
Bab 3 Fenomena
Ketika paginya aku membuka
mata, ada sesuatu yang berbeda.
Ada cahaya. Masih cahaya hijau
kelabu yang khas hari mendung di hutan, tapi bagaimanapun juga cerah. Aku
menyadari tak ada kabut menyelubungi jendelaku.
Aku melompat dari tempat tidur
untuk melihat keluar, lalu mengerang ngeri.
Lapisan salju yang sempurna
menutupi halaman, melapisi atap trukku, dan membuat jalanan menjadi putih. Tapi
bukan itu bagian terburuknya. Hujan yang turun kemarin telah membeku—melapisi
pepohonan membentuk jarum dalam pola yang sangat indah, dan menjadikan jalan
setapak licin dan berbahaya. Aku sendiri sudah cukup kerepotan agar tidak
terpeleset saat jalanan kering, jadi mungkin lebih aman kalau aku tidur lagi
sekarang.
Charlie sudah berangkat
sebelum aku turun. Dilihat dari berbagai sisi, hidup bersama Charlie bagaikan
hidup sendirian, dan aku mendapati diriku sendiri bersorak-sorai dan bukannya
kesepian.
Aku sarapan semangkuk sereal
dan jus jeruk. Aku merasa bersemangat untuk pergi ke sekolah, dan ini membuatku
takut. Aku tahu bukan lingkungan yang menstimulasiku untuk belajar yang
membuatku bersemangat, ataupun bertemu teman-teman baruku. Kalau mau jujur,
semangatku pergi ke sekolah lebih karena Edward Cullen. Dan itu sangat, sangat
bodoh.
Aku seharusnya menghindari
cowok itu setelah omonganku yang tidak cerdas dan memalukan kemarin. Dan aku
curiga padanya, kenapa ia harus berbohong tentang matanya? Aku masih takut
dengan sifat permusuhan yang kadang-kadang terpancar dalam dirinya, dan aku
masih tak sanggup bicara setiap kali melihat wajahnya yang sempurna. Aku sangat
sadar kelompokku dan kelompoknya sama sekali tidak cocok. Jadi tak seharusnya
aku kepingin bertemu dengannya hari ini.
Butuh konsentrasi penuh untuk
bisa sampai dengan selamat ke truk. Aku nyaris kehilangan keseimbangan ketika
akhirnya sampai di truk, tapi aku berhasil berpegangan di kaca spion dan
menyelamatkan diriku. Jelas hari ini bakal menjadi mimpi buruk.
Sambil mengemudi ke sekolah,
kualihkan ketakutanku bakal terjatuh dan spekulasi yang bukan-bukan tentang
Edward Cullen, dengan memikirkan Mike dan Eric, dan betapa berbedanya sikap
cowok-cowok terhadapku sisini. Aku yakin aku tampak sama persis seperti ketika
di Phoenix. Barangkali cowok-cowok di tempat asalku telah menyaksikan aku perlahan-lahan
melewati semua tahap kedewasaan yang membuat canggung dan masih memandangku
dengan cara itu. Mungkin karena aku masih baru sisini, tempat sesuatu yang baru
jarang-jarang ada. Mungkin kecanggunganku dianggap menarik dan bukannya
menyedihkan, membuatku kelihatan seperti cewek yang sedang kesusahan. Apapun
alasannya, sikap Mike yang seperti anak anjing dan sikap Eric yang bersaing
dengannya sangat mengganggu. Aku tak yakin apakah aku tidak akan memilih
diabaikan saja.
Trukku sepertinya tidak masalah
dengan es yang melapisi jalanan. Meski begitu, aku mengemudi sangat pelan, tak
ingin tergelincir.
Ketika turun dari truk
sesampainya di sekolah, aku tahu kenapa aku nyaris tidak mendapat masalah. Aku
melihat sesuatu berwarna perak, dan aku berjalan ke bagian belakang truk—dengan
hati-hati berpegangan pada sisi truk untuk menjaga keseimbangan—dan memeriksa
banku. Ada rantai tipis saling berkaitan membentuk intan di sekelilingnya.
