
Bab 7 Mimpi buruk
Aku memberitahu Charlie PR-ku
banyak, dan tidak ingin makan apa-apa. Ada pertandingan basket yang amat
dinantikannya, dan tentu saja aku berlagak tidak tahu apa istimewanya
pertandingan itu. Karenanya, ia tidak mencurigai ekspresi maupun nada suaraku.
Begitu sampai di kamar, aku
mengunci pintu. Aku mencari-cari di mejaku sampai menemukan headphone tuakum
dan memasangkannya ke CD player kecilku. Kuambil CD hadiah Natal dari Phil.
Isinya lagulagu dari salah satu band favoritnya, tapi bas dan suara teriakannya
kelewat berlebihan. Aku memasukkan CD itu, menekan tombol Play, dan membesarkan
volumenya sampai telingaku sakit. Aku memejamkan mata, tapi cahaya lampu masih
menyilaukan, jadi kututup setengah wajahku dengan bantal.
Aku mendengarkan musiknya
dengan saksama, mencoba memahami liriknya, menguraikan pola dentuman drumnya
yang rumit. Setelah 3 kali memutar CD itu, setidaknya aku sudah hafal
chorus-nya. Begitu aku bisa menikmati suara-suara yang ingar-bingar itu, aku
terkejut menyadari ternyata aku menyukai band ini.
Berhasil. Dentuman bising itu
membuatku tak mungkin berpikir. CD-nya kuputar berulang-ulang, sampai aku bisa
ikut menyanyikannya, hingga, akhirnya, aku tertidur.
Aku membuka mata dan
menyaksikan tempat yang tak asing lagi. Setengah menyadari diriku sedang
bermimpi, aku mengenali cahaya kehijauan hutan. Aku bisa mendengar suara ombak
menghantam karang tak jauh dari tempatku berada. Aku mencoba mengikuti suara
itu, tapi Jacob Black ada disana, menarik-narik tanganku, membawaku kembali ke
bagian hutan yang paling kelam.
“Jacob, ada apa?” aku
bertanya. Wajahnya ketakutan dan ia menarikku sekuat tenaga sementara aku
menolak; tak ingin pergi ke tengah kegelapan. “Lari, Bella, kau harus lari!”
bisiknya ketakutan.
“Lewat sini, Bella!” Aku
mengenali suara Mike memanggil-manggil dari antara pepohonan yang gelap, tapi
aku tak bisa melihatnya.
“Kenapa?” tanyaku, masih
berusaha melepaskan diri dari cengkraman Jacob, kini putus asa menginginkan
matahari.
Tapi Jacob melepaskan tanganku
dan mendengking. Sekonyong-konyong ia jatuh ke lantai hutan yang gelap, sekujur
tubuhnya gemetaran. Ia menggeliat-geliat di tanah sementara aku menyaksikannya
dengan ngeri.
“Jacob!” jeritku. Tapi ia
sudah lenyap. Dari tempatnya tadi berada muncul serigala besar berwarna merah
kecoklatan dengan sepasang mata hitam. Serigala itu memalingkan wajah ke
pantai, bulu-bulu tengkuknya meremang. Terdengar geraman pelan di antara
taring-taringnya yang keluar.
“Lari, Bella!” seru Mike dari
belakang.Tapi aku tidak berpaling.
Aku sedang memandang cahaya
yang menyinariku dari pantai.
Lalu Edward muncul dari balik
pepohonan, kulitnya bercahaya samar, matanya gelap dan berbahaya. Ia
mengulurkan satu tangan dan menyuruhku datang padanya. Serigala itu
mengeram-geram di kakiku.
Aku maju selangkah,
menghampiri Edward. Ia tersenyum, dan giginya tajam, runcing.
“Percayalah padaku,” ujarnya,
suaranya mendengkur. Aku melangkah sekali lagi.
Serigala itu melompat ke
antara diriku dan si vampir, taringnya
siap menerkam leher Edward.
“Tidak!” teriakku, langsung
bangkit dari tempat tidur. Gerakanku yang
tiba-tiba membuat headphone-ku
terlepas dari
CD player yang tergeletak di
meja samping tempat tidur, kemudian
jatuh di lantai kayu. Lampu
kamar masih menyala, aku duduk di tempat tidur masih berpakaian lengkap dan
mengenakan sepatu. Aku memandang jam di lemari pakaian, bingung. Sudah pukul
05.30.
Aku mengerang, menjatuhkan
diri lagi ke tempat tidur dengan wajah menelungkup sambil melepaskan sepatu
bot. Aku tak bisa tidur lagi. Aku menggulingkan tubuh dan berbaring terlentang,
membuka kancing jinsku, melepaskannya dengan susah payah sambil berusaha agar
tubuhku tetap lurus. Bisa kurasakan rambutku yang diikat menusuk-nusuk tengkuk.
Aku berbaring menyamping dan melepaskan ikatan rambutku, lalu cepat-cepat
menyisirnya dengan jemari. Aku menutup mataku lagi dengan bantal.
Percuma, tentu saja. Alam
bawah sadarku telah menemukan bayangan yang tepat yang dengan putus asa kucoba
hindari. Aku harus menghadapinya sekarang.
Aku duduk, kepalaku
berputar-putar sebentar ketika darah mengalir turun. Lebih baik mandi dulu,
batinku, senang menundanya selama mungkin. Kuambil tas perlengkapan mandiku.
