punya teori tentang itu.”
cuek. Matanya menyipit. “Teori
lagi?”
“Mm-hm.”Aku mengunyah sepotong
kecil roti, berusaha terlihat
“Kuharap kau
lebih kreatif kali
ini... atau kau masih mengutip dari buku-buku komik?” Senyumnya
mengejek, namun tatapannya masih tegang.
“Well, tidak, aku tidak
mendapatkannya dari komik, tapi aku juga tidak menduga-duganya sendiri,” aku
mengakui.
“Dan?” sambarnya.
Tapi kemudian si pelayan
muncul membawa pesananku. Aku menyadari tanpa sadar kami telah mencondongkan
tubuh ke tengah, karena kami langsung duduk tegak lagi ketika si pelayan
datang. Ia menaruh makanan itu di depanku—sepertinya lumayan enak—dan langsung
berbalik menghadap Edward.
“Apakah kau berubah pikiran?”
tanyanya. “Kau tak ingin kubawakan sesuatu?” Aku mungkin saja membayangkan
makna ambigu dalam kata-katanya.
“Tidak, terima kasih, tapi kau
boleh membawakan soda lagi.” Dengan tangan pucatnya yang jenjang ia menunjuk
gelasku yang kosong.
“Tentu.” Ia menyingkirkan
gelas-gelas kosong dari meja dan berlalu.
“Apa katamu tadi?” tanya
Edward.
“Aku akan menceritakannya di
mobil. Kalau...” aku berhenti. “Ada syaratnya?” Ia mengangkat satu alisnya,
suaranya
terdengar waswas.
“Tentu saja aku punya beberapa
pertanyaan.” “Tidak masalah.” Si pelayan kembali dengan dua gelas Coke. Kali
ini ia meletakkannya tanpa bicara, lalu pergi.
Aku menyesapnya.
“Well, ayo mulai,” ia
mendesakku, suaranya masih tegang.
Aku memulai dengan yang paling
sederhana. Atau begitulah menurutku. “Kenapa kau berada di Port Angeles?”
Ia menunduk, perlahan-lahan
melipat tangannya yang besar di meja. Meski menunduk, bisa kulihat matanya
berkilat menatapku dari balik bulu matanya, menandakan ia mengejekku.
“Berikutnya.”
“Tapi itu yang paling mudah,”
ujarku keberatan. “Berikutnya,” ia mengulangi perkataannya.
Aku menunduk, kesal. Kuambil
garpu dan dengan hati-hati
membelah ravioli-nya.
Pelan-pelan aku memasukkannya ke mulut, masih menunduk, mengunyah sambil
berpikir. Jamurnya enak. Aku menelan dan menyesap Coke lagi sebelum mendongak.
“Oke, kalau begitu.” Aku memandangnya
marah, dan perlahan melanjutkan pertanyaan. “Katakan saja, secara hipotesis
tentu saja, seseorang... bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain,
membaca pikiran, kau
tahu—dengan beberapa pengecualian.”
“Hanya satu pengecualian,” ia
meralatku, “secara hipotetis.” “Baik kalau begitu, dengan satu pengecualian.”
Aku senang ia
berusaha meladeniku, tapi aku
berusaha terlihat kasual. “Bagaimana
cara kerjanya? Apa saja
batasan-batasannya? Bagaimana bisa... seseorang... menemukan orang lain pada
saat yang tepat? Bgaimana kau bisa tahu dia sedang dalam kesulitan?” Aku
bertanya-tanya apakah pertanyaanku yang kusut ini bisa dimengerti.
“Secara hipotetis?” tanyanya.
“Tentu saja.”
“Well, kalau... seseorang
itu...”
“Sebut saja dia Joe,” aku
mengusulkan. Ia tersenyum ironis. “Ya sudah. Kalau Joe memperhatikan, pemilihan
waktunya tak perlu setepat itu.” Ia menggeleng, memutar bola matanya. “Hanya
kau yang bisa mendapat masalah di kota sekecil ini. Kau bisa membuat angkat
tindak kriminal meningkat untuk kurun waktu satu dekade, kau tahu itu.”
“Kita sedang membicarakan
kasus secara hipotetis,” aku mengingatkannya dengan nada dingin.
Ia tertawa, matanya hangat.
“Betul juga,” sahutnya
menyetujui. “Bisakah kita memanggilmu Jane?”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
tanyaku, tak mampu lagi membendung rasa penasaranku. Aku menyadari telah
mencondongkan tubuhku ke arahnya lagi.
Sepertinya ia sedang bergidik,
disiksa dilema yang berkecamuk dalam batinnya. Kami bertatapan, dan kurasa ia
sedang membuat keputusan, mengatakan yang sejujurnya atau tidak.