Charlie telah bangun entah sepagi apa untuk mengikatkan rantai salju di trukku.
Tenggorokkanku tiba-tiba tercekat. Aku tak terbiasa diurus, dan perhatian
Charlie yang diam- diam ini mengejutkanku.
Aku sedang berdiri di pojok
belakang truk, berjuang melawan gelombang emosi mendadak yang ditimbulkan
rantai salju itu, ketika mendengar suara aneh.
Itu suara lengkingan tinggi,
yang segera berubah sangat keras hingga memekakan telinga. Aku mendongak,
benar-benar terkejut.
Aku melihat beberapa hal
bersamaan. Tidak ada yang bergerak lambat seperti di film-film. Sebaliknya
semburan adrenalin membuat otakku bekerja lebih cepat, dan dengan jelas aku
menyerap detail beberapa hal secara serentak.
Edward Cullen berdiri 4 mobil
dariku, memandangku ngeri. Wajahnya tampak mencolok diantara lautan wajah
disana, semua membeku dengan ekspresi terkejut yang sama. Tapi yang lebih
mengerikan adalah van biru gelap yang meluncur, bannya terkunci dan mengerem
hingga berdecit, berputar-putar tak terkendali di lapangan parkir yang tertutup
es. Mobil itu nyaris menabrak bagian belakang trukku, dan aku berdiri diantara
keduanya. Aku bahkan tak sempat memejamkan mata.
Persis sebelum aku mendengar
bunyi tabrakan keras van di badan truk, sesuatu menerjangku, keras, tapi bukan
dari arah yang semula kuduga. Kepalaku membentur aspal yang tertutup es, dan
aku merasakan sesuatu yang padat dan dingin menindihku ke tanah. Aku terbaring
di trotoar di belakang mobil cokelat yang terparkir di sebelah truk. Tapi aku
tak sempat memperhatikan yang lainnya, karena van itu masih meluncur mendekat.
Mobil itu berputar-putar mengerikan di dekat belakang truk, masih berputar dan
meluncur, nyaris menabrakku lagi.
Suara mengumpat pelan
membuatku sadar ada seseorang bersamaku, dan tak mungkin aku tidak mengenali
suara itu. Sepasang tangan putih yang panjang terulur melindungiku, dan van itu
bergetar hingga berhenti hanya sejengkal dari wajahku, tangan-tangan besar itu
untungnya pas dengan rongga badan van.
Lalu tangannya bergerak sangat
cepat hingga tampak samar. Yang satu tiba-tiba mencengkram bagian bawah van,
dan sesuatu menarikku, mengayun-ayunkan kakiku seakan-akan aku boneka mainan,
sampai kakiku menabrak ban mobil coklat itu. Suara gemuruh besi beradu
memekakkan telinga, dan van itu berhenti, lalu terdengar suara kaca pecah,
berhamburan ke jalanan—tepat si tempat kakiku berada satu detik sebelumnya.
Benar-benar hening untuk waktu
yang lama sebelum terdengar jeritan. Dalam kekacauan yang tibatiba, aku bisa
mendengar lebih dari satu orang meneriakkan namaku. Tapi lebih jelas lagi
daripada semua teriakan itu, aku bisa mendengar suara pelan dan waswas Edward
Cullen di telingaku.
“Bella? Kau baik-baik saja?”
“Aku tidak apa-apa.” Suaraku
terdengar aneh. Aku mencoba duduk dan menyadari ia memegangiku sangat erat di
satu sisi tubuhnya.
“Hati-hati,” ia mengingatkan
ketika aku menggeser tubuhku. “Kurasa kepalamu terbentur cukup keras.”
Aku menyadari rasa sakit yang
amat sangat di atas kepala kiriku.