Acara mandinya tidak
berlangsung selama yang kuharapkan. Bahkan meski sudah berlama-lama mengeringkan
rambut, tak ada lagi yang bisa kulakukan di kamar mandi. Hanya dengan
berbungkus handuk, aku pergi ke kamar. Aku tidak tahu apakah Charlie masih
tidur, atau sudah pergi. Kuintip dari jendela, mobil patrolinya sudah tidak
ada. Ia pergi memancing lagi.
Perlahan-lahan aku berpakaian,
mengenakan sweaterku yang paling nyaman, lalu membereskan tempat tidur—sesuatu
yang tak pernah kulakukan. Aku tak bisa menundanya lebih lama lagi. Jadi aku
menghampiri meja belajar dan menyalakan komputer tuaku.
Aku benci menggunakan internet
disini. Modemku sudah ketinggalan jaman, layanan servis gratisnya buruk; untuk
men-dial-up saja butuh waktu lama hingga kuputuskan membuat semangkuk sereal
sambil menunggu.
Aku makan pelan-pelan,
mengunyah setiap suapan dengan sempurna. Setelah selesai kucuci mangkuk dan
sendoknya, lalu menyimpannya. Kakiku kram ketika menaiki tangga. Kuambil CD
player-ku dulu, memungutnya dari lantai dan meletakkannya tepat di
tengah-tengah meja. Kulepaskan headphone-nya, dan menyimpannya di laci lemari.
Lalu aku menyetel CD yang sama, langsung ke bagian yang berisik.
Sambil menghela napas aku
berbalik menghadap komputer. Layarnya sudah dipenuhi iklan pop-up. Aku duduk di
kursi lipatku yang keras dan menutup jendela-jendela kecil itu. Akhirnya aku
bisa mengakses search engine favoritku. Kututup beberapa iklan pop-up yang
masih bermunculan, lalu mengetik satu kata.
Vampir.
Tentu saja butuh waktu yang
sangat lama. Ketika hasil pencariannya muncul, ada banyak pilihan yang harus
dibaca—semuanya mulai dari film dan acara televisi hingga permainan sandiwara,
grup metal underground, dan perusahaan kosmetik gotik.
Lalu aku menemukan situs yang
tepat—Vampir A-Z. Aku tak sabar menunggu situs itu hingga terdownload sempurna,
sambil cepat-cepat menutup iklan-iklan yang bermunculan di layar. Akhirnya
selesai— latar belakang putih sederhana dengan tulisan hitam, kelihatannya
seperti situs pendidikan. Dua kutipan di halaman depan situs itu menyambutku.
Di seantero dunia hantu dan
setan yang luas dan gelap, tak ada figur yang begitu mengerikan, tak ada figur
yang begitu dibenci dan menyeramkan, namun memiliki daya tarik yang begitu
mencengkram, seperti sang vampir, yang bukan hantu ataupun setan, namun
memiliki kekuatan gelap dan kualitas yang mengerikan serta misterius.—Pdr.
Montague Summers
Jika di dunia ini ada
keterangan yang benar-benar terbukti, keterangan itu adalah mengenai vampir.
Semuanya lengkap : laporan resmi, surat tersumpah dari orang-orang terkenal,
ahli bedah, para imam, hakim; pembuktian hukum adalah yang paling lengkap. Dan
dengan semua itu, siapakah di luar sana yang percaya vampir?—Rosseau
Selain itu situs tersebut
berisi daftar seluruh mitos vampir yang ada di seluruh dunia, tersusun secara
alfabetik. Pertama-tama aku memilih Danag, vampir Filipina yang menanam
taro—sejenis tumbuhan berbuah kentang—di kepulauan itu dahulu kala. Menurut
mitos itu, Danag bekerja sama dengan manusia selama bertahun-tahun, tapi pada
suatu hari kerja sama itu berakhir ketika jari seorang wanita terluka dan satu
Danag menghisap habis darah yang mengalir dari lukanya.
Aku membaca uraiannya dengan
saksama, mencari apa saja yang tidak asing bagiku, apalagi masuk akal.
Sepertinya seluruh mitos tentang vampir ini berpusat pada wanita cantik sebagai
yang jahat dan anakanak sebagai korban; mereka juga sepertinya merupakan
gagasan yang diciptakan untuk menjelaskan mortalitas tingkat tinggi kepada
anak-anak, dan memberi alasan pada para pria untuk berselingkuh. Kebanyakan
cerita itu melibatkan roh-roh tanpa raga dan peringatan tentang pemakaman yang
tidak layak. Tak banyak yang kedengarannya seperti film-film yang kutonton, dan
hanya sedikit sekali, seperti Estrie dari Yahudi dan Upier dari Polandia, yang
bahkan terobsesi soal meminum darah.
Hanya tiga catatan yang menarik
perhatianku : Varacolaci dari Rumania, sosok yang tak bisa mati sangat kuat
yang bisa tampil sebagai manusia rupawan berkulit pucat, Nelapsi dari Slovakua,
makhluk ekstarkuat dan cepat hingga bisa membantai seluruh desa hanya sejam
setelah tengah malam, dan satunya lagi Stegoni benefici.
Mengenai yang terakhir ini,
hanya ada satu kalimat pendek.
Stregoci benefici : vampir
Italia, konon memihak kebaikan, dan musuh abadi semua vampir jahat.
Rasanya lega ada satu catatan
kecil, satu-satunya mitos di antara ratusan lainnya yang mengungkapan
keberadaan vampir yang baik.