“Kau tahu, kau bisa
mempercayaiku,” gumamku. Tanpa berpikir aku mengulurkan tangan dan menyentuh
tangannya yang terlipat, tapi ia langsung menariknya, begitu juga aku.
“Aku tak tahu apakah aku masih
punya pilihan.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Aku salah—kau lebih teliti
daripada yang kukira.”
“Kupikir kau selalu benar.”
“Biasanya begitu.” Ia kembali
menggeleng. “Aku juga salah menilaimu mengenai suatu hal. Kau bukan daya tarik
terhadap kecelakaan—penggolongan itu tidak cukup luas. Kau daya tarik terhadap
masalah. Kalau ada sesuatu yang berbahaya dalam radius sepuluh mil, masalah itu
selalu bisa menemukanmu.”
“Dan kau menempatkan dirimu
sendiri dalam kategori itu?” tebakku.
Raut wajahnye berubah dingin,
tanpa ekspresi. “Tak salah lagi.” Kuulurkan tanganku sekali lagi—mengabaikan
ketika ia mencoba menariknya—dan dengan hati-hati menyentuh punggung tangannya.
Kulitnya dingin dan keras, seperti batu.
“Terima kasih.” Suaraku
benar-benar tulus. “Sudah dua kali kau menyelamatkanku.”
Ketegangan di wajahnya
mencair. “Jangan ada yang ketiga kali, oke?”
Aku cemberut, tapi mengangguk.
Ia menarik tangannya dan menaruhnya di bawah meja. Tapi ia mencondongkan
tubuhnya ke arahku.
“Aku membuntutimu ke Port
Angeles,” akunya terburu-buru. “Aku tak pernah menjaga seseorang sebelumnya,
dan ini lebih merepotkan dari yang kusangka. Tapi barangkali itu hanya karena
itu adalah kau. Orang normal sepertinya bisa melewati satu hari tanpa mengalami
begitu banyak bencana.” Ia berhenti. Aku bertanya-tanya apakah seharusnya aku
merasa terganggu mengetahui ia membuntutiku; tapi sebaliknya aku malah senang.
Ia menatapku,
barangkali bertanya-tanya
mengapa aku tiba-tiba tersenyum.
“Pernahkah kau berpikir
mungkin takdir telah memilihku sejak pertama, pada insiden van itu, dan kau
malah mencampurinya?” tanyaku berspekulasi, mengalihkan kecurigaanku.
“Itu bukan yang pertama,”
katanya, suaranya sulit didengar. Aku
menatapnya terpana, tapi ia menundukkan kepala. “Takdir pertama kali memilihmu
ketika aku bertemu denganmu.”
Aku merasakan sekelumi
perasaan ngeri mendengar kata-katanya, ditambah ingatan akan tatapan kelam
matanya yang sekonyong-konyong hari itu... tapi perasaan aman yang sangat hebat
berkat kehadirannya mengenyahkan semuanya. Ketika ia mendongak untuk menatap
mataku, tak ada secercah pun rasa takut di dalamnya.
“Kau ingat?” tanyanya,
wajahnya yang tampan berubah serius. “Ya,” sahutku tenang.
“Tapi toh sekarang kau duduk
disini.” Ada secercah keraguan dalam suaranya, salah satu alisnya terangkat.
“Ya, disinilah aku duduk... berkat dirimu.” Aku terdiam sebentar. “Karena entah bagaimana kau bisa
tahu bagaimana menemukanku hari ini?” semburku.
Ia mengatupkan bibirnya
erat-erat, matanya yang menyipit menatapku, kembali menimbang-nimbang. Ia
memandangi piringku yang masih penuh, lalu menatapku lagi.
“Kau makan, aku bicara,” usulnya.
Aku cepat-cepat menyendok
ravioli-ku lagi dan mengunyahnya.
“Mengikuti jejakmu lebih sulit
daripada seharusnya. Biasanya, setelah pernah mendengar pikiran seseorang, aku
bisa dengan mudah menemukannya.” Ia menatapku waswas, dan aku menyadari tubuhku mematung. Kupaksa menelan makananku,
lalu menusuk ravioli-nya lagi dan menyuapnya.
“Secara tidak hati-hati aku
mengikuti jejak Jessica—seperti kataku, hanya kau yang bisa mendapat masalah di
Port Angeles—dan awalnya aku tidak memperhatikan ketika kau pergi sendirian.