“Aduh,” kataku, terkejut.
“Itulah yang kupikirkan.”
Anehnya suara Edward terdengar seperti menahan tawa.
“Bagaimana bisa...” suaraku
perlahan menghilang. Aku berusaha
menjernihkan pikiran, mengumpulkan kekuatan. “Bagaimana kau bisa sampai disini
secepat itu?”
“Aku berdiri di sebelahmu,
Bella,” katanya, nada suaranya kembali serius.
Aku mencoba duduk dan kali ini
dia membiarkanku, melepaskan pegangannya di pinggangku dan mundur sejauh
mungkin di ruang yang sempit itu. Aku memandang wajahnya yang waswas dan polos,
dan sekai lagi aku merasa bingung karena kekuatan matanya yang berwarna
keemasan. Apa yang kutanyakan padanya tadi?
Lalu mereka menemukan kami,
kerumunan orang dengan air mata membasahi wajah mereka, saling berteriak,
berteriak kepada kami.
“Jangan bergerak,” seseorang
memerintah.
“Keluarkan Tyler dari bawah
van!” terdengar teriakan lain. Banyak sekali kesibukan di sekeliling kami. Aku
mencoba bangkit, tapi tangan Edward yang dingin menahan bahuku.
“Sekarang jangan bergerak
dulu.”
“Tapi dingin,” aku mengeluh.
Aku terkejut karena ia tertawa kecil. Ada kegetiran dalam suaranya.
“Kau ada di sebelah sana,”
tiba-tiba aku ingat dan tawa kecilnya langsung berhenti. “Kau ada di sebelah
mobilmu.”
Ekspresinya berubah kaku.
“Tidak.”
“Aku melihatmu.” Sekeliling
kami kacau. Aku bisa mendengar suara orang-orang dewasa yang lebih keras
mendekat. Tapi aku tetap bersikeras mendebatnya; aku benar, dan ia akan
mengakuinya.
“Bella, aku sedang berdiri
bersamamu, dan aku menarikmu dari sana.” Ia menyalurkan kekuatan pandangannya
padaku, seolah memberitahu sesuatu yang penting.
“Tidak.” Rahangku mengeras.
Warna emas di matanya
berkilat-kilat. “Kumohon, Bella.” “Kenapa?” desakku.
“Percayalah padaku,” ia
memohon, suaranya yang lembut mengodaku.
Aku bisa mendengar suara
sirene sekarang. “Maukah kau berjanji menceritakan semuanya nanti?”
“Ya,” tukasnya, tiba-tiba
terdengar putus asa. “Oke,” aku mengulanginya dengan nada marah.
Butuh enam petugas medis dan
dua guru—Mr. Varner dan Pelatih Clapp—untuk memindahkan van itu cukup jauh dari
kami sehingga tandunya bisa dibawa mendekat. Edward dengan kasar menolak, dan
aku berusaha melakukan hal yang sama, tapi Edward si penghianat memberitahu
mereka kepalaku terbentur dan mungkin mengalami gegar otak. Aku nyaris mati
karena malu ketika mereka memasang penyangga di leherku. Sepertinya seluruh
sekolah ada di sana, ketika mereka mengangkutku ke dalam ambulans. Edward naik
di depan. Menjengkelkan.
Yang membuat segalanya lebih
parah, Kepala Polisi Swan tiba sebelum mereka membawaku pergi dengan selamat.
“Bella!” ia berteriak panik
ketika menyadari aku ditandu.
“Aku baik-baik saja,
Char—Dad,” keluhku. “Aku tidak apa-apa.”
Ia beralih ke petugas
paramedis di dekatnya untuk menanyakan keadaanku. Aku berusaha tidak
mendengarkan karena kepalaku sudah penuh dengan berbagai pertanyaan. Ketika
mereka mengangkatku menjauh dari mobil, aku melihat lekukan dalam di bemper
mobil cokelat itu—lekukan sangat dalam yang sesuai dengan kontur bahu Edward...