Meski begitu, secara
keseluruhan hanya sedikit yang mirip dengan cerita Jacob atau pengamatanku
sendiri. Aku telah membuat katalog kecil ketika membaca dan membandingkannya
dengan masing-masing mitos. Kecepatan, kekuatan, keindahan, kulit pucat, warna
mata yang berganti-ganti; lalu kriteria yang diberikan Jacob : peminum darah,
musuh werewolf, berkulit dingin, dan abadi. Sedikit sekali mitos yang cocok
bahkan dengan salah satu kriteria.
Lalu masalah lainnya, satu
yang kuingat dari sedikit film horor yang pernah kutonton dan didukung apa yang
baru saja kubaca—vampir tidak bisa keluar di siang hari, matahari menjadikan
mereka abu. Mereka tidur di dalam peti seharian, dan hanya keluar di malam hari.
Merasa jengkel, kumatikan
komputer langsung dari tombol utama, tanpa melalui tahapan semestinya. Di balik
kekesalanku, aku merasa malu. Semua ini benar-benar konyol. Aku duduk di kamar,
mencari keterangan tentang vampir. Kenapa sih aku ini? Kuputuskan sebagian
besar kesalahannya ada pada Forks— dan seluruh Semenanjung Olympic yang selalu
hujan.
Aku harus keluar dari rumah,
tapi semua tempat yang ingin kukunjungi berjarak tempuh tiga hari perjalanan.
Meski begitu aku tetap mengenakan sepatu botku, tak tahu akan ke mana, lalu
turun. Kukenakan mantel hujanku tanpa memeriksan cuaca lebih dulu dan
menghambur ke luar.
Langit mendung, tapi belum
hujan. Kutinggalkan trukku dan berjalan kaki ke timur, menyeberangi pekarangan
Charlie menuju hutan terlarang. Dalam waktu singkat rumah dan jalanan di
belakangku sudah tidak tampak. Satu-satunya suara yang terdengar adalah bunyi
cipratan air yang diciptakan langkah-langkah kakiku dan jeritan burung jay yang
tiba-tiba.
Ada jalan kecil yang
membimbingku melintasi hutan ini, kalau tidak, aku takkan mengambil risiko
berjalan sendirian seperti ini. Aku paling payah kalau soal arah; di lingkungan
yang lebih bersahabat saja aku bisa tersesat. Jalan setapak itu semakin
memasuki hutan, munurut dugaanku menuju ke timur. Jalan ini mengitari pepohonan
cemara, mapel, dan yew. Aku hanya tahu samar-samar nama pepohonan di sekitarku,
itu pun karena dulu Charlie pernah menunjukkan pepohonan itu dan memberitahu
namanya padaku. Banyak yang tidak kuketahui, dan yang lainnya aku tidak yakin
karena tertutup pohon-pohon parasit hijau.
Aku terus mengikuti jalan
setapak itu sejauh kemarahanku kepada diri sendiri mendorongku maju. Ketika
amarahku memudar, aku memperlambat langkah. Beberapa tetes air jatuh dari
dedaunan di atasku, tapi aku tak yakin apakah hujan mulai turun, atau itu hanya
tetesan hujan kemarin yang tersisa di ranting-ranting pohon, menjulang tinggi
di atasku, perlahan-lahan menetes jatuh ke pangkuan bumi. Pohon yang baru
tumbang itu—aku tahu masih baru karena tidak seluruhnya tertutup
lumut—bersandar di batang pohon lainnya, membentuk kursi kecil dengan pelindung
di atasnya, jaraknya hanya beberapa meter dari jalan setapak. Aku melangkahi
belukar dan duduk hati-hati, menjadikan jaketku alas antara kayu yang lembab dengan
pakaianku, menyandarkan kepala ke pohon satunya.
Ini tempat yang buruk untuk
didatangi. Seharusnya aku tahu, tapi mau kemana lagi? Hutan ini berwarna hijau
pekat dan sangat mirip dengan yang ada di mimpiku semalam, membuatku gelisah.
Kini setelah decak langkah kakiku tak terdengar lagi, keheningan serasa
mencekam. Burung-burung membisu, suara tetesan air semakin sering terdengar,
jadi di atas sana pasti sudah turun hujan. Kini setelah aku duduk, belukar itu
lebih tinggi dari kepalaku, dan aku tahu seseorang bisa saja berjalan di depan
jalan setapak yang hanya satu meter jauhnya, tanpa melihatku.
Di sini, diantara pepohonan,
lebih mudah untuk mempercayai kegilaan yang membuatku resah di rumah tadi. Tak
ada yang berubah di hutan ini selama ribuan tahun, dan semua mitos serta
legenda dari tempat berbeda-beda itu sepertinya lebih mungkin di hutan hijau
berkabut ini, daripada di kamar tidurku.
Kupaksa diriku berkonsentrasi
pada dua pertanyaan paling penting yang harus kujawab, tapi aku melakukannya
dengan sangat enggan.
Pertama, aku harus memutuskan
apakah perkataan Jacob tentang keluarga Cullen benar adanya.
Reaksi yang langsung muncul
adakah menentangnya. Rasanya konyol dan tidak wajar mempercayai kegilaan itu.