Lalu, ketika aku menyadari kau tidak bersamanya lagi, aku pergi mencarimua di
toko buku yang kulihat dalam pikirannya. Aku tahu kau tidak masuk kesana, dan
kau pergi ke arah selatan... dan aku tahu toh kau harus kembali. Jadi, aku
hanya menunggumu, sambil secara acak membaca pikiran orang-orang di
jalan—melihat apakah ada yang memperhatikanmu sehingga aku tahu dimana kau
berada. Aku tak punya alasan untuk khawatir... tapi anehnya aku toh khawatir
juga.” Ia melamun, tatapannya menembusku, melihat hal-hal yang tak bisa
kubayangkan.
“Aku mulai bermobil
berputar-putar, sambil masih... mendengarkan. Matahari akhirnya terbenam, dan
aku nyaris keluar dan mengikutimu dengan berjalan kaki. Dan lalu—” Ia berhenti,
menggertakkan giginya akibat amarah yang sekonyong-konyong muncul. Ia mencoba
menenangkan dirinya sendiri.
“Lalu apa?” bisikku.
Pandangannya tetap menerawang.
“Aku mendengar apa yang mereka
pikirkan,” geramnya, bibir atasnya menyelip masuk diantara giginya. “Aku
melihat wajahmu dalam pikirannya.” Tiba-tiba Edward mencondongkan tubuh, satu
siku bertengger di meja, tangan menutupi mata. Gerakan itu begitu cepat
sehingga membuatku bingung.
“Sulit... sekali—kau tak bisa
membayangkan betapa sulitnya—hanya pergi menyelamatkanmu, dan membiarkan
mereka.. tetap hidup.” Suaranya tidak jelas, tertutup lengannya.
“Aku bisa saja membiarkanmu
pergi dengan Jessica dan Angela, tapi aku takut kalau kau meninggalkanku
sendirian, aku akan pergi mencari mereka,” ia mengakui dalam bisikan.
Aku duduk diam, kepalaku
pening, pikiranku campur aduk. Tanganku terlipat di pangkuan, dan aku bersadar
lemah di kursi. Tangannya masih menutupi wajah, dan ia masih tak bergerak,
bagai patung batu.
Akhirnya ia mendongak, matanya
mencari-cari mataku, penuh dengan pertanyaannya sendiri.
“Kau sudah siap pulang?”
tanyanya.
“Ya, aku siap,” aku
mengiyakan, amat sangat bersyukur dapat pulang bersamannya. Aku belum siap
berpisah dengannya.
Pelayan muncul seolah ia telah
dipanggil. Atau memperhatikan. “Jadi bagaimana?” ia bertanya kepada Edward.
“Kami mau bayar, terima
kasih.” Suaranya tenang, agak serak, masih tegang oleh obrolan tadi. Sepertinya
ini membuat si pelayan bingung. Edward mendongak, menunggu.
“T-tentu,” ujar pelayan itu
terbata-bata. “Ini dia.” Ia mengeluarkan folder kulit kecil dari saku depan
celemek hitamnya dan menyerahkannya pada Edward.
Ternyata Edward sudah
menyiapkan uangnya. Ia menyelipkannya ke folder itu dan menyerahkannya lagi
pada si pelayan.
“Simpan saja kembaliannya.”
Edward tersenyum, lalu bangkit.
Aku ikut berdiri dengan susah
payah. Ia tersenyum menggoda lagi pada Edward. “Semoga malammu menyenangkan.”
Edward tidak berpaling dariku
ketika mengucapkan terima kasih padanya. Aku menyembunyikan senyumku.
Ia berjalan dekat di sisiku
menuju pintu, masih berhati-hati agar tidak menyentuhku. Aku teringat ucapan
Jessica tentang hubungannya dengan Mike, bagaimana mereka nyaris sampai ke
tahap ciuman. Aku menghela napas. Edward sepertinya mendengar, dan ia menunduk
penasaran. Aku memandang trotoar, bersyukur karena ia sepertinya tidak bisa
mengetahui apa yang kupikirkan.
Ia membukakan pintu untukku
dan menunggu samapai aku masuk, lalu menutupnya dengan lembut. Aku
memperhatikannya memutar ke depan, masih mengagumi keanggunannya. Barangkali
seharusnya aku sudah terbiasa dengan itu sekarang—tapi nyatanya belum.
Firasatku mengatakan tak seorang pun akan pernah terbiasa dengan Edward.
Begitu masuk ke mobil ia menyalakan
mesin dan pemanas hingga maksimal. Udara dingin sekali, dan kurasa cuaca
bagusnya sudah berakhir. Meski begitu aku merasa hangat dalam balutan jaketnya,
menghirup aromanya ketika kupikir ia sedang tidak melihat.
Edward mengeluarkan mobilnya
dari parkiran, sepertinya tanpa melirik, berputar menuju jalan tol.
“Sekarang,” katanya,”
giliranmu.