Seolah-olah ia telah menahan mobil itu dengan tenaga yang bisa merusak bingkai
baja itu...
Keluarganya tampak di
kejauhan, ekspresi mereka beragam, mulai dari protes sampai marah, tapi tak ada
sedikitpun kepedulian akan keselamatan saudara mereka.
Aku berusaha mencari solusi
masuk akal yang bisa menjelaskan apa yang baru saja kulihat—solusi yang
menghilangkan asumsi bahwa aku gila.
Tentu saja polisi mengawal
ambulans itu menuju rumah sakit wilayah. Aku merasa konyol ketika mereka
menurunkan aku. Yang membuatnya lebih buruk, Edward bisa melewati pintu rumah
sakit tanpa bantuan sama sekali. Aku menggertakkan gigiku.
Mereka membawaku ke UGD,
ruangan panjang dengan barisan tempat tidur yang dipisahkan oleh tirai berpola
warna pastel. Seorang juru rawat meletakkan alat pemeriksa tekanan darah di
lenganku dan termometer di bawah lidah. Karena tak ada yang bersedia menarik
tirai agar aku mendapatkan privasi, kuputuskan aku tak perlu lagi mengenakan
penyangga leher bodoh itu. Ketika juru rawat pergi, aku cepatcepat melepaskan
Velcro itu dan melemparnya ke kolong tempat tidur.
Lalu datang pasien lain,
sebuah tandu diangkut ke tempat tidur di sebelahku. Aku mengenali Tyler Crowler,
temanku di kelas Pemerintahan, balutan perban bernoda darah tampak erat
membungkus kepalanya. Tyler kelihatan seratus kali lebih parah daripada yang
kurasakan. Ia menatapku waswas.
“Bella, maafkan aku!”
“Aku tidak apa-apa, Tyler—kau
tampak buruk, apa kau baik-baik saja?” Ketika kami bicara, para juru rawat
mulai melepaskan perban di kepalanya, memperlihatkan luka gores yang jumlahnya
banyak di sekujur kening dan pipi kirinya.
Ia mengabaikanku. “Kupikir aku
bakal membunuhmu! Aku mengemudi terlalu cepat, dan mobilku selip...” Ia
meringis ketika salah satu juru rawat mengelap wajahnya.
“Jangan khawatirkan itu, kau
tidak mengenaiku.”
“Bagaimana kau bisa menyingkir
secepat itu? Kau ada disana, lalu kau menghilang...”
“Mmm... Edward menarikku.” Ia terlihat
bingung. “Siapa?”
“Edward Cullen—dia berdiri di
sebelahku.” Aku tak pernah pandai berbohong, aku sama sekali tidak terdengar
meyakinkan.
“Cullen? Aku tidak
melihatnya... wow, kurasa semuanya berlangsung cepat sekali. Apa dia baik-baik
saja?”
“Kurasa begitu. Dia ada disini
entah dimana, tapi mereka tidak mengangkutnya dengan tandu.”
Aku tahu aku tidak sinting.
Apa yang terjadi? Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang telah kusaksikan.
Lalu mereka mendorongku pergi
dengan kursi roda untuk merongent kepalaku. Kukatakan kepada mereka aku
baik-baik saja, dan aku benar. Aku bahkan tidak mengalami gegar otak. Aku
bertanya apakah aku boleh pergi, tapi juru rawat bilang aku harus bicara dulu
dengan dokter. Jadi, aku terperangkap di UGD, menunggu, terganggu dengan Tyler
yang terus-menerus meminta maaf dan berjanji akan melakukan apa saja untukku.
Tak peduli berapa kali aku mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, ia
terus saja menyiksa dirinya sendiri. Akhirnya kupejamkan mataku dan
mengabaikannya. Ia terus menggumamkan penyesalan.
“Apa dia tidur?” aku mendengar
suara yang merdu bertanya.