Tapi lalu apa? Batinku. Tak ada penjelasan rasional mengenai bagaimana aku
masih hidup saat ini. Aku membuat daftar lagi dalam pikiranku mengenai hal-hal
yang kuamati sendiri : kecepatan dan kekuatan yang mustahil, perubahan mata
dari hitam menjadi emas dan hitam lagi, ketampanan yang tidak manusiawi, kulit
yang pucat dan dingin. Terlebih lagi—hal-hal kecil yang muncul
perlahan-lahan—bagaimana mereka tak pernah tampak makan, keanggunan mengagumkan
dalam gerak mereka. Dan caranya kadang-kadang bicara, dengan frase dan irama
tidak biasa yang lebih tepat digunakan dalam novel kuno daripada percakapan di
kelas pada abad ke-21. Ia membolos ketika kami menggolongkan darah. Ia tidak
menolak ajakan jalan-jalan ke pantai sampai ketika ia mendengar ke mana tujuan
kami. Ia sepertinya tahu apa yang dipikirkan orang-orang sekitarnya... kecuali
aku. Ia telah memberitahuku bahwa ia jahat, berbahaya...
Mungkinkan keluarga Cullen
adalah vampir?
Well, mereka memang sesuatu.
Sesuatu di luar pembenaran rasional telah terjadi di depan mataku yang tidak
percaya. Entah itu makhluk dingin versi Jacob ataukah teori superhero-ku
sendiri, Edward Cullen bukanlah... manusia. Ia lebih dari itu.
Jadi—barangkali. Inilah
jawabanku sekarang.
Lalu pertanyaan paling penting
dari semuanya. Apa yang akan kulakukan kalau dugaanku benar?
Jika Edward benar vampir—aku
nyaris tak bisa memaksa diriku memikirkan kata itu—apa yang harus kulakukan?
Melibatkan orang lain jelas tak mungkin. Aku bahkan tak mempercayai diriku
sendiri; siapapun pasti menganggapku bergurau. Sepertinya ada dua pilihan.
Pertama mengikuti nasihatnya : bersikap pintar, menghindarinya sebisa mungkin.
Membatalkan rencana kami, mengabaikannya sebisaku. Berpura-pura ada kaca tebal
tak bisa tembus di antara kami. Memintanya menjauhiku—dan kali benar-benar
serius.
Tiba-tiba aku merasa sangat
putus asa memikirkan kemungkinan tersebut. Pikiranku menolak rasa sakit itu,
dan bergegas beralih ke pilihan lain.
Aku tak bisa melakukan yang
lain. Lagipula, seandainya ia... jahat, sejauh ini ia belum melakukan sesuatu
yang bisa menyakitiku. Sebaliknya aku bisa habis digilas mobil Tyler kalau saja
ia tidak langsung bertindak cepat. Amat sangat cepat, sergahku dalam hati,
hingga itu mungkin saja murni tindakan spontan. Tapi kalau menyelamatkan nyawa
adalah tindakan spontan baginya, seberapa jahatkah ia? tukasku marah. Kepalaku
berputar dalam lingkaran jawaban yang tak berujung.
Satu hal yang aku yakin, kalau
memang yakin. Gambaran gelap Edward dalam mimpiku semalam hanyalah cerminan
ketakutan terhadap cerita Jacob, bukannya karena Edward sendiri. Tetap saja
ketika aku menjerit ketakutan karena serangan serigala itu, bukanlah rasa takut
akan serigala itu yang membuatku meneriakkan kata ‘tidak’. Itu adalah
ketakutanku bahwa ia bisa terluka—bahkan ketika ia memanggilku dengan taringnya
yang panjang dan runcing. Aku mengkhawatirkan-nya.
Dari situlah aku mendapatkan
jawabanku. Aku benar-benar tidak tahu bahwa sebelumnya juga ada pilihan. Aku
sudah terlibat terlalu jauh. Sekarang setelah tahu—seandainya aku benar-benar
tahu—tak ada yang bisa kulakukan tentang rahasiaku yang menakutkan itu. Karena
ketika aku memikirkan Edward, suaranya, matanya yang menyihir, daya tarik
kepribadiannya, aku tak menginginkan yang lain kecuali berada di dekatnya saat
ini. Meskipun... tapi aku tak bisa memikirkannya. Tidak disini, kala aku
sendirian di hutan yang mulai gelap ini. Tidak ketika hujan membuat suasana
teramat temaram bagai langit di bibir malam di bawah payung dedaunan,
berderai-derai bagaikan langkah-langkah kaki melintasi lantai bumi. Aku
bergidik ngeri dan langsung bangkit dari tempat persembunyian, waswas jalan
setapak itu telah lenyap tersapu hujan.
Tapi jalan kecil itu masih
disana, aman dan jelas, berkelok di antara labirin hijau yang menetes-netes.
Aku bergegas mengikutinya, tudung jaketku menutup rapat kepalaku. Ketika aku
nyaris berlari di antara pepohonan, aku terkejut menyadari betapa dalamnya aku
telah memasuki hutan itu. Aku mulai bertanyatanya apakah arahku benar, atau aku
malah mengikuti jalan setapak ini semakin dalam ke hutan yang rapat. Sebelum
kelewat panik, aku mulai melihat ruang terbuka di antara ranting-ranting
pepohonan yang bertautan. Lalu aku bisa mendengar suara mobil melintasi
jalanan, dan aku pun terbebas, pekarangan Charlie membentang di hadapanku,
rumahnya memberi isyarat padaku, menjanjikan kehangatan dan pakaian kering.