Mataku langsung terbuka.
Edward berdiri di ujung tempat
tidurku, nyengir. Aku memandangnya. Tidak mudah—akan lebih wajar jika aku
mengerling padanya.
“Hei, Edward, aku sangat
menyesal—” Tyler memulai. Edward mengangkat tangan untuk menghentikannya.
“Tidak ada darah, tidak seru,”
katanya, memamerkan giginya yang sempurna. Ia beranjak dan duduk di ujung
tempat tidur Tyler, namun menghadap ke arahku. Ia nyengir lagi.
“Jadi, apa kata mereka?” ia
bertanya kepadaku.
“Aku baik-baik saja, tapi
mereka tidak mengijinkanku pergi,” aku mengeluh. “Bagaimana kau bisa tidak
ditandu seperti kami?”
“Itu cuma soal siapa yang
kaukenal,” jawabnya. “Tapi jangan khawatir, aku datang untuk menyelamatkanmu.”
Lalu seorang dokter
menghampiri, dan mulutku menganga melihatnya. Ia masih muda, pirang... dan
lebih tampan dari bintang film manapun yang pernah kulihat. Meski begitu ia
pucat, tampak lelah, dengan lingkaran di bawah matanya. Dari yang
dideskripsikan Charlie, ini pasti ayah Edward.
“Jadi, Miss Swan,” dr. Cullen
berkata dengan suara sangat merdu, “bagaimana perasaanmu?”
“Aku baik-baik saja,” kataku,
mudah-mudahan untuk terakhir
kali. Ia berjalan ke papan
pembaca foto rontgen di atas kepalaku dan menyalakannya.
“Hasil rontgenmu bagus,”
katanya. “Apa kepalamu sakit? Kata Edward, kepalamu terbentur cukup keras.”
“Tidak apa-apa,” aku
mengulangi sambil menghela napas, lalu menatap Edward geram.
Jemari dokter yang dingin
meraba ringan tulang tengkorakku. Ia memperhatikan ketika aku meringis.
“Sakit?” tanyanya.
“Tidak juga.” Aku sudah pernah
mengalami yang lebih parah.
Aku mendengar suara tawa, dan
melihat Edward tersenyum meremehkan. Mataku menyipit.
“Well, ayahmu berada di ruang
tunggu—kau bisa pulang dengannya sekarang. Tapi kembalilah kalau kau merasa
pusing atau mengalami masalah sekecil apapun dengan penglihatanmu.”
“Bisakah aku kembali ke
sekolah?” tanyaku, membayangkan Charlie bakal kelewat perhatian padaku.
“Mungkin sebaiknya kau
beristirahat hari ini.”
Aku menatap Edward. “Apakah
dia boleh pergi ke sekolah?” “Harus ada yang menyebarkan kabar gembira bahwa
kita
selamat,” kata Edward ponggah.
“Sebenarnya,” dr. Cullen
meralat, “sepertinya seluruh penghuni sekolah ada di ruang tunggu saat ini.”
“Oh tidak,” erangku, menutupi
wajahku dengan tangan. Alis dr. Cullen terangkat. “Kau mau tinggal disini?”
“Tidak, tidak!” aku berkeras,
menurunkan kakiku ke sisi tempat tidur dan langsung melompat. Terlalu cepat—aku
terpeleset, dan dr. Cullen menangkapku. Ia tampak waswas.
“Aku baik-baik saja,” aku
meyakinkannya lagi. Tak perlu memberitahunya bahwa keseimbanganku tak ada
hubungannya dengan kepalaku yang terbentur. “Minum Tyfenol untuk mengurangi
sakitnya,” ia memberikan saran sambil memegangiku.
“Sakitnya tidak separah itu
kok,” aku berkeras. “Kedengarannya kau
sangat beruntung,” kata
dr. Cullen,
tersenyum sambil
menandatangani statusku dengan gerakan
berlebihan.