Hari sudah siang ketika aku
masuk ke rumah. Aku naik ke kamar dan mengganti pakaianku dengan jins dan
T-shirt, berhubung aku tidak kemana-mana. Tidak terlalu sulit untuk
berkonsentrasi mengerjakan PR-ku hari iru, makalah tentang Macbeth yang harus
dikumpulkan hari Rabu. Aku menguraikan versi singkatnya dengan senang hati,
lebih tenang daripada yang kurasakan sejak... well, Kamis sore sejujurnya.
Aku memang selalu seperti itu.
Membuat keputusan adalah sesuatu yang menyakitkan bagiku, bagian yang paling
membuatku menderita. Tapi begitu keputusan diambil, aku tinggal
menjalaninya—biasanya dengan perasaan lega karena pilihan sudah dibuat.
Terkadang perasaan lega itu bercampur dengan penderitaan, seperti keputusanku datang
ke Forks. Tapi tetap masih lebih baik daripada bergulat dengan pilihan-pilihan
lainnya.
Anehya keputusan ini mudah
dijalani. Mudah sekaligus berbahaya.
Akhirnya hari itu berlalu
dengan tenang, produktif—aku menyelesaikan makalahku sebelum jam delapan.
Charlie pulang membawa tangkapan besar, dan aku langsung mencatat dalam
ingatanku untuk membeli buku resep masakan ikan ketika pergi ke Seattle minggu
depan. Perasaan waswas yang merambati punggungku setiap kali memikirkan
perjalanan ini tidak ada bedanya dengan yang kurasakan sebelum aku
berjalan-jalan dengan Jacob Black. Keduanya seharusnya berbeda, pikirku. Aku
seharusnya takut—aku tahu aku mestinya merasa takut, tapi aku tak bisa
merasakan rasa takut, tapi aku tak bisa merasakan rasa takut yang seharusnya.
Malam aku tidur tanpa mimpi,
kelelahan karena telah memulai hari itu sangat awal, padahal malamnya aku
kurang tidur. Untuk kedua kali sejak tiba di Forks, aku terbangun melihat
cahaya kuning terang, pertanda hari bakal cerah. Aku melompat ke jendela,
tercenung melihat nyaris tak ada awan di langit, hanya ada guratan kecil
seperti kapas yang tak mungkin membawa air hujan. Kubuka jendela—terkejut
karena tak ada bunyi deritan, mulus, padahal entah berapa lama hendela itu tak
pernah dibuka—dan menghirup udara yang kering. Udara nyaris hangat dan sama
sekali tak berangin. Darahku bagai meledak-ledak dalam nadiku.
Charlie telah menyelesaikan
sarapannya ketika aku turun, dan sambutannya sama riangnya dengan suasana
hatiku.
“Hari yang bagus untuk berada di
luar,” komentarnya. “Ya,” aku menimpalinya sambil tersenyum.
Ia balas
tersenyum, mata cokelatnya berkerut di
sudut-sudutnya. Ketika Charlie
tersenyum, sangat mudah memahami kenapa ia dan ibuku cepat-cepat memutuskan menikah.
Hampir seluruh sisi romantis masa mudanya telah memudar sebelum aku
mengenalnya. Rambut cokelat ikalnya—jika bukan teksturnya, warnanya sama dengan
rambutku—telah menipis, perlahan memperlihatkan dahinya yang mengkilat. Tapi
ketika ia tersenyum, aku bisa melihat sedikit bagian dari pria yang kawin lari
dengan Reneé ketika umurnya masih 2 tahun lebih tua dari umurku sekarang. Aku
menyantap sarapanku dengan ceria, memperhatikan debu-debu berterbangan di
antara sinar matahari yang menyelinap masuk lewat jendela belakang. Charlie
meneriakkan ucapan perpisahan, dan aku mendengar mobil patrolinya menjauh.
Ketika melewati ambang pintu aku ragu sejenak, tanganku memegang jas hujan.
Sambil menghela napas kutaruh jas hujan itu di lipatan tanganku dan melangkah
ke dalam terangnya cahaya yang sudah berbulan-bulan tak pernah kulihat.
Dengan menuangkan banyak
pelumas, aku bisa membuat kedua jendela trukku membuka sampai ke bawah. Aku
menjadi salah satu murid pertama yang tiba di sekolah; aku bahkan tak sempat
melihat jam ketika terburu-buru meninggalkan rumah tadi. Kuparkir trukku dan
menuju bangku piknik yang jarang digunakan di sisi selatan kafetaria.
Bangku-bangku itu masih sedikit lembab, jadi aku duduk beralaskan jas hujan,
senang bisa menggunakannya. PR-ku sudah selesai—hasil kehidupan sosial yang
menyedihkan—tapi ada beberapa soal Trigono yang jawabannya masih meragukan.
Kukeluarkan bukuku dengan penuh semangat, tapi di tengah soal pertama aku mulai
melamun, memperhatikan sinar matahari bermain-main dengan pepohonan red-barked.
Aku mencorat-coret pinggiran kertas PR-ku. Beberapa menit kemudian tiba-tiba
aku menyadari telah menggambar lima pasang mata berwarna gelap. Kuhapus
gambar-gambar itu dengan penghapus.
“Bella!” Aku mendengar
seseorang memanggilku, kedengarannya seperti Mike. Aku memandang berkeliling
dan menyadari sekolah sudah penuh. Semua anak menggunakan T-shirt, bahkan
beberapa mengenakan celana pendek meskipun suhunya tak mungkin lebih dari 15°
C. Mike menghampiriku. Ia mengenakan celana pendek khaki dan T-shirt rugby
bergaris, dan sedang melambai ke arahku.
“Hei, Mike,” sapaku sambil
balas melambai, tak mampu untuk tidak bersemangat di pagi secerah ini.
Ia duduk di sebelahku, rambut
spike-nya bersinar keemasan, senyum merekah di bibirnya. Ia sangat senang
bertemu denganku, hingga mau tak mau aku senang juga.
“Baru sekarang
kuperhatikan—rambutmu ada semburat merahnya,” katanya sambil meraih sejumput
rambutku yang berkibaran di jemarinya.
“Hanya di bawah sinar
matahari.”
Aku merasa agak jengah ketika
ia menyelipkannya di belakang telingaku.
“Hari yang indah, bukan?”
“Hari yang kusuka,” sahutku.
“Apa yang kaulakukan kemarin?”
Nada suaranya sedikit terdengar seolah-olah aku pacarnya.
“Seharian mengerjakan esai.”
Aku tidak bilang sudah menyelesaikannya—tak perlulah menyombongkan diri.
Ia menepuk dahi dengan
punggung tangan. “Oh iya.. dikumpulkan Kamis, kan?”
“Mmm, kurasa Rabu.”
“Rabu?” sahutnya, dahinya
berkerut. “Gawat... esaimu tentang apa?”
“Apakah perlakukan Shakespeare
terhadap karakter-karakter wanita meremehkan atau tidak.”
Ia menatapku seolah-olah aku
baru saja bicara dalam bahasa Latin.
“Kurasa aku harus
mengerjakannya malam ini,” katanya, kecewa. “Padahal aku ingin mengajakmu
kencan.”
“Oh.” Aku tersadar. Kenapa aku
tak bisa lagi bercakap-cakap dengan Mike tanpa merasa canggung seperti ini?
“Well, kita bisa pergi makan
malam atau apa... dan aku bisa mengerjakan esaiku nanti.” Ia tersenyum penuh
harap.
“Mike...” aku jengkel didesak
seperti ini. “Kupikir itu bukan ide bagus.” Wajahnya kecewa. “Kenapa?” ia
bertanya, matanya siaga. Pikiranku tertuju pada Edward, membayangkan apakah
Mike juga memikirkan yang sama.
“Kupikir... dan kalau kau
beritahukan apa yang kukatakan ini kepada orang lain, dengan senang hati aku
akan menghajarmu sampai mati,” ancamku, “tapi kurasa itu akan membuat Jessica
patah hati.
Ia keheranan, jelas itu sama
sekali tak terpikir olehnya. “Jessica?” “Sungguh, Mike, kau ini buta ya?”
“Oh,” ia menarik napas—jelas
bingung. Aku menggunakan
kesempatan ini untuk kabur
dari situ.
“Waktunya masuk kelas, dan aku
tak boleh terlambat lagi.” Kukumpulkan buku-bukuku dan menjejalkannya ke tas.
Kami berjalan tanpa bicara ke
gedung tiga, dan raut wajahnya gelisah. Kuharap apapun yang dipikirkannya akan
membawanya ke arah yang benar.
Ketika aku melihat Jessica di
kelas Trigono, ia kelihatannya sangat antusias. Ia, Angela, dan Lauren akan
berbelanja ke Port Angeles malam ini. Mereka ingin membeli gaun yang akan
dikenakan di pesta dansa, dan Jessica ingin aku ikut bersama mereka, meskipun
sebenarnya aku tidak perlu membelu gaun. Aku tak bisa memutuskan. Pasti
menyenangkan bisa jalan-jalan ke luar kota dengan sahabat-sahabat cewek, tapi
Laurent juga bakal ikut. Dan siapa tahu apa yang akan aku lakukan malam
nanti... Tapi aku tak boleh membiarkan pikiranku mengembara kesana. Tentu saja
aku gembira karena matahari bersinar hari in. Tapi sinar matahari tak
sepenuhnya bertanggung jawab atas suasana gembira yang kurasakan saat ini,
tidak sama sekali.
Jadi kubilang akan memikirkannya,
kubilang akan minta izin Charlie dulu.
Sepanjang perjalannan menuju
kelas Spanyol, yang dibicarakan Jessica hanya pesta dansa. Ia kembali
membicarakannya lagi setelah kelas selesai lima menit lebih lama, dan kamipun
menuju kafetaria untuk makan siang. Aku sendiri terlalu larut dalam penantian
yang sarat emosi sehingga tidak menyimak apa yang dibicarakannya. Aku bukan
hanya ingin sekali bertemu dengannya, melainkan juga semua keluarga Cullen—
untuk membandingkan mereka dengan kecurigaan yang menggayuti pikiranku. Ketika
melintasi pintu kafetaria, kurasakan rasa takut pertama yang sesungguhnya
menuruni punggungku, lalu menetap di perut. Apakah mereka bisa mengetahui apa
yang kupikirkan? Lalu perasaan yang lain menyapuku—apakah Edward menunggu untuk
duduk bersamaku lagi?
Seperti biasa mula-mula kau
memandang meja keluarga Cullen. Gelombang panik bergejolak dalam perutku ketika
menyadari tempat itu kosong. Dengan harapan yang semakin menipis pandanganku
menyapu sekeliling kafetaria, berharap menemukannya duduk sendirian,
menungguku. Kafetaria itu sudah nyaris penuh—kelas Spanyol menahan kami—tapi
tak ada tanda-tanda kehadiran Edward atau saudara-saudaranya. Kesepian
menghantamku dengan kekuatan menghancurkan.