“Aku beruntung karena Edward
kebetulan ada di sebelahku,” aku menekankann ucapanku dengan menatap Edward
lekat-lekat.
“Oh, well, ya,” ujar dr.
Cullen, tiba-tiba menyibukkan diri dengan kertas didepannya. Lalu ia berpaling
memandang Tyler, dan menghampiri tempat tidur sebelah. Intuisiku tepat, sang
dokter sedang memikirkannya.
“Aku khawatir kau harus
tinggal bersama kami lebih lama,” ia berkata kepada Tyler, dan mulai memeriksa
luka-lukanya.
Begitu dokter memunggungiku,
aku bergeser ke sisi Edward. “Bisakah aku berbicara denganmu sebentar?” aku
berbisik. Ia
mundur selangkah, rahangnya
sekonyong-konyong mengeras.
“Ayahmmu sudah menunggumu,”
katanya sepelan mungkin. Aku memandang dr. Cullen dan Tyler.
“Aku ingin bicara berdua saja
denganmu, kalau kau tidak keberatan,” desakku.
Ia menatapku jengkel, lalu
berbalik dan berjalan menyusuri ruang panjang itu. Aku nyaris berlari untuk
mngejarnya. Begitu kami berbelok di sudut menuju lorong pendek, ia berbalik
menghadapku.
“Kau mau apa sih?” tanyanya
jengkel. Tatapannya dingin.
Sikapnya yang tak bersahabat
mengintimidasiku. Kata-kata yang mengalir tak seketus yang kuinginkan. “Kau
berhutang penjelasan padaku,” aku mengingatkannya.
“Aku menyelamatan hidupmu—aku
tak berhutang apa-apa padamu.”
Aku tersentak mendengar amarah
dalam suaranya. “Kau sudah janji.”
“Bella, kepalamu terbentur,
kau tak tahu apa yang kau bicarakan.” Nada suaranya tajam.
Emosiku meluap-luap sekarang,
kutatap dia tajam-tajam. “Tak ada yang salah dengan kepalaku.”
Ia balas menantang. “Apa yang
kau mau dariku, Bella?”
“Aku mau tahu yang
sebenarnya,” kataku. “Aku mau tahu kenapa aku berbohong untukmu.”
“Apa menurutmu yang terjadi?”
sergah Edward. Lalu semua terlontar begitu saja.
“Yang kutahu kau tak ada di
dekatku—Tyler juga tidak melihatmu, jadi jangan bilang aku mengarang semuanya.
Van itu mustinya sudah menghancurkan kita berdua—tapi nyatanya tidak, dan
tanganmu meninggalkan lekukan di badan mobil itu—juga di mobil yang lain, dan
kau sama sekali tidak terluka—dan van itu
seharusnya menghancurkan
kakiku, tapi kau menahannya...” Aku bisa
mendengar betapa itu terdengar sinting, dan aku tak bisa melanjutkannya. Aku
begitu marah sehingga bisa merasakan air mata mulai menggenangi mataku, aku
berusaha menahannya dengan menggertakkan gigiku.
Ia menatapku tak percaya. Tapi
wajahnya tegang, tampak bersalah.
“Kaupikir aku mengangkat mobil
van itu dari atas tubuhmu?” nada suaranya mempertanyakan kewarasanku, tapi itu
justru membuatku semakin curiga. Itu seperti kalimat yang dibawakan dengan
sangat baik sekali oleh seorang aktor berbakat.
Aku hanya mengangguk sekali,
rahangku mengeras.
“Tak ada yang bakal
mempercayai itu, kau tahu.” Suaranya terdengar mengejek sekarang.
“Aku takkan memberitahu
siapa-siapa.” Aku mengucapkan setiap kata dengan pelan, hati-hati mengendalikan
amarahku. Wajahnya tampak kaget. “Lalu kenapa kau mempermasalahkannya?”
“Ini penting buatku,” desakku.