Aku berjalan tertatih-tatih di
belakang Jessica, sama sekali tak repot-repot berpura-pura mendengarkan.
Sepertinya kami sudah sangat
terlambat karena yang lain sudah duduk di meja kami. Aku menghindari kursi
kosong di sebelah Mike, dan memilih duduk di sebelah Angela. Samar-samar
kuperhatikan Mike mempersilahkan Jessica duduk dengan sopan, dan tentu saja
wajah Jessica berseri-seri karenanya.
Angela menanyakan beberapa hal
tentang makalah Macbeth-ku. Sebisa mungkin kujawab sewajarnya, meskipun hatiku
sedih. Angela juga mengajakku ikut malam ini, dan sekarang aku mengatakan ya,
menggapai apa saja yang bisa mengalihkan perhatian.
Aku tersadar aku ternyata
masih berharap ketika memasuki pelajaran Biologi dan melihat kursinya kosong.
Gelombang kekecewaan melanda diriku lagi.
Sisa hari itu berjalan sangat
pelan, muram. Di pelajaran Olahraga kami membahas tentang peraturan
bulutangkis, siksaan berikut yang sudah mereka siapkan untukku. Tapi setidaknya
itu artinya aku hanya perlu duduk mendengarkan, bukannya terpeleset di
lapangan. Bagian terbaiknya adalah, pelatih tidak selesai menjelaskan, jadi
besok aku terbebas lagi dari penyiksaan. Lupakan saja kenyataan bahwa lusa
mereka akan memberiku raket sebelum melepaskanku untuk menjadi santapan seluruh
kelas.
Aku senang bisa meninggalkan
sekolah akhirnya. Itu artinya aku bisa bebas menekuk wajahku dan mengasihani
diriku sebelum nanti malam pergi bersama Jessica dan kawan-kawan. Tapi tepat
setelah aku masuk ke rumah, Jessica menelepon membatalkan rencana kami. Aku
mencoba terdengar ceria ketika ia bercerita bahwa Mike mengajaknya makan
malam—aku benar-benar lega karena Mike akhirnya mengerti— tapi semangatku
terdengar tidak tulus di telingaku sendiri. Jessica menunda rencana belanja
kami jadi besok malam.
Yang berarti aku hanya tinggal
sedikit hal untuk mengalihkan perharian. Aku membumbui ikan untuk makan malam,
dan menyiapkan salad dan roti sisa semalam, jadi tak ada apa-apa lagi yang bisa
kukerjakan. Aku menghabiskan setengah jam mengerjakan PR, tapi lalu berhasil
menyelesaikannya dengan cepat.
Kuperiksa e-mail-ku, membaca
tumpukan surat dari ibuku, yang semakin lama semakin sisis. Aku menghela napa
dan mengetik jawaban singkat.
Mom,
Maaf. Aku nggak ada di rumah.
Aku pergi ke pantai dengan beberapa teman. Dan aku harus membuat makalah.
Alasanku terdengar menyedihkan,
jadi aku menyerah saja
Hari ini cuaca cerah—aku tahu,
aku juga terkejut—jadi aku akan keluar dan menyerep vitamin D sebanyak yang
kubisa. Aku
sayang
kau. Bella.
Kuputuskan untuk mengahabiskan
waktu satu jam membaca sesuatu yang tak ada hubungannya dnegan pelajaran
sekolah. Aku membawa beberapa buku ke Forks, dan yang paling tebal merupakan
kumpulan karya Jane Austen. Aku memilihnya dan pergi ke halaman belakan. Dlaam
perjalanan turun aku menyambar selembar selimut tua usang dari lemari di tangga
teratas.
Di luar, di halaman kecil
Charlie yang berbentuk persegi, selimutnya kulipat dua lalu kuhamparkan di
bawah pepohonan, di atas rumput tebal yang selalu agak basah, tapi peduli
seberapa lama matahari menyinarinya. Aku berbaring menelungkup, mengangkat dan
menyilangkan pergelangan kaki, membalik-balik halaman novel itu, mencoba
memutuskan karya mana yang paling menarik. Favoritku adalah Pride and Prejudice
dan Sense and Sensibility. Baru-baru ini aku telah membaca yang pertama, jadi
kupilih Sense and Sensibility. Setelah samapai bab tiga aku pun teringat bahwa
tokoh pahlawan di cerita itu kebetulan bernama Edward. Dengan marah kuganti
bacaanku dengan Mansfield Park, tapi pahlawan di buku itu bernama Edmund,
hampir mirip. Memangnya tak ada nama lain di akhir abad kedelapan belas ya?
Kubanting buku itu hingga menutup, mereasa jengkel, lalu berguling hingga
terlentang. Kutarik lengan bajuku setinggi mungkin dan memejamkan mata. Aku
tidak memikirkan apa pun kecuali kehangatan yang kurasakan pada kulitku, ujarku
kasar pada diri sendiri. Angin masih sepoi-sepoi, tapi mampu meniup bulu-bulu
halus di wajahku, dan rasanya agak geli. Kutarik rambutku ke atas, membirkannya
mengering di selimut diatas kepalaku, dan kembali berkonsentrasi pada
kehangatan yang menyentuh kelopak mata, tulang pipi, hidung, bibir, lengan
bawah, leher, menembus kausku yang tipis.
Hal berikut yang kusadari
adalah suara mobil patroli Charlie memasuki halaman. Aku langsung terbangun,
duduk, menyadari sinar matahari sudah lenyap di balik pohon. Rupanya aku
tertidur. Aku mengedarkan pandang, bingung karena perasaan yang muncul
tiba-tiba bahwa aku tak lagi sendirian.
“Charlie?” panggilku. Tapi aku
mendengar pintunya terbanting menutup.
Aku melompat, merasa gugup dan
konyol, mengumpulkan selimut yang sekarang lembab dan bukubukuku. Aku berlari
masuk untuk memanaskan minyak, saat sadar waktu makan malam sudah tiba. Charlie
sedang menggantungkan sabuk senjatanya dan melepaskan sepatu bot ketika aku
masuk.
“Maaf, Dad, makan malam belum
siap—aku ketiduran di luar sana.” Aku mengatakannya sambil menguap.
“Jangan khawatir,” katanya.
“Aku hanya ingin cepat-cepat nonton pertandingan kok.”
Setelah makan malam aku nonton
TV bersama Charlie, sekadar mengisi waktu. Tak ada yang ingin kutonton, tapi ia
tahu aku tidak suka baseball, jadi ia menggantinya ke sitkom membosankan. Tak
satu pun dari kami menikmatinya. Meski begitu ia kelihatan senang karena bisa
melakukan sesuatu bersamaku. Dan meskipn aku sedang sedih, rasanya menyenangkan
bisa membuatnya senang.
“Dad,” kataku saat jeda iklan,
“besok malam Jessica dan Angela ingin ke Port Angeles mencari gaun pesta, dan
mereka ingin aku membantu memilih... apakah aku boleh ikut bersama mereka?”
“Jessica Stanley?” tanyanya.
“Dan Angela Webber.” Aku menghela
napas ketika memberi keterangan tambahan padanya.
Ia bingung. “Tapi kau tidak
akan pergi ke pesta dansa, kan?” “Tidak, Dad, tapi aku membantu mereka memilih
pakaian—kau
tahu, memberi
kritik yang membangun.”
Aku nggak bakal
perlu
menjelaskan hal ini kalau
ayahku perempuan.
“Well, baiklah.” Ia sepertinya
menyadari dirinya tidak mengerti urusan anak perempuan. “Itu masih malam
sekolah, kan?”
“Kami langsung pergi sepulang
sekolah, jadi bisa pulang lebih cepat. Kau bisa menyapkan makan malam sendiri
kan?” “Bells, aku memasak makananku sendiri selama tujuh belas tahun sebelum
kau datang,” ia mengingatkanku.
“Aku tak tahu bagaimana kau
bisa bertahan hidup selama itu,” gumamku, lalu menambahkan sesuatu yang lebih
jelas, “aku akan menyiapkan bahan-bahan sandwich di kulkas, oke? Persis di
sebelah atas.”
Paginya matahari bersinar
cerah lagi. Aku terbangun dengan harapan baru yang susah payah coba kutekan.
Aku mengenakan pakaina yang cocok untuk udara hangat seperti sekarang, blus
berpotongan V biru tua—sesuatu yang kukenakan pada musim dingin yang parah di
Phoenix.
Aku telah mengatur
kedatanganku di sekolah agar tidak terlalu pagi, sampai-sampai nyaris tak ada
waktu untuk bergegas ke kelas. Dengan hati mencelos aku mengitari parkiran yang
penuh, mencari tempat yang masih kosong, sambil mencari Volvo silver yang
jelas-jelas tak ada disitu. Aku memarkir truk di baris terakhir dan bergegas ke
kelas bahasa Inggris. Aku tiba terengah-engah, tapi berhasil sampai sebelum bel
terakhir berbunyi.
Hari ini sama seperti
kemarin—aku tak bisa menahan secercah harapan tumbuh dalam benakku, hanya untuk
menyaksikannya hancur berantakan saat dengan hati hancur aku mencari-cari
mereka di ruang makan siang, dan duduk sendirian di kelas Biologi.
Perjalanan ke Port Angeles
akhirnya akan terwujud malam ini. Rencana itu jadi semakin menarik karena
Lauren mendadak ada urusan. Aku benar-benar tak sabar lagi ingin meninggalkan
kota supaya bisa berhenti menoleh ke belakang, berharap melihatnya muncul
tiba-tiba seperti yang selalu di lakukannya. Aku berjanji akan bersikap ceria
malam ini dan tidak merusaka kesenangan Angela dan Jessica berburu pakaian.
Mungkin aku juga bisa membeli beberapa potong pakaian. Kuenyahkan ppikiran
bahwa aku mungkin akan berbelanja sendirian di Seatle akhir pekan ini, tak lagi
tertarik dengan kesepakatan tempo hari. Tak mungkin ia membatalkannya tanpa
setidaknya memberitahuku. Usai sekolah Jessica ikut ke rumahku dengan Mercury
tuanya yang putih, jadi aku bisa meninggalkan buku-buku dan trukku. Kusisir
rambutku cepat-cepat selagi di dalam, merasa sedikit senang membayangkan
meninggalkan Forks. Aku meninggalkan pesan di meja untuk Charlie, kujelaskan
lagi dimana kusimpan makan malamnya, Lalu aku memindahkan dompet lipatku dari
tas sekolah ke tas kecil yang jarang kugunakan, lalu lari dan bergabung dengan
Jessica. Selanjutnya kami pergi ke rumah Angela, ia sudah menunggu kami.
Kegembiraanku meningkat cepat ketika kami akhirnya mengemudi meninggalkan batas
kota.