“Aku tak suka berbohong—jadi sebaiknya ada alasannya yang baik mengapa aku
melakukannya.”
“Tak bisakah kau berterima
kasih saja dan melupakannya?” “Terima kasih.” Aku menunggu, marah dan
berharap. “Kau takkan menyerah, kan?”
“Tidak.”
“Kalau begitu... kuharap kau
menikmati kekecewaanmu.”
Kami saling menatap marah
dalam hening. Akulah yang pertama bicara, berusaha untuk tetap fokus.
Perhatianku nyaris teralihkan oleh wajahnya yang pucat dan menawan. Rasanya
seperti menatap malaikat penghancur.
“Kenapa kau bahkan peduli?”
tanyaku dingin.
Ia berhenti, dan sesaat
wajahnya yang indah tak disangka-sangka berubah rapuh.
“Aku tak tahu,” bisiknya. Lalu ia berbalik dan menjauh.
Aku sangat marah, hingga butuh
beberapa menit agar bisa
bergerak. Setelah bisa
berjalan, aku melangkah pelan menuju pintu keluar di ujung lorong.
Ruang tunggu lebih tidak
menyenangkan dari yang kukhawatirkan. Sepertinya semua wajah yang kukenal di
Forks ada disana, menatapku. Charlie bergegas ke sisiku, aku mengangkat tangan.
“Aku tidak apa-apa,”
kuyakinkan dirinya dengan nada jengkel.
Aku masih kesal, tak ingin
bebasa-basi. “Apa kata dokter?”
“Dr. Cullen memeriksaku, dan
katanya aku baik-baik saja dan bisa pulang.” Aku menghela napas. Mike, Jessica,
dan Eric ada disana, mulai bergabung dengan kami. “Ayo,” pintaku. Charlie
meletakkan lengannya di punggungku, tidak benar-benar menyentuhku, lalu
membimbingku ke pintu keluar yang terbuat dari kaca. Aku melambai malu-malu ke
arah teman-temanku, berharap bisa menunjukkan bahwa mereka tidak perlu khawatir
lagi. Rasanya sangat lega—itulah pertama kali aku merasakannya—berasda di mobil
patroli.
Sepanjang perjalanan kami
berdiam diri. Aku begitu larut dalam pikiranku sampai-sampai tidak menyadari
keberadaan Charlie di dekatku. Aku yakin sikap Edward di lorong tadi merupakan
jawaban atas halhal aneh yang baru kusaksikan, yang masih tak bisa kupercaya.
Ketika kami tiba di rumah,
Charlie akhirnya bicara.
“Mm... kau harus menelepon
Renée.” Ia menunduk bersalah. Aku terkejut. “Kau memberitahu Mom!”
“Maaf.”
Aku membanting pintu mobil
patroli sedikit lebih keras daripada yang seharusnya ketika keluar.
Tentu saja ibuku histeris. Aku
harus memberitahunya setidaknya tiga puluh kali bahwa aku baik-baik saja
sebelum ia bisa tenang. Ia memohon supaya aku mau pulang—melupakan kenyataan
bahwa saat itu rumah kosong—tapi permohonan Mom lebih mudah kutolak daripada
yang kubayangkan. Aku asyik dengan misteri yang disimpan Edward. Dan agak lebih
terobsesi kepada Edward. Bodoh, bodoh, bodoh. Aku tidak terlalu ingin
meninggalkan Forks sebagaimana seharusnya, sebagaimana yang seharusnya
diinginkan orang normal dan waras.
Aku memutuskan untuk tidur
lebih awal malam itu. Charlie terus-menerus mengawasiku, membuatku merasa tidak
nyaman. Aku berhenti di perjalanan untuk mengambil 3 Tyfenol di kamar mandi.
Obat ini lumayan membantu, dan begitu rasa sakitnya mereda, aku tertidur pulas.
Itu adalah malam pertama aku memimpikan
Edward Cullen .